Marshed| 18

28 2 0
                                    

Bagian delapanbelas

Segalanya runtuh bahkan sebelum kubangun megah perasaan itu

***

17 tahun yang lalu...

Hujan turun deras malam itu, suaranya seperti ribuan jarum yang menusuk genting. Langit menghitam tanpa celah, seolah menelan seluruh cahaya yang ada. Naskala, bocah laki-laki berusia enam tahun, terbangun oleh suara yang asing di tengah malam.

Bunyi ketukan keras di pintu rumah mereka mengalahkan gemuruh hujan. Sesuatu terasa aneh. Naskala bangkit dari ranjang kecilnya, menarik selimutnya hingga menutupi tubuh mungilnya yang menggigil. Ia berjalan perlahan-lahan ke arah ruang tengah, tempat suara itu semakin jelas terdengar.

"Tolong bukakan pintunya, ini aku..." Suara berat ayahnya menyelinap di sela hujan.

Ibu terlihat berdiri kaku di dekat pintu. Wajahnya pucat, matanya menyiratkan ketakutan. Dengan tangan gemetar, ibu memutar gagang pintu. Sosok ayah muncul dari balik kegelapan malam, basah kuyup, napasnya tersengal-sengal. Wajahnya kusut, sembab, seperti orang yang baru saja tersesat jauh. Tapi bukan itu yang membuat ibu membeku. Ada sesuatu di pelukan ayah—sesuatu yang mungil, terbungkus kain tebal.

"Mas... ini... ini bayi siapa?" Suara Bunda bergetar, nyaris tak terdengar

Ayah tak langsung menjawab. Pandangannya kosong, menatap ibu dengan sorot mata yang tak pernah Naskala lihat sebelumnya—campuran antara putus asa dan permohonan. Dengan tangan gemetar, ayah menyerahkan bayi itu ke arah Bunda.

"Sintaa... tolong jaga dia," ucap ayah lirih. "Dia anakku..."

Bunda mundur selangkah, seolah kalimat itu adalah tamparan yang menghantamnya keras. "Apa maksud kamu mas?"

Ayah tak menjawab, hanya berdiri di sana seperti pohon yang akan tumbang. Air dari rambutnya menetes ke lantai, bercampur dengan jejak lumpur dari sepatunya.

Sementara bayi itu, seolah tak peduli dengan kekacauan ini—tertidur dengan nyenyak.

"Dia... anak dari Laras..." kata ayah akhirnya, suara parau dan berat. "Laras sudah... dia sudah meninggal malam ini."

Nama itu, Laras. membuat Bunda membelalak. Tangannya terangkat, hampir menjatuhkan bayi itu jika saja naluri keibuannya tak lebih kuat dari amarahnya. "Perempuan itu? Jadi ini anak dari perempuan sialan itu?! Kamu bawa anak ini kesini mas... ke rumah kita?!"

"Bundaa, kenapa marah...?" suara kecil Naskala pecah di antara mereka. Ia berdiri di ujung lorong, menyaksikan segalanya. Tubuh kecilnya menggigil. Hatinya tak mengerti, tapi ia tahu ada sesuatu yang rusak malam ini. Sesuatu yang tak akan pernah sama lagi.

"Masuk ke kamar, Naskala!" bentak Bundanya, tapi suara itu justru membuat Naskala semakin terpaku di tempatnya. Ia ingin kembali bersembunyi di balik selimutnya, tapi kedua kakinya membeku.

Ayah mendekat ke arah ibu, memohon. "Aku tak punya pilihan, Sinta. Aku tak bisa membiarkan bayi ini sendirian dia anak Laras. Laras pergi... pergi begitu saja. Aku... aku mencintainya. Tolong, aku mohon..."

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dada Sinta. "Kamu gila mas? Kamu bilang mencintainya? Kamu lebih memilih perempuan itu... bahkan sekarang, ketika dia sudah mati? Dua tahun mas, dua tahun kamu tidak pulang ke rumah, kamu seolah lupa punya anak dan istri, kamu berselingkuh dengan wanita lacur itu dan kamu sekrang pulang mengatakan kamu mencintai wanita lacur itu dan memohon agar aku merawat anaknya disini? Di rumah ku? Rumah kita? Lalu aku? Lalu anak kita? Belum cukup kamu menyiksa ku mas? Belum cukuup?!!"

MARSHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang