двадцать четвёртый

6K 805 106
                                    

"Kenapa tidak kembali saja, ge? Gege kan sedang sakit. Aku tidak bisa terus-terusan bolak-balik kesana kemarin untuk kuliah dan mengurusi Gege." Omel Chenle. Pasalnya, ia sudah sangat lelah karena kegiatan kampusnya yang luar biasa padat akhir-akhir ini. Dan saat weekend, ketika ia ingin menikmati waktu istirahatnya, kakak Sepupunya menelpon. Meminta si surai hijau untuk datang dan merawatnya.

Entah apa yang telah terjadi pada pria bertubuh besar ini. Dokter bilang tidak ada yang salah dengan Yukhei. Mungkin hanya kelelahan atau pola makan yang tidak teratur. Yukhei mendapati dirinya sering merasa mual akhir ini dengan kepala yang berkunang-kunang.

"Aku tidak bisa, Chenle." Balas pria besar itu lemah. "Aku akan kembali dengan Haechan. Tidak sama sekali jika tanpa Haechan."

Chenle berdecak sebal. Lagi dan lagi pria Seo itu yang disebut oleh kakaknya. Andaikata Yukhei tau bagaimana buruk citranya di kampus, dan malunya Chenle. Orang-orang sudah mencap buruk pria Wong tersebut. Mengejar-ngejar seseorang yang sudah berstatus sebagai istri orang lain? Seperti tidak ada pria manis atau wanita cantik yang lain saja di dunia ini.

Mengingatkan Yukhei mengenai status Haechan juga tidak berpengaruh apa-apa sama sekali. Memangnya Yukhei mau dengar? Yang ada pria itu akan mengabaikan kalimat Chenle. Masuk telinga kanan lalu mental. Yukhei itu batu sekali jika sudah menyangkut Haechan.

"Chenle-ya" panggil Yukhei pelan. "Apa menurutmu aku bisa membawa Haechan kembali segera? Kemudian membina rumah tangga idaman kami?"

Cukup sudah! Rasanya Chenle sudah muak dengan pertanyaan bodoh kakak sepupunya ini. Harus berapa kali Chenle menjawab jika Yukhei harus melupakan obsesi gilanya pada pria Seo berkulit tan yang sudah menikah itu.

"Gege, kumohon." Kata Chenle gemas. "Haechan sudah menikah dengan orang lain. Lupakan obsesi gilamu padanya. Ia sudah memiliki jalan cerita kehidupannya yang lain." Sambungnya. "Dengan orang lain. Dengan orang yang sah dihadapan tuhan berstatus sebagai suaminya."

Yukhei memejamkan matanya erat. Kalimat terakhir Chenle menstimulannya untuk membayangkan satu sosok pria berkursi roda yang menculik kekasihnya. Pria cacat yang mencuri belahan jiwanya. Giginya bergemeletak. Tangannya mengepal erat. Sudah sangat gatal untuk menghabisi si pria Jung lemah itu agar Seo Haechan bisa menjadi miliknya.

"Ge.."

"Diam Chenle!" Bentak Yukhei menahan amarah. Chenle yang mengerti situsi menggigit bibir bawahnya gugup. Sebagai sepupunya, ia bisa mengerti bagaimana Yukhei sedang kuat-kuat menahan emosinya.

Tapi Chenle tidak mau mengalah untuk kali ini. Kata-kata salah satu seniornya terngiang-ngiang di kepala. Ia tidak seratus persen percaya, tapi ia dengar ini bisa juga terjadi pada pria yang telah berpasangan.

Kakak sepupunya telah meniduri seseorang. Dan meskipun itu hanya satu malam, bukan berarti keduanya tidak sedang dalam masa subur masing-masing bukan? Tidak menutup kemungkinan  jika benih itu sudah tumbuh sekarang.

Kakak sepupunya muntah-muntah. Pusing di kepala. Ciri-ciri sakitnya seperti orang yang baru masuk trimester pertama kehamilan.

Sekali lagi, ia juga belum bisa percaya sepenuhnya. Tapi bagaimana jika kata-kata Jaemin benar adanya? Kakaknya sudah meniduri seseorang, dan mungkin saja orang itu tengah mengandung calon keponakannya saat ini.

"Ge, lupakan Haechan." Katanya berusaha tenang. Ditatapnya lekat kedua mata besar kakak sepupunya itu. "Percaya padaku, ada seseorang lain yang jauh lebih baik untukmu. Ada seseorang lain yang jauh membutuhkanmu kelak." Sambungnya.

"Dan orang itu masa depanmu. Bukan masa lalumu, Seo Haechan."

**

Yang aku lakukan sudah benar, bukan? Hanya itu yang berputar-putar di kepala si manis berkulit tan tersebut. Matanya menatap nyalang pada tumpukan pakaian di ranjang. Harusnya ia merasa bahagia. Ini yang begitu ia inginkan, bukankah begitu?

Haechan berhenti sejenak. Matanya menelusur pada ruangan yang beberapa waktu ini ia tempati. Entahlah, hatinya bilang, ia harus merekam setiap detik terakhirnya sebagai penghuni kamar ini.

Kau akan merindukannya?

Tidak! Haechan menggelengkan kepalanya kuat. Untuk apa merindukan kamar yang menjadi saksi bisu penderitaannya selama ini? Toh kamar bernuansa biru ini tidak memiliki kenangan yang baik untuknya. Hanya ada emosi, kemarahannha sepanjang waktu pada sosok cacat yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya tersebut.

"Tsk! Bodoh!"

Dan dengan kalimat itu, kakinya melemas. Haechan terduduk di samping ranjangnya. Air matanya mengucur deras. Sebelah tangannya meremat dada sebelah kiri. Katakan saja ini adalah hal terbodoh dan paling tidak dimengerti oleh si kulit tan, ia mendapati dirinya menangis keras sesaat sebelum ia selesai mengemas barang-barangnya.

Tok! Tok!

Haechan buru-buru membekap mulutnya. Punggung tangannya mengusap lelehan air matanya yang terakhir. Mencuci wajahnya, bertingkah seolah ia baik-baik saja.

Ya, Haechan baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan dirinya. Ia sangat bahagia. Setelah sekian lama, akhirnya ia bebas dari belenggu marga Jung yang dipaksakan melekat pada namanya.

"Tuan Haechan apa anda sudah selesai?"

Haechan menghela nafasnya mantap. Digenggamnya pegangan koper dengan sangat mantap. Ya, keputusannya sudah benar. Harusnya ia tidak boleh merusak hari bahagia ini dengan air mata bodoh yang tiba-tiba mengalir. Dilangkahkan kakinya keluar kamar. Perlahan mengikuti salah satu orang suruhan calon mantan suaminya keluar dari rumah mewah yang pernah ia tinggali bersama Jung Minhyung.

"Hai, Dunia!" Gumamnya pelan sesaat sebelum meninggalkan rumah tersebut.

"Selamat datang, kebahagiaan."

**

Bae❤️

Sayang!!!

Aku merindukanmu~

Yukhei tidak salah lihat, kan? Mata bulat milik pria China itu melebar. Sesekali tangannya mengusap matanya, masih tidak percaya pada layar ponsel pintarnya. Apa ini? Kekasihnya yang begitu ia rindukan mengiriminya pesan?

Hati Yukhei membuncah, sungguh! Sudah begitu lama ia merindukan Haechan untuk mengiriminya pesan. Pesan terakhirnya waktu itu saat seseorang melarang Yukhei untuk menghubungi Haechan lagi. Pria manis itu juga bilang jika ponselnya hilang saat ia dipaksa pindah dengan suami cacatnya. Yukhei sedikit tidak percaya. Ia takut jika yang mengiriminya pesan adalah orang iseng yang memainkan ponsel pria manis itu.

Yukhei

Haechannie?

Send!

Dengan dada yang berdebar-debar, Yukhei menunggu pesan balasan. Ponselnya berdenting kembali. Satu pesan yang dikirimkan oleh pria manisnya membuat hati Yukhei membuncah. Dengan segera ia menelfon Chenle untuk memesankan dirinya tiket paling cepat untuk kembali ke Seoul.

Seo Haechan, kekasihnya, sedang merindu untuk bertemu. Yukhei sudah tidak sabar untuk memadu kasih dengan pria manis pemilik hatinya tersebut.

Bae❤️

Baby! Aku kembali ke Seoul.

Apa kau merindukanku? Aku ingin bertemu.

*Send you a picture*

"Haechannie, tunggu aku!"

Tbc

**


Met baca gais^^

HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang