Chapter 8 🍁

1.1K 146 90
                                    

Syukurlah Paman Yoon bisa mengerti penjelasan Jihoon, meskipun dengan terbata-bata dia berbohong bahwa dia menginap di rumah teman kantornya semalam. Jihoon tidak terbiasa berbohong sebelumnya sehingga kebohongannya pasti terlihat jelas di matanya yang panik.

Tetapi rupanya Paman Yoon tidak menyadarinya, Pria paruh baya itu rupanya sudah cukup senang karena Jihoon sudah pulang dengan selamat.

Jihoon melangkah masuk ke kamarnya dan melirik ke arah jam tangannya. Hari ini hari minggu dan sudah jam tiga siang. Perjalanan dari rumah Jinyoung ke asramanya cukup jauh dan harus menembus kemacetan.

Biasanya di hari minggu Jihoon akan menemani Paman Yoon berbelanja untuk keperluan makan malam anak-anak asrama, tetapi dengan berat hati dia tidak ikut hari ini dan membiarkan Paman Yoon ditemani oleh anak asrama yang lainnya.

Jihoon membaringkan tubuhnya di ranjang dengan mata nyalang menatap langit-langit. Dia telah berganti pakaian dengan pakaian rumahan, kemeja yang dipakainya semalam tersampir di punggung kursi seolah-olah menuduhnya.

Bagaimana mungkin semua bisa berubah secepat ini?. Semalam bahkan dia masih yakin bahwa dia dan Woojin akan menjadi sepasang kekasih. Jihoon berencana menjawab 'ya' kepada Woojin seusai pesta. Tetapi kenyataan kemudian berkata lain.

Woojin ternyata orang yang tidak bisa menahan nafsu dengan pergaulan yang begitu bebas, yang tidak bisa diterima Jihoon.

Tetapi dia sendiri juga melakukannya bersama Mr. Joseph– meskipun dia belum yakin, dan mereka dalam kondisi mabuk. Tapi tetap saja itu tidak bisa dibenarkan. Jihoon merasa mengkhianati semua norma yang selama ini selalu dipegangnya dengan teguh. Tanpa sadar air matanya menetes lagi, air mata kebingungan, dan tak tahu harus mengungkapkannya kepada siapa.

Ponselnya berdering terus menerus, membuatnya terbangun. Jihoon rupanya sudah tertidur pulas tanpa sadar ketika menangis di kamarnya tadi. Dengan mata perih dia melihat ke arah ponselnya yang masih berkedip dengan nada dering yang berbunyi makin nyaring, seolah tidak mau menyerah sebelum Jihoon mengangkatnya.

Jihoon menggapai dan meraih ponsel itu. Nama 'Woojin' tertera di sana. Seketika membuat jantungnya berdenyut, sakit. Dipegangnya ponsel itu tanpa niat mengangkatnya. Lama ponsel itu berdering seolah Woojin tidak mau menyerah di seberang sana. Sampai kemudian deringannya mati, membuat Jihoon menghela napasnya lega.

Tetapi kemudian ponselnya berbunyi pelan, sebagai tanda sebuah pesan masuk. Jihoon mengintipnya. Itu pesan dari Woojin, Jihoon kemudian membacanya.

– Aku akan tiba di Asrama sebentar lagi. Kita harus membicarakan sesuatu –

Jihoon mendesah, dia sungguh-sungguh tidak siap bertemu Woojin sekarang ini. Tetapi Woojin itu sungguh memaksa, dan Jihoon tahu Woojin sangat gigih, dia tidak akan menyerah sebelum Jihoon menemuinya.

.

.

.

Woojin benar-benar datang sore itu, tampak sangat tampan dengan sweater hijau tua-nya dan celana hitam yang membungkus ketat kaki panjangnya. Tetapi Jihoon tidak bisa merasa tertarik lagi.

Bayangan Woojin bercumbu dengan penuh gairah dengan pria kecil itu membuatnya merasa mual. Karena itulah dia berdiri agak jauh dari Woojin di teras asrama itu dan menatapnya dengan dingin.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi." Gumamnya pelan, berusaha tenang.

Woojin disisi lain menatap Jihoon dengan pandangan penuh penyesalan.

"Aku minta maaf Jihoon. Aku tahu mungkin kau merasa jijik dan muak kepadaku. Di awal malam aku memintamu menjadi kekasihku dan mengatakan mencintaimu, tetapi kemudian kau menemukanku sedang berbuat hal yang tidak senonoh dengan orang lain." Woojin mengacak rambutnya dengan frustrasi, "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, aku juga jijik dan muak kepada diriku sendiri."

Unforgiven Hero : Deepwink ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang