Prologue

451 19 4
                                    

Pulau Elioa, pulau kecil yang terletak di ujung timur kerajaan Varamith

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pulau Elioa, pulau kecil yang terletak di ujung timur kerajaan Varamith. Pulau ini mengandung banyak misteri, ditambah lagi sejak kurang lebih tiga ratus tahun yang lalu, dimana untuk pertama kalinya, pemerintah melarang keras siapapun terkecuali pihak yang berwenang, untuk menginjakkan kaki di pulau ini. Sejak saat itu, banyak cerita-cerita yang datang dari mulut masyarakat; ada yang berkata bahwa terdapat makhluk misterius yang hidup di dalam pulau ini, ada juga yang berkata bahwa terdapat aset ilegal yang disembunyikan oleh kerajaan. Dan masih banyak versi cerita lain, yang lama kelamaan menjadi legenda, mitos, dan kemudian dongeng.

Para nelayan, yang seringkali melihat pulau itu dari kejauhan, mengklaim bahwa mereka melihat cahaya-cahaya suluh yang bersinar mengelilingi pulau ketika matahari mulai terbenam. Bagi masyarakat, hanya itulah yang dapat mereka ketahui dari pulau ini. Lalu, bagaimana dari sisi pemerintahan kerajaan Varamith? Tentunya, ada beberapa orang yang ditugaskan untuk menjaga pulau ini, namun informasi yang mereka ketahui tak lebih banyak dari masyarakat umum.

Salah satu orang yang bertugas di pulau ini adalah Rikki. Ia tengah duduk meringkuk di pos kecil yang terbuat dari kayu ulin. Suasana yang sangat sunyi membuat gemuruh angin terdengar semakin jelas, ditambah lagi dengan kabut yang tak biasanya turun, semuanya itu membuat tubuh Rikki menggigil. Antara kedinginan, atau ketakutan, hanya Rikki yang tahu. Pikirannya yang semakin berkecamuk membuatnya menghiraukan amanat atasannya untuk tetap siaga, ia memejamkan mata, dengan harapan agar malam cepat berlalu.

"HEI PRAJURIT!" Suara tinggi yang tiba-tiba terdengar dari balik semak membuat Rikki yang hampir tertidur segera berdiri sigap dengan posisi siaga, tak sadar jantungnya berdegup sangat kencang.

Rasa takut Rikki segera berubah menjadi rasa kesal ketika ia mendengar suara tawa keras yang akrab di telinganya, ia semakin bersungut-sungut ketika ia melihat sosok Ben, yang datang dari balik semak dengan muka yang masih terlipat, puas menertawakan tingkahnya. "SIAL KAU BEN!" sentaknya sambil terus memandang Ben yang masih tertawa kecil, datang menghampirinya.

Ketika rasa kesal Rikki mulai pudar, ia menyadari sesuatu: tak seharusnya Ben datang meninggalkan posnya. Ia mulai menengok kesana kemari, memastikan bahwa tidak ada yang melihat kedatangan Ben, sebab meninggalkan pos jaga sebelum waktunya adalah suatu pelanggaran berat yang dapat mengakibatkan posisi rekannya terancam.

"Tidak apa-apa," ujar Ben setelah melihat tingkah Rikki. Sambil menaruh tombak panjang yang digenggamnya, ia duduk di atas kursi kayu yang terdapat di dalam pos milik Rikki. "Aku lebih baik mendapat hukuman dari jenderal Aubrey daripada harus berdiri sendiri,"

Rikki menghela napas panjang. Mungkin ia merasa sedikit lega, sebab perasaan yang dirasakannya juga dialami oleh Ben, rekan yang seharusnya berjaga-jaga di pos tetangga.

"Hei Rik, boleh bertanya? Bagaimana kamu bisa ditempatkan disini?"

Rikki menoleh menatap Ben, ia nampak sedang berpikir. "Aku yang memintanya," jawabnya sambil berjalan dan bersandar di dinding pos. Suluh yang menyala-nyala menerangi wajahnya yang mulai berubah murung. "Aku membutuhkan ini untuk membiayai keluargaku," lanjutnya sambil menatap samar semak-semak yang diselimuti kabut yang kian menebal. "Terima kasih kepada jenderal Aubrey, berkat dirinya aku ditempatkan disini."

Ben mengangguk paham sebelum menoleh ke arah Rikki, "Menyesal?"

"Kau bercanda?" Rikki balik bertanya. "Aku justru mengira bahwa misi tingkat tinggi yang dirahasiakan ini memiliki tantangan lebih. Namun aku justru seakan-akan memakan gaji buta!" katanya dengan seringai sombong seraya berjalan sedikit menjauh dari pos. "Menjaga agar tidak ada yang keluar dan masuk melalui garis ini, kurasa prajurit baru pun dapat melakukannya!" lanjutnya sambil berdiri di dekat tanah yang terukir dengan huruf-huruf asing. Ukiran itu membentuk sebuah garis yang panjang, mengelilingi pulau Elioa. Setiap seratus meter, ada satu pos jaga yang berdiri tepat di belakang garis yang disebut sebagai Garis Pembatas.

