Bagian 20

77.3K 5.1K 22
                                    

Nafla menatap dirinya sendiri yang tengah dihias secantik mungkin. Ia bahkan tidak menyangka bahwa bisa secantik ini karena perubahan wajahnya yang mendadak drastis. Melirik jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi, Nafla mulai bersiap-siap. Semalaman ia tidak tidur hingga perias datang pukul dua dini hari yang kini membuatnya tampak lelah dan untung saja semuanya tertutupi oleh make up yang begitu mempesona.

“Kamu cantik sekali, Sayang,” gumam ibunya yang telah siap memakai kebaya putih. Menatap haru puteri bungsunya yang tengah duduk di meja rias.

Nafla tersenyum tipis, “Ma, dimana Kak Rena?”

“Ada di kamarnya. Sejak semalam dia nggak keluar kamar.” Sandra menatap puteri bungsunya yang terlihat sendu. “Udah, jangan dipikirin. Ini hari bahagiamu, lho. Mama yang akan urus Kakak kamu.”

“Tapi, Ma—”

Sandra menggeleng sambil memegang kedua pundak puterinya. Menatap lembut sosok cantik yang ada di kaca dan tersenyum manis, “Sayang, sebentar lagi kamu akan sah jadi milik Asgaf. Mama mohon jangan pikirkan apapun seharian ini karena hari ini adalah hari spesial kamu. Jadi, bersenang-senanglah karena kita menikah hanya sekali seumur hidup.” Ia kemudian melanjutkan, “Mama akan menyiapkan keperluan di bawah dulu. Kamu tunggu di sini saja ya?”

Nafla mengangguk pelan, lalu melihat ibunya keluar dari kamarnya. Ia kembali menatap dirinya sebelum melihat ponselnya yang bergetar di atas meja rias. Dilihatnya pesan masuk dari Pak Asgaf yang membuat Nafla tersenyum simpul.

Pak Asgaf DP1

Mentari bahkan malu menunjukkan sinarnya karena hari ini ia yakin kalau kamu lebih bersinar darinya.
Prepare yourself to be my wife, Nafla Khinsa Adlina.

Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang membaca pesan dari calon suaminya. Nafla memegang dadanya yang merasakan euforia tersendiri. Ia hanya berharap bahwa semua akan baik-baik saja dan berjalan lancar.

●●●

“Sah?”

Dan sebagi wali dari kedua pengantin, mereka serentak mengatakan ‘sah’ untuk Asgaf yang sudah dengan lancar tanpa hambatan mengatakan ijab qabul.

Rena yang berdiri tak jauh dari sana kian terisak keras. Apakah ini rasa sakit yang dulu Mas Asgaf rasakan ketika dirinya selingkuh bersama Deni? Padahal, malam itu ia dijebak oleh Deni yang tak lain adalah sahabat Mas Asgaf sendiri. Rena ingat bahwa ia diberi minuman oleh Deni yang membuat Rena setengah sadar dan melakukan hal zina.

Rena menjauh dari sana karena hatinya benar-benar tidak sanggup melihat lanjutan dari pernikahan mantan suaminya itu.

Dan tak lama setelahnya, Nafla turun diiringi oleh teman-temannya. Gadis itu terlihat begitu cantik dengan gaun putih yang indah. Sesampainya Nafla di sebelah Asgaf, ia menyalami pria yang sudah menjadi suaminya. Lalu, Asgaf mengecup ubun-ubun Nafla dan berbisik pelan, “Jadilah istri sholeha, Sayang.”

Nafla mengangguk tipis sebelum keduanya disuruh untuk menandatangani surat nikah. Menyalami kedua orang tua masing-masing dan juga berfoto.

“Sayang, ayo... Ganti baju dulu. Kalian foto dulu sebagai ganti prewed.”

Sandra menyetujui ucapan Viona. Mereka mengajak Nafla mengganti pakaian dan kembali berfoto untuk pajangan di rumah mereka nanti dengan baju yang berbeda.

“Lelah, Na?” tanya Asgaf saat beberapa kali mereka berganti pakaian, apalagi Nafla yang sering mengganti model rambutnya setiap ganti baju.

“Ia pa- Mas,” Nafla tertawa sendiri setelahnya.

“Kenapa ketawa?”

“Saya geli manggil Bapak dengan Mas,” gumamnya pelan sambil memegang perutnya yang geli. “Bapak lebih cocok jadi Bapak saya.”

Asgaf menyeringai, “Sayangnya aku jadi suami kamu sekarang.”

“A-aku?” tanya Nafla seakan salah pendengaran.

“Harus dibiasakan,” Asgaf menarik pinggang Nafla, membiarkan fotografer mengambil candid mereka. “Seperti kamu yang harus membiasakan panggil ‘Mas’,” lanjutnya disertai kecupan di hidung mancung Nafla.

“Oke, bagus.” Suara fotografer membuyarkan lamunan Nafla, lalu memperlihatkan hasil pada Asgaf yang lebih dulu beranjak meninggalkannya.

●●●

Nafla merasa resah karena sejak awal ia sama sekali tidak melihat sosok kakaknya yang kemungkinan besar marah padanya. Bagaimana mungkin tidak marah disaat ia telah merebut cinta sang kakak? Tiba-tiba saja Nafla menjadi khawatir.

“Kamu kenapa?” tanya Asgaf saat melihat istrinya berdiri dengan gelisah sambil menyalami tamu yang memberi ucapan selamat pada keduanya.

“Aku khawatir sama Kak Rena, Mas.”

Asgaf berusaha untuk menahan emosinya ketika Nafla kembali membahas tentang wanita itu. “Khawatir kenapa? Dia sudah besar, Na.”

“Nggak itu maksud aku. Anu—” Nafla terdiam saat melihat suaminya yang menatapnya tajam. Ia menunduk dalam dan berusaha untuk memendam rasa khawatirnya sebelum kembali tersenyum pura-pura saat menyalami tamu-tamu yang bergiliran memberi ucapan selamat.

“Mas nggak mau kamu mikirin siapapun selain tentang kita hari ini.”

Nafla mengangguk pelan mendengar bisikan suaminya. Ia melirik sekelilingnya untuk menemukan sang kakak yang ternyata memang tidak ada di tempat. Nafla menghela napas karena merasa terbebani akan pernikahan ini. Ia jelas mengingat bagaimana semalam sang kakak memohonnya untuk terus membatalkan pernikahan ini.

“Kak Nafla, Papa!” seru Caca yang memakai gaun putih cantik dalam rangkulan Omanya. “Kak Nafla cantik sekali,” gumamnya riang lalu memeluk Nafla erat.

Nafla membalasnya dan tersenyum, “Kamu juga cantik. Sayangnya Kakak nggak secantik kamu,” rayunya yang membuat Caca tertawa sambil malu-malu.

“Mama tinggal Caca dulu ya, Sayang,” gumam Viona yang dibalas anggukan oleh Nafla. “Dari tadi dia minta ketemu kamu.” Viona menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah cucunya sebelum kembali meninggalkan panggung pelaminan keduanya.

“Kak Nafla,” panggilnya sebelum memilih untuk duduk di tengah-tengah keduanya. “Sekarang Kak Nafla jadi Mama Caca dong?”

Nafla melirik Asgaf yang sedang mengelus rambut puterinya. Pria itu dengan segera menjawab, “Iya, Sayang. Kamu panggil Kak Nafla Mama ya?”

“Nggak pa-pa, Ca,” sela Nafla cepat. “Panggil Kakak juga nggak pa-pa. Kan kita udah sepakat, ya kan?”

“Caca harus dibiasakan, Nafla!” Asgaf berujar tegas. “Jangan dimanjain. Lagian sampai kapan dia harus panggil kamu kakak disaat kamu sudah menjadi istri papanya?”

Caca meraih tangan Nafla saat hendak menjawab sang ayah. “Kak Nafla, Caca nggak pa-pa kok manggil Kakak dengan Mama.”

“Tapi, Ca—”

Caca menggeleng tegas dan memilih berbisik agar tidak di dengar oleh sang ayah. “Kak Nafla nggak tahu gimana kalau Papa marah? Serem banget, Kak,” Caca kembali melanjutkan, “Jadi, kita turuti aja apa kemauan Papa. Caca takut sama Papa, Kak.”

Nafla terkekeh pelan. “Iya deh kalau itu mau kamu. Ya sudah, panggil Kakak Mama aja.”

Dengan antusias Caca mengangguk. “Mama Nafla,” gumamnya yang membuat keduanya tertawa bersama. Membuat Asgaf menggeleng kecil dan kembali menyalami tamu-tamu yang berdatangan tanpa henti. Dalam hati ia berdecak pelan,

Berapa banyak ibunya mengundang orang? Satu kota ‘kah?

Dan Asgaf hanya mampu memamerkan senyum tipisnya pada wanita-wanita murahan yang terus mencuri pandang saat menyalaminya.

●●●

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang