Hani mengikat asal rambutnya. Kemudian, berkacak pinggang, memerhatikan tubuhnya yang kian membesar. Usia kandungannya sudah menginjak 9 bulan. Sebentar lagi anak yang di kandungnya akan lahir, menyapanya dengan suara tangisan.
"Nangis lagi," tegur Arza begitu memasuki kamar dan melihat istrinya.
Hani berbalik dan segera menghapus air matanya. "Aku gak nyangka banget, Kak. Aku beneran mau jadi seorang ibu ya, Kak?"
Arza berjalan perlahan menghampiri Hani, kemudian memeluknya. "Aku juga tidak menyangka, Han. Allah memberikan kesempatan kita menjadi orang tua secepat ini."
"Iya, Kak. Duh, aku gak sabar. Anak kita lak-laki atau perempuan ya?"
Arza mencium puncak kepala istrinya. Pertanyaan yang sudah sering Arza dengar akhir-akhir ini dari Hani. Arza tahu bahwa Hani mulai gugup menghadapi persalinan anak mereka. Hani memang tidak pernah mengatakannya langsung, tetapi Arza bisa merasakannya.
"Aku jauh lebih tidak sabar, Sayang."
Tok tok tok
Hani menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar, kemudian melepaskan pelukannya. "Kayaknya makan malam udah siap."
"Yuk." Arza membimbing istrinya dan melangkah ke luar kamar. Tangannya masih melingkari di tubuh Hani, tingkat kewaspadaannya mulai meningkat ketika kehamilan istrinya kian membesar. Arza semakin posesif terhadap istrinya.
***
Ponsel yang berada di atas meja dibiarkan berdering. Arza masih fokus menatap layar laptopnya. Sekretarisnya baru saja mengirimkan email berisi data-data penting yang harus Arza pelajari dan setujui.
Memang sekarang Arza menumpuk semua pekerjaannya di rumah. Ruang kerja yang jarang ia pakai sekarang menjadi ruangan yang sering dikunjunginya, bahkan Arza menghabiskan waktunya di tempat itu ketika tak sedang bersama istrinya.
Minggu lalu Hani ke luar dari rumah sakit. Arza merasa kecolongan karena membiarkan istrinya masuk rumah sakit. Saat itu tidak sengaja Hani tersandung karpet tebal di ruang tamu hingga membuat Hani jatuh.
Mbak Ajeng yang kebingungan lantaran Hani mengaduh kesakitan akhirnya menghubungi Arza dan mengatakan bahwa Hani jatuh. Posisi Arza saat itu tengah rapat di kantor, beruntunglah bukan rapat penting, sehingganya Arza bisa mengalihkan tugasnya kepada asistennya dan Raffa.
Karena kecelakaan kecil itulah Arza tidak mau mengambil resiko lagi. Setelah kehamilan Hani menginjak usia 9 bulan, Arza membawa semua pekerjaan kantornya ke rumah. Arza tidak mau hal seperti kemarin terulang dan membahayakan istri serta anaknya.
"Kak, ponselnya bunyi terus tuh, angkat dong!" teriak Hani dari dalam kamar.
"Iya." Malas mendengar teriakan istrinya lagi, Arza segera meletakkan laptopnya mengambil ponselnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Za."
"Gimana kabar ibu dan ayah, sehatkan di sana?"
"Alhamdulilah kami sehat, Za. Kalian gimana? Kamu masih kerja di kantor?"
"Kami juga sehat, Bu. Arza juga sudah tidak ke kantor lagi. Semua kerjaan Arza bawa ke rumah. Sekalian jagain Hani, Bu."
"Memang harus seperti itu. Waspada selalu, Za. Hani sebentar lagi melahirkan, kamu harus selalu siap sedia, selalu di samping Hani."
"Ibu tenang saja. Perkiraan dokter Hani melahirkan dua minggu lagi."
"Dokter itu manusia yang bisa berbuat salah, Za. Dulunya saja kata dokter Ibu akan melahirkan satu minggu lagi, tapi kenyataannya malam harinya ibu sudah siap melahirkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband Is Korean
RomansaPerjodohan? Gak like! ---- "Saya mengajak kamu untuk menemui orang tua saya." "Untuk apa?" "Melamar kamu." "Kenapa mau melamar saya? Anda bukan pacar saya." "Kalau begitu saya akan menjadikan kamu pacar saya. Kamu mau menjadi pacar saya?" ----- "J...