[2614 words]
..........
Bandung, 6 Oktober 2019
16.00 WIB"Eh, Bunda ... Waalaikumsalam."
Ternyata Bunda Rina yang datang berkunjung. Zahra langsung menyalami tangan Rina dan mengajaknya masuk. Rina hanya datang sendiri saja.
"Nanti saja, Bunda akan ambil sendiri. Kamu gak boleh terlalu kecapean."
Zahra yang tadinya ingin pergi ke dapur untuk mengambil air jadi tidak jadi karena larangan dari Bundanya itu. Dia kembali duduk di samping Rina.
"Kenapa rumah pada sepi, Za?"
"Iya, Bun. Ibunya Citra dari kemarin gak ada di rumah, katanya sih ada keperluan. Kalau A Adit udah pergi dari pagi tadi sama Kak Citra, katanya sih Kak Citra pengen jalan-jalan."
Rina menghela nafasnya pelan. "Terus si Adit setuju?" tanya Rina.
"A Adit sebenarnya gak setuju, cuma aku paksa aja dia. Soalnya Kak Citra kayanya benar-benar pengen jalan-jalan. Kasihan 'kan kalau gak di turutin. Lagian, hal itu juga udah masuk tanggung jawabnya A Adit, 'kan?"
"Kamu gak ikut?"
"Ngak Bun. Kak Citra pengen jalan berdua katanya, lagipula aku malas keluar rumah, pengennya itu baring terus," alibi Zahra sedikit. Zahra memang ingin ikut sebenarnya, tapi saat Citra minta hanya pergi berdua dengan Adit saja rasa malas Zahra jadi naik ke permukaan, jadi Zahra tidak jadi ikut. Sehabis beres-beres rumah tadi, Zahra memang selalu berbaring. Tidak semuanya bohong, 'kan? Hanya sedikit saja.
Rina mengangguk pelan. Rina tahu Zahra berbohong, sangat jelas terlihat dari sorot mata dan gerak-gerik Zahra kalau sebenarnya dia ingin ikut pergi. Namun Rina tidak bisa langsung menanyakan hal itu. Sudah pasti Zahra akan mencari alasan yang lainnya.
Rina hanya mengangguk. Berpura-pura percaya dengan apa yang di katakan oleh Zahra. Saat waktunya tiba, Rina akan mengungkap semuanya. Membebaskan Zahra dari sakit hatinya. Bagaiamanapun juga Zahra tidak salah dan berhak untuk bahagia. Bagi Rina, sekarang Zahra sudah menjadi Putrinya dan sudah seharusnya seorang Ibu membuat Putrinya bahagia.
Seperti biasanya, Rina dan Zahra kembali mengisi waktu bersamanya dengan mengobrol banyak hal. Saling bercerita satu sama lain. Percakapan mereka berhenti saat melihat Adit dan Citra yang baru saja pulang.
Ekspresi Rina berubah saat melihat Citra yang menggandeng tangan Adit tanpa tahu malu. Rina kesal sendiri melihat hal itu. Rina beralih menatap Zahra. Zahra hanya diam saja. Rina bingung, terbuat dari apa hati menantunya itu. Kenapa bisa sabar sekali menghadapi Adit yang bodoh seperti itu. Sudah tau ada istrinya, tapi masih diam saja saat wanita lain menggandeng tangannya. Kalau seandainya Rina jadi Zahra, mungkin Adit sudah habis dimaki olehnya.
"Dit, Bunda mau bicara!" ucap Rina tegas.
Adit menganggukkan kepalanya, pergi mengikuti Bundanya ke kamarnya dan Zahra. Rina duduk di ujung ranjang dan Adit, dia menarik kursi tempat belajarnya.
"Kamu bodoh atau gimana?" Adit terkejut mendengar penuturan tiba-tiba dari Rina.
"Mak-sud Bunda?"
Rina bangkit dari duduknya lalu berjalan menjauhi Adit, tetapi masih di dalam kamar.
"Dit ... Bunda sekolahin Adit, ajarin Adit banyak hal, dan nurutin apa yang Adit mau itu bukan untuk bikin kamu jadi orang yang bodoh kaya tadi. Bunda gak pernah ngajarin Adit jadi orang yang suka nyakitin hati perempuan. Bunda pernah bilang 'kan sama Adit. Kalau Adit harus menghormati perempuan, jangan pernah buat dia menangis ataupun kecewa. Bunda masih bisa terima kalau Adit berantem sama teman Adit, bahkan waktu dulu Adit hampir masuk penjara gara-gara berantem itu. Tapi apa pernah Bunda marah sama Adit? Bunda kecewa sama Adit? Atau gak ngomong sama Adit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zahra's Life
General Fiction[Completed] Update : Tiap Kamis Hidup Zahra langsung berubah saat Ibunya memberitahukan mengenai janjinya dulu pada sahabat dekatnya, perjodohan Zahra dan anak teman Ibunya, Adit akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Zahra memang mengetahui hal itu...