Chapter 12

2.2K 288 57
                                        

.

.

.

Luhan berlari ke kamar mandi, dan memuntahkan apa yang baru tertelan tidak sempurna oleh tenggorokannya.

Ini mengerikan, dia tidak bisa memakan satupun menu sarapannya. Semua terbuang sampai perutnya kosong, menggigit.

"Nona, Lu. Kau tidak apa?" cemas Naeun menepuk punggung Luhan.

"Tidak apa. Ini rasa mualku, tidak parah." senyum Luhan mengelap mulutnya.

"Ini tidak baik nona. Apapun yang kau makan, akan keluar. Dan wajahmu juga pucat." Naeun sungguh cemas. Apalagi tubuh nona mudanya sudah tidak bertenaga lagi.

"Aku baik..." tandas Luhan pura pura menampilkan raut meyakinkan.

Naeun tidak akan tertipu. "Nona, Maaf aku tidak bermaksud lancang, seharusnya tuan Park menemanimu."

Tersenyum hambar lantas menggeleng, Luhan tidak membantah, dia juga merindukan suaminya, meski baru semalam dia mendapatkan kunjungan. "Kembalilah bekerja, aku butuh istirahat."

"Tidak apa kutinggal Nona."

"Hm..." angguk Luhan.

"Baiklah..."

Naeun keluar, Luhan menghela napas, ingin makan tapi perutnya terus menolak. Tiba tiba Luhan ingin minum teh kesukaannya, kafenya tidak jauh dari kompleks rumahnya.

"Jangan membuat mama repot sayang. Mama masih marah pada papamu." Luhan bermonolog "Untuk itu jangan berulah, hm."

Luhan beranjak, mengambil cardigan dan dompetnya. Pergi tanpa pamit pada orang rumah, setidaknya pada Naeun.

.

.

.

Aroma khas yang keluar dari teh omija yang dia pesan itu sangat dibenci oleh hidungnya, apalagi perutnya terasa diguncang hebat. Tidak dapat menahan rasa mualnya. Luhan kembali menggeser kursinya, dan berlari kembali ke kamar mandi. Dan memuntahkan apa yang dia minum.

Wajahnya semakin memucat, peluh peluh timbul secara kasar didahinya. Daya tubuhnya juga bertambah lemah.

Rasa mualnya terlalu berlebihan, dan Luhan bingung cara mengatasinya. Belum ada makanan apapun yang masuk keperutnya sejak semalam sampai pagi ini.

Luhan membersihkan wajahnya sebelum keluar dari kamar mandi.

"Luhan kau tidak apa?" tanya pemilik Kafe khawatir begitu Luhan duduk di kursinya,

Luhan menggeleng lemah. "Aku baik."

"Tidak, kau tidak baik. Suhu tubuhmu juga tinggi, dan kau sangat pucat." Cemasnya meraba kening Luhan.

"Bona.."

"Hm?"

"Buatkan aku teh jahe," pinta Luhan, menyuruh pengganggu seleranya itu disingkirkan dari mejanya.

"Baiklah."

"Terimakasih..."

"Tunggu, aku akan membuat tehmu, dan makanan kesukaanmu. ini gratis untukmu..." senyum Bona.

"Kau yang terbaik..."

Sepergian Bona, Luhan merasa perutnya kembali diaduk. Luhan menutup mulutnya, dan bergegas ke kamar mandi.

Ini ke enam kalinya Luhan bolak balik berurusan dengan kamar mandi. Tenaganya semakin terkuras, bibirnya kering seperti dehidrasi.

"Kenapa?" Luhan berusaha keluar dari kamar mandi, mempertahankan kesadaran yang mulai hilang, berpegangan pada tembok.

Our Destiny || TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang