Bagian 14

73K 5.4K 57
                                    

“Saya mau kamu hadir sebagai wali nikah untuk Nafla.” Sandra menatap datar sosok Rendra yang merupakan mantan suaminya. Rasa sakit yang dirasakannya bertahun-tahun lalu sudah tertanam dalam-dalam tanpa ingin ia ingat. Ini dilakukannya demi putrinya sehingga dengan berani Sandra kembali menemui mantan suaminya. “Tolong, jangan mengecewakannya. Saya permisi,” gumamnya hendak bangkit, namun cekalan di lengannya membuat langkah Sandra terhenti. Melirik sedikit tangan kirinya yang digenggam erat oleh Rendra.

“Kamu menikahkan puteri kita tanpa sepengetahuanku?” tanyanya tidak suka. “Dan sekarang kamu justru meminta aku untuk menjadi wali nikahnya?”

Menarik napas dalam, Sandra mencoba untuk bersabar. Ia tidak akan berdebat seperti yang sudah-sudah. Kini, Sandra telah berpikir matang untuk tidak turut terpancing emosi. Ia bahkan rela merendahkan diri pada sosok wibawa dengan harta dan kekuasaan yang berada di tangannya itu.

“Saya mohon,” Sandra memelas kepada mantan suaminya itu demi Nafla. “Saya tidak meminta banyak.”

“Apa kamu sadar yang kamu minta itu sudah banyak, Sandra?” Rendra menatap tajam Sandra yang tampak lebih kurus dari yang bertahun-tahun dilihatnya. “Tidak ada yang gratis di dunia ini.”

Seketika mata Sandra membelalak lebar. Ia benar-benar tidak habis pikir kenapa mantan suaminya itu begitu perhitungan hanya untuk puterinya sendiri. “Apapun yang kamu minta asalkan hadir sebagai wali puteri saya.” Dan Sandra sengaja merendah karena tahu bahwa watak seorang Rendra Wirawan dipenuhi oleh keegoisan dan harga diri.

Bibir Rendra tersungging sinis, ia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menjulang di depan Sandra yang terpaksa menengadah menatapnya.

“Jangan bermain-main denganku, Sandra,” bisiknya tepat pada telinga wanita yang bagaimanapun pernah menghabiskan waktu bersamanya walau hanya sesaat. “Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kuminta darimu.”

Mengepalkan tangannya erat, Sandra menatap dengan menantang. Dia tidak takut bahwa sosok mantan suaminya ini mengancamnya karena Sandra sudah melalui banyak hal setelah perpisahan mereka. “Demi Nafla, aku akan memenuhi permintaanmu.”

Rendra menyeringai. Ia sangat suka melihat Sandra menantangnya seperti ini, membuat dirinya kembali bersemangat. Rendra menjauhkan wajah mereka, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana panjangnya dan menatap lekat sosok cantik di depannya. “Bagaimana jika aku memintamu untuk kembali bersamaku, San?”

Seketika pipinya terasa nyeri ketika tahu bahwa Sandra menamparnya dengan kuat. Wanita itu menatap marah dirinya sebelum berbalik dan menjauh dari perusahaannya. Melihat hal itu, Rendra segera mengejar langkah Sandra, menahan lengan wanita itu sebelum mendorongnya hingga ke dinding.

Rendra mengukung tubuh Sandra, menahan kedua tangan Sandra di sisi kiri dan kanan kepala wanita itu.

“Aku nggak akan sudi kembali padamu,” gumamnya sambil mencoba melepaskan cekalannya.

Rendra tersenyum, “Kamu selalu tahu, San,” gumamnya sambil mengendus leher jenjang Sandra. “Kalau aku nggak pernah menandatangani surat perceraian kita.” Meninggalkan kecupan singkat dilehernya yang membuat tubuh Sandra seketika menegang. Menyisakan rasa sensai menyenangkan yang telah lama tidak ia rasakan. Apakah sebenarnya Sandra masih sangat mencintai Rendra? Namun, euforianya hanya sesaat sebelum mendengar pertanyaan Rendra yang menohoknya. “Apa kamu tidak tahu jika Nafla meneleponku beberapa hari yang lalu, hm?”

Nafla menelepon ayahnya?

Sandra tidak pernah tahu karena Nafla tidak menceritakan apapun padanya. Apakah anak gadisnya itu begitu merindukan sang ayah? Apakah Nafla takut jika ia akan marah? Padahal, jika Nafla memilih jujur Sandra akan dengan senang hati mengantarkan ia pada ayahnya.

Ya Tuhan, anakku...

“Dia tidak mengatakan apapun. Tapi, aku yakin bahwa dia merindukanku, San,” lanjutnya sambil menatap lekat istrinya itu. “Apa kamu tega selalu memisahkan kami seperti itu?”

“Aku nggak pernah memisahkan kalian!” serunya sambil berusaha melepaskan diri.

“Kamu memang nggak pernah memisahkan kami!” bentak Rendra keras. “Tapi, kamu nggak pernah tahu apa yang dirasakannya. Dia merasa bersalah jika harus menemuiku dibelakangmu! Dia tidak ingin mengkhianatimu, San! Dia takut kalau kamu merasa dikhianati olehnya!” ia ingin menyadarkan istri pertamanya itu. “Apa kamu pikir anak kita itu bodoh, hah?”

Sandra menggeleng pelan, “Nggak mungkin...” Tidak mungkin Nafla memikirkan perasaannya sedalam itu, ‘kan?

Jika benar, maka terkutuklah dirinya. Menjadi ibu yang paling kejam karena merasa bahwa sudah memisahkan ayah dan anak seperti ini. Melihat Rendra melepaskannya, Sandra kembali mampu bergerak bebas.

“Aku beri kamu waktu dua hari, San.” Matanya menilai penampilan sang istri yang tampil semakin cantik. “Memilih mempertahankan hakmu atau kembali padaku.”

Kaki Sandra melemas seketika. Dia tidak menyangka bahwa sikap otoriter sosok Rendra masih mampu menekannya sejauh ini. Ia benar-benar membenci laki-laki ini. Tanpa mengatakan apapun lagi, Sandra segera keluar dari perusahaan milik laki-laki yang selalu membuat perasaannya kacau.

●●●

“Ma,” panggil Nafla ragu kala ia melihat sosok perempuan tampak sedang duduk termenung di meja makan dengan lampu samar-samar. Niatnya ingin membuat susu jadi tertunda.

Nafla melirik jam dinding yang menunjukkan angka 10. Ia mendekati sang ibu yang tampaknya masih belum sadar akan kehadirannya. “Ma?”

Sandra tersentak, “Eh, Sayang? Kenapa? Kamu butuh sesuatu?”

“Mama kenapa? Lagi ada masalah?” alih Nafla melihat ibunya seakan tertekan.
Sandra menghela napas pelan, ia tersenyum lalu menggeleng tanpa menjawab. Memperhatikan wajah cantik Nafla seksama mengingatkannya akan sosok Rendra.

Apakah benar Nafla menghubungi Papanya?

Jika benar, apakah Sandra harus kembali merendahkan diri agar Rendra menjadi wali nikah puterinya itu? Karena tanpa Rendra, Nafla bisa saja membatalkan pernikahan dengan undangan yang sudah menyebar. Ia tidak bisa mempermalukan keluarga terhormat sahabatnya itu. Ia juga tidak mungkin mengecewakan puterinya yang selalu mampu membanggakannya.

Apa memang tidak ada pilihan lain ya Allah?

“Ma?” tegur Nafla saat kembali melihat ibunya melamun. “Mama kenapa?”

“Mama nggak pa-pa, Sayang.”

Mata Nafla seketika menyipit. “Nggak pa-pa gimana? Mama sedih gitu.”

Sandra menarik napas panjang. Menatap Nafla sebelum menggenggam tangan puterinya. “Kamu mau nikah, ‘kan? Mama boleh ngomong sesuatu, Nak?”

Mendengar hal itu mendadak perasaan Nafla berubah kacau. Ia merasa sedih jika harus meninggalkan ibunya seorang diri. Nafla mengangguk pelan. “Silakan, Ma.”

“Jadilah istri yang hebat yang mampu menandingi suami. Tapi, bukan berarti kita harus menyamakan diri dengannya,” tutur Sandra perlahan agar puterinya mengerti. “Kamu harus mampu memahami kemauan suamimu, begitu juga sebaliknya. Apapun yang terjadi di dalam rumah tangga itu nggak boleh sampai beber ke luar. Apalagi, jika diketahui oleh tetangga. Usahakan dikompromikan bersama, selesaikan secara baik-baik.”

Nafla masih setia mendengarkan. Ia mengangguk mengerti dengan apa yang ibunya katakan karena Nafla tahu, sang ibu lebih dulu merasakan asam manis serta pahitnya pernikahan.

“Sayang, tugas seorang istri itu berat. Menjalani rumah tangga itu nggak mudah karena akan ada banyak rintangan ke depannya. Mama mohon sama kamu, Nak, jika suatu saat kalian selisih paham, jangan mengedepankan ego,” ujar Sandra serius. “Mama mau kalau kamu ambil pelajaran dari pernikahan Mama ya? Kamu ngerti maksud Mama, ‘kan?”

Dan Nafla hanya bisa memeluk ibunya erat. Ia seakan merasakan bagaimana ditinggal oleh laki-laki yang sangat dicintainya. Apalagi jika laki-laki itu ternyata memilih untuk mempertahankan hubungan dengan masa lalunya.

“Ma, setelah menikah Nafla ingin tinggal bersama Mama saja. Nafla nggak mau tinggalin Mama sendirian.”

Sandra tersenyum, menangkup wajah puterinya sebelum mengecup dahi Nafla penuh kasih sayang. “Makasih, Nak, tapi kamu harus ikut suami kemanapun dia pergi. Surga kamu akan berada di bawah telapak kaki suamimu. Dan ingat sayang, jangan pernah mengaturnya jika ia hendak membahagiakan ibunya dengan uang yang ia miliki, karena surga seorang suami masih tetap di telapak kaki sang ibu.”

“Nafla nggak berani, Ma. Dia kejam gitu, mana mungkin Nafla berani mengatur keuangan dia.”

Sandra hanya tersenyum karena ia tahu jika suatu saat nanti, Nafla pasti akan mengerti dan menuruti apa yang ia katakan malam ini. “Sekarang kamu istirahat ya? Banyak-banyak dzikir sama do’a. Minta sama Allah semoga pernikahanmu bisa lancar.”

“Terima kasih, Ma,” ucap Nafla lalu mencium kedua pipi ibunya sebelum kembali ke kamar dengan perasaan haru.

Melihat puterinya yang sudah beranjak menjauh, Sandra mengeluarkan ponselnya. Ia mencari nama seseorang di kontak ponselnya dan mengirimi sebuah pesan,

To: Mas Rendra

Aku setuju dengan permintaanmu. Tapi, aku memiliki syarat tertentu yang juga harus kamu setujui.

Memejamkan matanya erat, Sandra mengirim pesan tersebut. Ia tahu pria itu pasti belum tertidur mengingat kebiasaan Rendra dulu yang akan tidur setelah pukul dua dini hari.

Tak perlu menunggu lama, ponsel Sandra bergetar,

From: Mas Rendra

Katakan syaratmu!

Sandra seketika tersenyum miring sebelum membalas,

To: Mas Rendra

Ceraikan Dona.

Dan kali ini, Sandra tidak mendapat balasan apapun. Ia tahu ini egois dan mustahil, tapi hanya ini satu-satunya cara agar Rendra berhenti mengganggunya dan cukup hadir sebaga wali di pernikahan puteri mereka.

From: Mas Rendra

Kau mendapatkannya.

Mata Sandra melebar seketika ssaat membaca balasan pesan masuk tersebut. Sebelum tiba-tiba panggilan dari dialler atas nama ‘Mas Rendra’ muncul di layar ponselnya.

Jangan menggertakku, Sandra. Apa kamu pikir aku nggak tahu isi kepalamu, hm?”

“M-mas... Aku—”

Sudah diputuskan. Aku akan mengurus semuanya, lalu kembali padamu. Jadi, jangan pernah pergi bersama laki-laki lain seperti waktu itu, paham?!

Dahi Sandra berkerut seketika. Ia ingat pernah pergi dengan laki-laki yang merupakan teman kantornya untuk makan siang, tapi, darimana lelaki ini tahu? Apa jangan-jangan dia melihatnya?

Sepertinya pria itu tak membutuhkan jawabannya karena setelahnya panggilan itu terputus begitu saja. Sandra memejamkan matanya erat, berharap bahwa keputusannya adalah benar. Tapi, yang menjadi pertanyaannya adalah,

Kenapa begitu mudah Mas Rendra menyetujui persyaratannya?

●●●

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang