Nafla terbangun dari tidurnya pukul 11 disaat matahari hampir sepenuhnya naik. Ia melirik sampingnya dan melihat ranjang itu kosong. Nafla sejenak memejamkan matanya, membayangkan hal semalam yang ia lakukan dengan suaminya membuat dirinya tersenyum kecil. Ia jadi malu jika bertemu dengan Mas Asgaf nanti.
Nafla mencoba bangkit dan sedikit merasakan nyeri di bagian bawah tubuhnya. Berjalan tertatih ke kamar mandi untuk menyikat gigi karena sebelumnya ia sempat membersihkan dirinya sebelum shalat subuh berjama’ah bersama sang suami untuk yang pertama kalinya.
Setelahnya, Nafla beranjak keluar kamar dan melihat dekorasi rumah ini dengan jelas karena pagi ini, ia baru mampu melihat segalanya dengan terang.
“Nyonya,” sapa seorang pembantu yang dipekerjakan oleh Asgaf di rumah ini untuk bersih-bersih. “Tuan memesan agar Nyonya segera ke dapur.”
“Dimana dia sekarang?”
Wanita paruh baya tersebut tersenyum tipis. “Di dapur, Nyonya.”
Nafla mengangguk dan menahan langkah pembantu itu, seketika ia bergumam, “Panggil saja saya Nafla, Bu. Saya nggak suka di panggil Nyonya. Nama ibu siapa? Kita belum berkenalan.” Ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah.
“Saya Ratna, Nak. Memang nggak pa-pa saya panggil kamu nama? Nanti Tuan marah.”
Nafla lagi-lagi tersenyum dan menggeleng, “Nggak pa-pa kok, Bu. Ya sudah, saya ke dapur dulu.”
“Iya.”
Dan Nafla melangkah menuju dapur yang tidak jauh dari ruang tamu. Ia mendengar suara blender sebelum mencuri pandang pada punggung lebar suaminya yang memakai kaos putih oblong dan celana pendek sedang membuat jus buah.
Seakan sadar diperhatikan, Asgaf menoleh. Ia menggerakkan jemarinya supaya Nafla mendekat. Memberikan kecupan di dahi istrinya sebelum bertanya, “Gimana keadaan kamu? Apa masih sakit?”
Nafla mengangguk. “Sedikit,” jawabnya sebelum melihat bahan makanan yang tersedia di atas meja. “Mau buat apa, Mas?”
“Nasi goreng,” sahut Asgaf sebelum mencincang bawang merah dengan lihai layaknya chef. “Sayang, tolong matikan blendernya.”
Nafla menurut lalu mematikan blendernya. Ia mengambil dua gelas kaca dan menaruh jus buah apel yang dibagi rata.
“Kamu seharusnya istirahat saja dulu. Hari ini biar Mas yang masak.”
“Aku nggak pa-pa kok, Mas. Lagian bentar lagi juga hilang.”
Jawaban yang Nafla berikan membuat Asgaf menoleh. Tampaknya ia tahu bahwa Nafla berbohong dari pengalamannya karena biasanya rasa sakit itu akan hilang setelah beberapa hari.
“Aku juga mau ke kampus hari ini untuk ngurus keperluan yudis.”
“Na,” tegur Asgaf membuat Nafla terdiam. “Hari ini kamu cukup di rumah saja. Jalan kamu aneh gitu, ntar dikira orang kamu kenapa-napa lagi.”
“Memang aku kenapa-napa, ‘kan?” tanyanya sambil mengambil buah apel yang terkelupas lalu melahapnya. “Mas yang bilang nggak mau dulu malam pertama eh nggak taunya...”
Asgaf tersenyum kecil sebelum menaruh mentega di atas wajan penggorengan. “Salah sendiri juga. Kamu ngegoda Mas di pagi buta.”
Nafla memutar bola matanya sebelum mengambil spatula dan menumis bawang merah yang telah Asgaf cincang. Membiarkan sang suami menggoreng telur dadar di kompor listrik sebelahnya. “Siapa yang ngegoda? Mas aja yang bangun kecepetan.”
“Tapi, enak ‘kan?” selanya sambil memasukkan dua telur yang sudah dikocok ke dalam teflon.
“Apaan sih,” Nafla terlihat malu-malu dengan rona di pipinya. Dan tiba-tiba ia merasakan kecupan singkat di pipi kirinya. “Mas,” pekiknya pelan. “Dilihatin sama Bu Ratna kan nggak enak.”
“Dia pasti ngerti,” gumamnya tidak peduli lantas mengangkat telur yang sudah matang lalu menatanya di atas piring. “Mas suka lihat kamu malu-malu kucing gitu.”
“Masa ngatain malu-malu kucing,” sungutnya sambil terus menggoreng nasinya hingga kecoklatan.
Asgaf memeluk Nafla dari belakang yang membuat jantungnya terus berdetak keras dengan perlakuan laki-laki itu tiba-tiba. “Benar, ‘kan? Kamu mau tapi malu-malu. Sama kayak kucing.” Asgaf mengecup leher jenjang Nafla sambil menghirup aroma baby di tubuh istrinya. “Kamu Wangi bayi, Na.”
“Aku suka parfum bayi. Aromanya diterima siapa aja soalnya kalau beli yang alkohol gitu kadang suka nyengat terus bikin mual.” Nafla hendak meraih mangkuk nasi tapi pelukan Asgaf menahan gerakannya. “Mas geser ih, aku mau ambil itu.”
“Matikan dulu kompornya,” bisik Asgaf pelan sebelum memaksa istrinya untuk menghadapnya. “Nggak pa-pa, nggak usah diganti. Mas suka wangi ini.”
“Iya, Mas.”
Asgaf tersenyum dan melepaskan istrinya lalu bertanya, “Na, Mas nggak ada cuti karena kita nikahnya mendadak. Jadi, liburan honeymoon kita diganti pas liburan semester ya? Kamu nggak pa-pa, ‘kan?”
Nafla mengendikkan bahunya, “Nggak pa-pa kok, Mas. Aku mau di rumah aja sih, lagi malas kemana-mana.” Ia meletakkan nasi goreng di atas meja makan beserta jus yang di blender Asgaf sebelumnya.
“Benar kamu nggak kenapa-napa?”
“Nggak percayaan banget sama aku,” decaknya lalu duduk di sebelah suaminya. “Lagian, aku mau siapin yudisium sama urus berkas wisuda dulu bulan ini biar kelar terus.”
Asgaf mengangguk. “Iya. Berkas kamu serahkan saja sama Frida. Nanti Mas ngomong sama dia.”
“Nggak usah,” sela Nafla sambil menaruh nasi goreng ke atas piring untuk suaminya. “Aku bisa sendiri kok. Mas nggak usah ikut campur. Aku tetap ikutin prosedur yang ada.”
“Oke. Mas nggak akan ikut campur.” Asgaf menerima piring yang berisi nasi goreng dan telur dadar beserta sayuran mentah yang menjadi lalapan mereka. “Siang nanti Mas ada sidang, kemungkinan sore Mas baru pulang.”
“Sidang siapa?” tanya Nafla penasaran, karena setahunya yang ramai sidang bulan ini adalah angkatannya.
“Raya. Temen kamu, ‘kan?”
Seketika ia membelalak. “Mas jadi pengujinya?”“Lho, memangnya dia nggak bilang?”
Nafla menepuk dahinya pelan sebelum menatap suaminya memohon, “Mas, jangan kejam kejam ya? Kasihan dia.”“Mas harus profesional. Jangan kira jika itu sahabat kamu Mas akan berbaik hati. Nggak, Na!” Asgaf mengunyah sarapan yang bisa dikatakan makan siang itu dengan lahap dan menelannya perlahan. “Kalau memang skripsinya itu dia buat sendiri, pasti dia bisa menjawab apapun yang Mas tanyakan. Kecuali dia membayar orang untuk menulis skripsinya.”
Nafla hanya mengangguk tipis dengan wajah ditekuk ke bawah. Memakan nasi gorengnya kembali. “Iya, Mas.”
Asgaf menghela napas pelan, meletakkan sendok dan garpunya lalu menatap istrinya lembut. “Na, Mas minta tolong boleh?”
“Apa?”
“Mas nggak mau gara-gara orang kita bertengkar. Mas nggak suka harus adu mulut sama kamu di hari pertama kita. Kamu cukup memberikan Raya semangat dan dia pasti mampu melewati sidangnya dengan baik," jelasnya. "Kalau kamu mau, kita bisa berangkat bersama."
Nafla tersenyum dan mengangguk, “Maaf dan makasih, Mas.”
“Sama-sama,” jemari Asgaf yang terdapat cincin pernikahan mereka mengelus punggung jemari Nafla. “Mas sayang sama kamu, Na.”
Dan ini pertama kalinya ia mendengar kata sayang itu langsung dari bibir suaminya.
●●●
Bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
General FictionSUDAH TERSEDIA VERSI AUDIOBOOK YA GAESS!! CUSS LANGSUNG KE APP POGO DAN SEARCH, MIKAS4 ;) ** Nafla tidak pernah bermimpi untuk menikah muda, apalagi dengan seorang duda. Bagaimana dia harus menghadapi pria yang usianya empat belas tahun lebih tua? ...