Part. G (Pengantin Baru)

750 56 0
                                    

Arza menghampiri ayah mertuanya yang sedang mengobrol dengan paman Hani. Tak lupa, Arza menyapa bibi Hani yang sedang meletakkan minuman serta cemilan di atas meja.

Pak Satri tersenyum menyambut kedatangan anak menantunya. Ia segera menggeser posisi duduknya agar Arza bisa duduk di sampingnya dalam satu sofa.

Mendapati bahwa kehadirannya sudah ditunggu-tunggu, Arza tidak menunggu lama lagi untuk segera bergabung dengan keluarga istrinya. Sebenarnya Arza penasaran, kenapa ayah mertuanya memintanya bergabung bersama keluarga Hani yang lain, padahal ini adalah malam pertamanya bersama Hani sebagai sepasang suami dan istri baru.

"Papa mengganggu kalian ya?" tanya Pak Satri setelah Arza bergabung dengan keluarga besar Hani yang laki-laki. Laki-laki yang menjadi sosok ayah itu tersenyum meminta maaf kepada Arza. "Maaf ya, kalian bisa lanjut nanti, tapi kalau kalian merasa tidak nyaman sebaiknya kalian pergi ke hotel saja. Papa yakin kalian akan lebih nyaman kalau tidur di hotel."

Arza memaksakan senyumnya. Sebenarnya Arza masih merasa canggung dengan ayah mertuanya. "Tidak apa-apa, Pa. Kami juga masih belum tidur. Tapi sebelumnya saya minta maaf, maksud papa kalau kami merasa tidak nyaman tadi apa ya, Pa?"

Pak Satri tertawa menanggapi kepolosan menantunya, atau mungkin saja berpura-pura polos. "Rumah ini masih ramai sampai pembubaran panitia selesai, dan acaranya akan dimulai sebentar lagi. Kalau kalian merasa terganggu dengan kebisingan yang akan ditimbulkan rapat sebaiknya kalian tidur di hotel saja."

Paman Hani ikut menyahut. "Kami ini mengerti situasi pengantin baru yang ingin suasana tenang," ucap paman Hani menggoda si pengantin baru.

Arza tersenyum lagi. Kini dia sudah mengerti sepenuhnya maksud ucapan dari ayah mertuanya. "Oh, tidak apa-apa, Pa. Kami tidur di rumah saja, angin malam tidak begitu baik apalagi kami sama-sama dalam kondisi yang kelelahan, lagipula cukup jauh menuju ke hotel, Pa," jawab Arza dengan nada yang cukup hati-hati, takut bila dia menyinggung ayah mertuanya.

Pak Satri mengangguk paham. "Ya sudah. Papa menurut kalian saja. Oh ya, sebaiknya kamu segera tidur karena pasti Hani sudah terlelap lebih dulu. Anak itu memang sangat suka tidur."

Arza mengangguk patuh. "Ya, Pa. Kalau begitu Arza kembali ke dalam kamar. Selamat malam, Pa, semuanya," pamit Arza kepada ayah mertuanya sekaligus para saudara Hani.

Arza berjalan menuju kamar Hani yang juga menjadi kamarnya mulai malam ini. Setelah dia sampai di dalam kamar Hani, Arza tak lupa untuk mengunci pintu kamar itu, berjaga-jaga jika gangguan kembali datang.

Arza melepas sweaternya, kemudian dia letakkan di atas sofa. Sebelum dia bergabung bersama Hani yang sepertinya sudah terlelap di atas ranjang, Arza menuju kamar mandi lebih dulu. Ia membasuh wajahnya dengan air.

Setelah wajahnya terasa lebih segar, Arza segera menemani Hani. Istrinya itu sudah duduk sambil menatapnya dengan mata menahan kantuk. Tangan mungilnya dia gunakan untuk mengucek sebelah matanya.

"Papa bilang apa?" tanya Hani dengan suara serak. Sepertinya Hani memang sudah tertidur.

Arza bergabung bersama istrinya. "Kamu belum tidur?"

Hani menggeleng pelan. "Belum. Nunggu suami."

"Kayaknya tadi aku lihat kamu sudah tidur."

"Tiduran sambil nutup mata. Abisnya aku ngantuk banget."

Arza membelai kepala Hani dengan belaian penuh cinta. Diciumnya puncak kepala wanita yang menjadi tulang rusuknya itu. "Kan aku sudah menyuruh kamu tidur."

Hani menggeleng dengan wajah imutnya. "Gak enak kalau tidur duluan, apalagi meninggalkan suami. Aku gak mau jadi istri durhaka."

"Kamu kan sudah dapat izin dari suami kamu."

My Husband Is KoreanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang