[1389 words]
..........
Sinta hanya mundar-mandir tidak jelas di jalanan. Tadinya dia ingin pergi ke rumah itu untuk memberitahukan segalanya. Namun semuanya berubah, saat dia melihat ada bendera kuning yang terpasang dihalaman rumahnya. Bagaimanapun juga Sinta juga masih punya hati. Dia juga masih bisa berpikir dengan jelas, tidak mungkin dia menambah beban seseorang. Apalagi setelah Sinta menanyakan kepada warga sekitar, yang telah tiada adalah kedua orang tua dari orang itu.
Sinta terus berpikir, apakah harus berbicara sekarang? Atau tidak? Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi? Akhirnya setelah memikirkan cukup lama, Sinta memilih untuk pergi. Mungkin lain kali saja, kasihan orang itu harus menerima kenyataan yang buruk akibat pernyataan yang akan disampaikan oleh Sinta.
Mungkin bukan saat ini waktunya, tapi lain kali, secepatnya bahkan. Sinta tidak ingin jika terlalu lama. Kasihan Citra. Sesampainya di rumah, Citra ternyata sudah pulang dari rumah sakit.
"Gimana kandungannya Dek?" tanya Sinta.
Citra hanya tersenyum lalu mengusap perutnya lembut. "Baik, Bu."
"Ibu dari mana aja?" tanya Citra.
"Jalan-jalan aja. Liat-liat Bandung, bosen di rumah terus," alibi Sinta.
Citra hanya mengangguk, iya sih. Emang bosen di rumah terus, Citra juga sadar. Harusnya Citra mengajak Ibunya untuk check up tapi dia malah mengajak sepupunya. Entahlah, Citra hanya ingin merasakan rasanya check up ditemani oleh ayah dari bayinya. Hanya saja untuk saat ini sepertinya tidak bisa, jadi dia mengajak sepupunya, Iyan. Setidaknya Iyan bisa diajak sebagai suami pura-pura dari Citra untuk menjauhkan dari nyinyiran ibu-ibu dan perawat yang suka bergosip.
Dan ternyata, berhasil. Dulu, jika Citra mengajak ibunya atau pergi sendiri untuk check up pasti banyak omongan tentangnya yang hamil diluar nikah. Itu memang benar, tapi tetap saja rasanya sakit hati. Apalagi yang disalahkan adalah bayinya yang sudah jelas tidak tau dan mengerti apa-apa.
☁☁☁
Terang berganti gelap. Sekarang sudah malam. Orang-orang yang tadi menjenguk perlahan mulai berangsuran pergi menyisakan Zahra dan Adit. Fira, Rina dan Feri sudah pamit pulang. Zahra hendak pergi ke kamarnya, namun langkahnya terhenti saat mendengar ketukan.
"Biar Aa yang buka." Adit langsung pergi dari sana meninggalkan Zahra yang sudah duduk kembali di tempatnya.
Muka Adit langsung mendadak datar lagi, ketika melihat tamu yang datang, Citra dan Iyan. Tanpa suara Adit menyuruh mereka masuk.
"Ra!" panggil Citra sambil berjalan ke arah Zahra.
Zahra menoleh ke asal suara. Iyan dan Citra, Zahra hanya tersenyum menanggapi sapaan Iyan.
Adit yang melihat Citra yang ada di sini langsung pergi, Zahra sempat melirik sebenatar ke arah Adit. Sempat terpikir benak Zahra, kenapa Adit masih enggan bersama Citra, bahkan hanya sekedar untuk duduk bersama. Karena yang Zahra tau dari cerita Citra, memang Citra salah, tetapi kesalahan Citra tidak terlalu besar. Zahra masih menunggu Adit bercerita, namun Adit masih enggan. Zahra tidak ingin memaksakkan kehendak dari Adit. Ingatkan Zahra untuk menanyakan hal ini pada Adit nanti.
Saat Adit pergi, Citra sempat kecewa. Berpikir, apakah semarah itu Adit padanya? Namun dengan segera Citra mencoba mengontrol dirinya, agar kesedihannya tidak terlalu ketara.
"Ra, maaf ya. Kita baru ke sini," ucap Citra sesaat setelah dia duduk.
"Gapapa, kamu ke sini aja udah makasih banget buat aku. Oh ya, gimana kandungan kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zahra's Life
General Fiction[Completed] Update : Tiap Kamis Hidup Zahra langsung berubah saat Ibunya memberitahukan mengenai janjinya dulu pada sahabat dekatnya, perjodohan Zahra dan anak teman Ibunya, Adit akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Zahra memang mengetahui hal itu...