“Congratulations, Sayang...,” seru Ifa sebelum memeluk Nafla erat saat sidangnya selesai. Kini, mereka hanya tinggal berlima karena dosen lebih dulu keluar setelah berfoto dengan Nafla. “Nggak nyangka udah ramai yang sidang. Tinggal aku, Gea, sama Raya doang yang belum di grup kita.”
“Aduh, aku pusing mikir Pak Fahri yang sok sibuk,” gumam Gea sambil membantu Nafla merapikan sampah-sampah makanan serta melipat kembali taplak meja hijau yang telah digunakan. “Kapan mau siap kalau Bapak itu sibuk terus?”
Nafla mengernyit pelan, “Kamu kan masih bisa konsul sama Miss Diana, Ge. Dia pembimbing dua kamu, kan?”
“Ya kali Miss Diana mau! Miss Diana itu terlalu nurut sama aturan. Kalau Bab III aku belum di acc sama Pak Fahri, mana mau dia acc.”
Raya seketika menyela. “Aku sering lho lihat Pak Fahri di lab. Mending kamu jumpain langsung. Nggak usah pakai janji temu sama dia.”
“Kalau di usir gimana?”
“Nggak bakal,” Ifa menyahut sambil mematikan proyektor. “Soalnya banyak kakak kelas yang konsul sama dia itu nggak perlu pakai janji. Kalau ketemu ya sikat aja. Daripada pesanmu nggak pernah dibalas setiap minta ketemu, mending temui langsung.”
“Ifa benar.” Putri menatap Gea dengan yakin. “Kalau kamu nunggu Pak Fahri balas pesan, percayalah semester depan kamu masih stuck di Bab III.”
“Amit-amit. Jangan sampai!” Gea merinding mendengarnya. “Aku coba deh besok jumpain dia langsung. Soalnya, lama-lama di Bab III bikin aku alergi liat itu metode penelitian. Sampai hafal diluar kepala setiap kata-katanya.”
Jawaban sungut itu membuat teman-temannya terkekeh. Setelah selesai merapikan ruangan itu, Nafla mematikan air conditioner lalu menutup dan mengunci kembali ruang diseminasi. Ia membawa semua perlengkapan yang digunakan untuk dikembalikan di prodi.
“Kak, ini ada brownies untuk kalian,” Nafla memberikan sekotak brownies utuh yang memang disisakannya untuk staff prodi yang berjumlah 2 orang.
“Makasih, Na,” ujar Kak Frida lalu menatap Nafla sambil tersenyum, “Udah selesai ya? Gimana? Lancar?”
Nafla mengangguk, “Alhamdulillah lancar, Kak. Oya, syarat untuk yudisium nggak banyak kan kak?”
“Nggak kok, cuma upload abstrak, pas poto, sama jurnal.”
Nafla tampak mengangguk. Berarti setelah ini, ia akan mengetik jurnal dan mencuci fotonya. “Baik, Kak. Terima kasih.”
“Sama-sama, Na.”
Nafla keluar dari prodi yang sudah di tunggu oleh teman-temannya. Mereka duduk di kursi sambil menatap Nafla seakan meminta penjelasan.
“Na, masih ada waktu satu jam sebelum dzuhur,” gumam Raya tiba-tiba yang membuat dahi Nafla berkerut seketika. “Jadi, bisa kamu jelasin sekarang apa hubunganmu dengan Pak Asgaf?”
Dan tampaknya Nafla tidak bisa langsung pulang mengingat ia memang harus menjelaskan hubungannya dengan Pak Asgaf kepada teman-temannya.
●●●
Sepulangnya dari kampus, Nafla memilih untuk berbaring di ranjang empuknya. Meraih ponselnya yang tidak ada pemberitahuan panggilan ataupun pesan dari siapapun, Nafla mencari satu nama kontak yang bertahun-tahun tidak diliriknya.
Apakah nomor ini masih digunakan? Pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam karena tiba-tiba saja ia merasa gugup.
Tak lama, Nafla menekan panggilan tersebut. Mencoba untuk mengetahui apakah nomor itu masih aktif? Atau justru diganti? Nada sambung terdengar tiba-tiba yang membuat mata Nafla membelalak lebar. Seketika Nafla gugup dan panik, hendak mematikan ponselnya, namun suara berat nan tegas itu menyapa lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why?
General FictionSUDAH TERSEDIA VERSI AUDIOBOOK YA GAESS!! CUSS LANGSUNG KE APP POGO DAN SEARCH, MIKAS4 ;) ** Nafla tidak pernah bermimpi untuk menikah muda, apalagi dengan seorang duda. Bagaimana dia harus menghadapi pria yang usianya empat belas tahun lebih tua? ...