Zahra's Life #18 - Revised ✅

1.5K 59 1
                                    

[2102 words]

..........

"Kamu coba tanya-tanya sama Kakak tingkat yang sebelumnya jadi koor matkul saya. Namanya Alfin ..." ucap Pak Ilham sambil membereskan barang bawaannya. "Saya lupa nama panjangnya, tapi dia pinter orangnya. Kamu cari tau aja sendiri orangnya," lanjut Pak Ilham

Zahra mengangguk patuh. "Baik kalau gitu pak, terimakasih."

Pak Ilham menjawab dengan anggukan kemudian pergi dari kelas.

Setelah Pak Ilham keluar, Zahra kembali ke tempat duduknya.

"Yan, kamu tau yang namannya kang Alfin gak? anak semester 4." tanya Zahra pada Iyan.

"Alfin yang mana, setau gue nih ya. Anak semester 4 itu ada 3 Alfin."

"Kata pak Ilham sih yang pinter."

"Oh Alfin Anshar."

Zahra menganguk pelan. "Mungin sih," jawabnya.

"Emang ada hal apa. Sampe nyari-nyari kaya gini?" tanya Iyan.

"Bukan apa-apasih. Aku ada tugas dari pak Ilham dan kata dia nanya aja ke koor mata pelajaran dia tahun sebelumnya. Dan orang itu, kang Alfin itu. Nanti anter aku ya nemuin dia."

Iyan mengangguk. "Mau kapan?"

"Hmm, jam 12-an aja ya, sekalian istirahat biar gampang."

Iyan mengangguk, lalu meraih handphonenya mengetikan pesan untuk bertemu kepada Alfin. Iyan memang kenal dengan Alfin, dari UKM putsal. Jadi, dia tak sungkan untuk sekedar mengirimkan pesan. Tak lama, dosen pelajaran berikutnya pun datang.

☁☁☁

"Fin, kantin?" ajak Eka.

"Duluan aja, gue masih ada perlu. Entar nyusul." Eka mengangguk, lalu pergi mengikuti Radit yang sudah lebih dahulu pergi ke kantin.

Alfin sudah menerima pesan dari Iyan. Untung saja setelah dosen keluar tadi, dia langsung mengecek handphone, kalau tidak mungkin dia harus kembali lagi.

Alfin dengan senang hati akan membantu, lagi pula sudah lama dia tak mengulik pelajaran pak Ilham, mungkin ini akan mengingatkannya pada pelajaran yang dulu sempat disukainya.

Alfin sudah membalas pesan dari Iyan dan mengajaknya bertemu di ruangan tempat Alfin berada sekarang.

Tak lama menunggu Iyan datang, Iyan datang bersama seorang perempuan. Mungkin, perempuan itu yang dimaksud Iyan didalam pesannya.

"Siang, Kang," sapa Iyan sambil melakukan salam. Alfin mengangguk lalu mpersilahkan duduk kepada Iyan dan Zahra.

"Jadi ini Kang, yang tadi saya omongin di chat, akang bisa bantu, 'kan?" Iyan menunjuk ke arah Zahra yang dibalas anggukan dan senyuman.

Alfin tersenyum manis, "Kalau gak bisa, gak mungkin 'kan ada di sini."

Iyan mengangguk, lalu berpundah tempat duduk, agar memudahkan Zahra dan Alfin berbagi informasi.

"Ra, gue ke kantin dulu ya? Gapapa kan ditinggal?" Iyan bertanya sambil hendak berdiri, namun dijegat oleh Zahra dengan memukul lengan Iyan menggunakan kotak pensil.

"Awsss," ringis Iyan.

"Jangan, tunggu di sini. Gak enak kalau cuma berdua, bukan muhrim," larang Zahra dengan nada yang pelan, takut menyinggung perasaan Alfin, namun suaranya cukup bisa didengar oleh Alfin dengan jelas.

Alfin tersenyum dalam diam. Ternyata masih ada orang seperti ini, batinnya kagum.

Iyan berdecak pelan kemudian kembali duduk, menemani Zahra disana. Ya kalau dipikir-pikir lagi, memang benar sih kasian jika meninggalkan Zahra hanya berdua dengan Alfin disini.

Zahra's LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang