***
Jinyoung menyetir dalam perjalanan pulang, penuh tekad. Dia membawa seikat bunga mawar dan sekotak cokelat mahal berbungkus kertas keemasan dan berpita merah.
Malam ini dia akan mengaku kepada Jihoon
Dia akan mengaku, lalu menyerahkan semua keputusan di tangan Jihoon. Dia akan menjelaskannya sejelas mungkin agar Jihoon tidak salah paham dan mengambil kesimpulan yang salah. Dia akan meyakinkan bahwa semua yang dilakukannya berasal dari rasa bersalah yang kemudian berkembang menjadi cinta. Pada akhirnya Jihoon akan menghargai kejujurannya, Jinyoung yakin itu. Jinyoung bergantung kepada keyakinan itu.
Sejujurnya dia ketakutan setengah mati, tidak tahan kalau harus menghadapi kebencian Jihoon. Kebencian yang menghancurkannya. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu.
Membuat hatinya hancur lebur.
Ketika mobilnya diparkir di garasi, dia menatap ke arah rumah dan jantungnya berdegup kencang. Malam ini adalah malam penentuan. Diraihnya kotak cokelat dan bunga itu, lalu melangkah memasuki rumah.
Rumah sepi dan gelap. Jinyoung mengernyit. Biasanya Jihoon sudah menunggunya di ruang tamu, menyambutnya dengan ceria sambil bercerita tentang harinya lalu menodong Jinyoung untuk bercerita tentang harinya juga. Tetapi rumah terasa lengang dan sepi. Para pelayan pasti sudah tidur di bagian belakang rumah, dimana Jihoon?.
Jinyoung melangkah menaiki tangga, membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kamar itu gelap, dan setelah Jinyoung menyesuaikan matanya dengan kegelapan ruangan, dia menemukan Jihoon duduk di pinggir ranjang, menatapnya dengan ekspresi yang tidak terbaca.
"Jihoon? Kenapa?." Jinyoung melangkah masuk, dan seperti biasa berlutut di depan istrinya, disentuhnya dahi Jihoon dengan lembut, "Kau sakit?"
Jihoon memiringkan kepala, menghindari Jinyoung, sebuah gerakan refleks yang sama sekali tidak diduga oleh Jinyoung, istrinya menghindari sentuhannya? Kenapa? Apa yang terjadi?.
"Jihoon?."
Ruangan itu gelap. Tetapi tatapan Jihoon yang ditimpakan kepada Jinyoung begitu tajam, penuh luka. Membuat jantung Jinyoung berdenyut cemas.
"Aku hanya menginginkan sebuah kebenaran. Jawab pertanyaanku Jinyoung." Jihoon menghela napas dalam-dalam, "Apakah kau orang yang menyebabkan kematian ayahku?."
Dunia seakan runtuh di bawah kakinya. Seketika itu juga. Seakan menelannya dan membuat rongga dadanya serasa sesak, sesak yang menyedihkan. Jihoon sudah tahu. Jihoon sudah tahu entah dari siapa, dan dia terlambat.
Apa yang harus dia lakukan? Istrinya ini pasti sekarang sangat membencinya, menolak sentuhannya. Muak kepadanya. Jinyoung menundukkan kepalanya, suaranya keluar penuh kepedihan.
"Ya Jihoon."
Jawaban singkat sudah cukup. Hati Jihoon hancur seketika itu juga. Air mata mengalir deras di pipinya, seluruh pertahanannya hancur, membuatnya luluh dan tidak berdaya. Jadi semuanya benar. Semua ini hanyalah kebohongan yang dibangun Jinyoung. Semua ini hanyalah kepalsuan.
"Kenapa kau membohongiku." Jihoon terisak-isak dalam kepedihan, "Kau membohongiku, kau menipuku selama ini... dan aku.. dan aku bahkan mencintamu! Oh Ya ampun! Betapa bodohnya Aku!" Jihoon berdiri, menghindari kedekatan Jinyoung dan melangkah ke dekat jendela, "Teganya kau Jinyoung!"
Jinyoung merasakan kesakitan luar biasa melihat kesedihan Jihoon. Yah. Pada akhirnya yang dilakukannya hanyalah membuat Jihoon menangis sedih. Sama seperti sepuluh tahun lalu, yang bisa dilakukan Jinyoung hanyalah menghancurkan kehidupan Jihoon, membuatnya menangis. Dia memang jahat, dan sekuat apapun dia mencoba, dia memang tak termaafkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgiven Hero : Deepwink ✔
Historia CortaJinyoung harus menanggung hukuman atas dosa yang telah diperbuatnya pada Jihoon di masa lalu. Dia hanya ingin menembus dosanya pada Jihoon dalam bayangan tanpa wujud. Tetapi semuanya hancur ketika hasrat yang kuat mulai merasukinya dan menjadikannya...