Ben tertawa. "Sombong sekali kau, baru juga seminggu!"

"Memangnya, ada apa dibalik Garis Pembatas ini?"

"Tidak tahu. Dan tidak ada yang tahu." balas Ben. "Sudah bertahun tahun, tidak ada tanda-tanda kehidupan dibalik garis ini. A-" tiba-tiba, Rikki menepuk paha Ben, memutus perkataannya. "Kenapa?"

"Lihat...," Rikki menunjuk ke arah sosok manusia berjubah hitam yang tengah berdiri dengan tubuhnya yang bungkuk, tepat di depan Garis Pembatas, dimana ukiran huruf-huruf asing mulai menyala-nyala terang.

"Bagaimana ia bisa masuk ke pulau ini? Sialan! Beraninya dia melewati Garis Pembatas!" Ben langsung berdiri dan menghampiri sosok itu.

"Tunggu, Ben!" seru Rikki sambil menyusul kawannya.

Sesampainya disana, Ben menyelak, "Ada keperluan apa anda disini? Ini area terlarang!" Tak ada balasan dari sosok itu. Ia hanya berdiri dengan kepala menunduk. "Ayo, keluar dari sini!" Ben dengan cepat menarik tangan sosok itu. Namun mata Ben segera terbelalak setelah melihat tangan yang amat keriput, dengan pembuluh darah yang terlihat jelas keluar di balik kulit yang kasar dan mengelupas. Ben dengan cepat melepaskan genggamannya.

Sosok itu menengadah ke arah Ben. Terlihat rupa nenek yang sudah terlihat amat tua, dengan rambut putihnya yang panjang menutupi sebagian kecil dari wajahnya. "Maafkan nenek, anak muda," ujarnya. "Nenek main terlalu jauh," lanjut nenek tua itu.

"B- Bagaimana nenek bisa sampai kesini?" tanya Ben terbata-bata.

"Oh, nenek tinggal disini," balas nenek itu dengan seringai aneh, memperlihatkan giginya yang sebagian sudah tanggal dan keropos.

Rikki mengerutkan dahinya, ia mulai mencium bau tidak sedap datang dari nenek itu. "Apa yang Nenek maksud dengan tinggal disini? Ini properti milik kerajaan. Tidak ada yang pernah tinggal disini." tambah Rikki.

"Kamu tidak mengerti," balas nenek itu. "Lihatlah," lanjut nenek itu sambil menoleh kebelakang, melihat tiga sosok yang berbusana serupa dengannya. Ketiga sosok itu kemudian berjalan mendekat. "Mereka keluargaku,"

Rikki mulai terlihat gelisah. Ia berbisik kepada kawannya, "Ben, apa-apaan ini?" namun Ben hanya terdiam. Ia terus menatap ketiga sosok yang semakin mendekat.

Perlahan, cahaya bulan mulai memperlihatkan wajah dari ketiga sosok tersebut. Ben dan Rikki menganga lebar, tubuh mereka bergetar kencang. Ben yang tak kuasa menahan tubuhnya pun terjatuh ke tanah. Ketiga sosok itu memiliki rupa yang jauh terlihat lebih tua dari sang nenek. Bahkan satu diantaranya tidak memiliki wajah selain tulang tengkorak yang dapat terlihat jelas dibalik sisa-sisa kulit dan daging. Bau busuk semakin menyengat bersamaan dengan kehadiran mereka di depan Ben dan Rikki.

Rikki menoleh ke arah Ben, melihat raut wajah temannya yang terlihat pucat pasi dan putus asa. Seakan- akan, Ben mengetahui dengan jelas nasib apa yang akan menimpanya. Mendengar tangisan Ben, sekujur bulu kuduk Rikki berdiri dan rasa panik menyerang dirinya. Pertanyaan Ben tentang apakah dia menyesal terlintas di pikirannya, berharap dia bisa membalikkan waktu dan tidak pernah meminta untuk ditempatkan di tempat aneh ini. Rikki sempat menoleh ke arah empat sosok yang masih berdiri di belakang garis pembatas yang semakin menyala terang. Satu diantaranya menyeringai lebar, sedangkan salah satu sosok di sebelahnya terlihat sedang mengasah sebuah belati berwarna putih. Sesaat kemudian, hanya terdengar teriakan keras Ben yang lirih, memecah keheningan malam.

***

Ancient's Realm: Stallions & SerpentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang