Marshed|19

32 3 0
                                    

Bagian Sembilanbelas

Menjadi warna dalam tebalnya abu abu adalah berkah yang tuhan titipkan di senyumu.
***

Rumah itu kini tidak lagi sedingin dulu, meski tetap ada celah yang tak sepenuhnya tertutup. Waktu berlalu, musim berganti. Xabiru, anak kecil yang dulu dibawa masuk ke rumah di tengah malam yang berantakan, kini tumbuh menjadi bocah lima tahun yang lincah dan ceria.

Naskala, yang sudah berusia sebelas tahun, selalu setia di sisinya. Mereka bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan. Nama itu, Xabiru Arya Ganendra. lahir dari kepolosan seorang anak enam tahun yang mencintai sepak bola dan warna biru

"Xabi itu pemain bola favorit mas, bun. Dia legenda Liverpool. Terus, biru itu warna kesukaan mas" ucap Naskala waktu itu dengan semangat

Ibu hanya tersenyum mendengar kepolosannya dan mengangguk. "Namanya bagus mas, ga salah Bunda percaya sama mas Naka, Kalau begitu namanya Xabiru Arya Ganendra. Arya Ganendra itu nama keluarga Ayah. Biar dia tahu kalau dia bagian dari keluarga kita."

Dan begitulah, Xabiru tumbuh bersama kasih sayang dari ibu dan Naskala. Ayahnya yang masih keras hati, perlahan mulai melunak. Meski ia jarang menunjukkan perhatian secara langsung, kehadiran Xabiru tak lagi membuatnya marah seperti dulu. Namun luka di hatinya atas kehilangan Laras- selingkuhannya, tetap saja menyisakan jejak yang sulit hilang beranggapan bahwa anak itu tidak seharusnya lahir dan merenggut kekasihnya.

Suatu siang yang terik, Xabiru bermain di lapangan kecil di depan rumah. Ia berlari bersama beberapa anak sebayanya, tertawa-tawa, hingga tiba-tiba salah satu dari mereka—bocah yang sedikit lebih besar—berdiri di depannya sambil menyeringai sinis

"Biru kamu ga punya ibu ya?" suara itu tajam dan penuh ejekan.

Xabiru berhenti berlari. Tubuhnya membeku. "Aku punya bunda" ujarnya dengan polos, belum sepenuhnya paham arti kata itu

"Tapi ibuku bilang kamu anak haram karna lahir dari ibu lain!"

Anak-anak lain mulai tertawa, mengerumuni Xabiru. Dadanya terasa panas, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang asing—amarah

"Bohong!" teriak Xabiru, matanya mulai berair. "Itu bohong!"

"Kamu nggak punya ibu beneran!" seru bocah lainnya.

"Punyaa! Aku punya mas naka dan bunda! Jangan ngomong gitu" teriak Xabiru lagi, kali ini suaranya pecah. Ia maju dan mendorong bocah yang mengejeknya.

Satu dorongan berubah menjadi pukulan kecil, lalu berlanjut menjadi perkelahian yang ricuh. Anak-anak lain ikut mendorong, menarik baju Xabiru, memukul tubuh kecilnya

Dari jauh, Naskala yang baru pulang sekolah melihat kerumunan itu. Dengan tas sekolah yang masih menggantung di punggungnya, ia berlari secepat mungkin ke lapangan

"Xabiru!"

Naskala menerobos kerumunan, melihat adiknya sudah terduduk di tanah, wajahnya kotor, bibirnya berdarah. Anak-anak lain masih terus mengejeknya

"Berhenti!" teriak Naskala. Ia berdiri di depan Xabiru, kedua tangannya terkepal. "Siapa yang berani menyentuh adikku lagi?!"

Anak-anak itu menatapnya dengan pandangan menantang. Salah satu dari mereka mencoba mendorong Naskala, tapi ia melawan. Tanpa berpikir panjang, ia ikut menyerang, memukul anak itu hingga tumbang. Perkelahian itu membesar, Naskala terus melindungi Xabiru, meski pukulan dan tendangan anak-anak lain menghujaninya.

Setelah beberapa menit yang terasa panjang, kerumunan itu bubar. Anak-anak lain berlarian pulang, meninggalkan Xabiru dan Naskala yang terkapar di tanah, wajah mereka babak belur.

MARSHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang