Bagian 21

82.7K 5.2K 135
                                    

Nafla hanya mampu mengikuti kemana pun sang suami membawanya. Kini, ia dan Asgaf berada dalam satu mobil tepat setelah resepsi mereka selesai. Asgaf ingin memberikan kejutan untuk istrinya itu sementara Caca dititipkan pada kakek dan neneknya.

“Kita mau kemana?”

Asgaf melirik Nafla yang terlihat lelah. Ia menggenggam tangan istrinya yang terkulai begitu saja di atas paha Nafla lalu menautkan jari mereka satu sama lain. “Kalau kamu capek, tidur saja dulu. Nanti Mas bangunin kalau sudah sampai.”

Nafla mengangguk dan bersandar di pundak suaminya. Ia memejamkan matanya walau benaknya terus menerus bertanya-tanya tentang tujuan mereka. Dan tak lama setelahnya Nafla terlelap begitu saja saat merasakan rambutnya dielus elus oleh tangan besar yang kukuh tersebut.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan mereka. Asgaf menggoyangkan bahu Nafla dengan hati-hati agar gadis itu tidak terkejut. “Sayang, kita sampai.”

Nafla mengerjapkan matanya lalu mengangguk. Ia menguap sejenak sebelum keluar dari mobil mengikuti sang suami.

“Kita dimana? Ini rumah siapa?” tanyanya saat melihat rumah minimalis dua lantai.

“Pak, antarkan saja ke dalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Pak, antarkan saja ke dalam. Disana nanti ada pembantu yang mengatur barang-barang tersebut.” Asgaf memberikan perintah untuk supir yang usianya sedikit lebih tua darinya. Setelahnya, ia mendekati Nafla dan merangkul bahu gadis itu. “Rumah kita. Untuk sementara berdua dulu ya? Nanti baru kita ajak Caca.”

“Kalau sekarang ajak Caca kenapa?”

“Bulan madu kita ntar batal,” sahutnya jujur tanpa memperdulikan wajah Nafla yang memerah. “Mas nggak mau ada yang ganggu malam pertama kita.”

“Tapi—”

Asgaf menggeleng tak membiarkan gadis itu menolaknya, lantas menarik pelan tangan Nafla agar segera masuk. “Rumah ini memang nggak sebesar rumah yang Mas buat untuk Kakak kamu dan Mas berharap kamu nggak berkecil hati.” Ia menatap lekat wajah Nafla yang terlihat bingung. “Kamu nggak pa-pa ‘kan? Penghasilan Mas juga sekarang jadi penghasilan kamu. Mas harap kamu bisa mengatur keuangan dengan baik, Nafla. Digunakan seperlunya.”

“Sebaiknya Mas sendiri aja deh yang simpan uangnya. Aku takut nanti terpakai untuk kebutuhanku.”

“Kenapa memangnya? Mas nggak ngelarang kamu pakai uang yang Mas kasih untuk kebutuhan kamu,” gumam Asgaf sambil menatap istrinya serius. “Karena tugas Mas itu adalah menggantikan orang tuamu untuk memenuhi kebutuhanmu, apapun itu! Kalau memang kamu nggak berani juga atau takut boros, kamu buat saja pembukuan supaya tahu uang-uang itu digunakan untuk apa-apa saja.”

Seketika Nafla mengangguk. “Boleh, Mas.”

Asgaf tersenyum kecil dan kembali mengajak istrinya masuk. "Sebenarnya rumah ini sudah lama dipersiapkan Papa untuk calon istri Mas. Walau Papa menolak untuk menerima bayaran Mas dan sekarang dia mengikhlaskan rumah ini untuk kita, terutama kamu." Asgaf melirik sekitar rumahnya yang tampak nyaman. "Kamu jangan sungkan meminta apapun sama Mas. Hubungan kita sudah suami istri, jika ada masalah katakan dengan jelas. Selesaikan baik-baik dan jangan sampai bocor keluar karena Mas sama sekali nggak suka jika masalah pribadi kita diketahui orang lain, paham?”

Why?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang