восмой

8K 1.1K 260
                                    

Cerai?

Sejak dulu, Jung Minhyung diajarkan jika pernikahan adalah satu hal yang luhur. Pernikahan yang luhur tidak boleh dirusak oleh berbagai hal yang mencoreng keluhurannya. Seperti perceraian, misalnya?

Jadi, saat Haechan dengan begitu santainya berkata ingin bercerai dari pria Jung itu, dunia seolah runtuh diatas kepalanya. Minhyung tidak pernah menginginkan pernikahannya terjadi lebih dari satu kali. Ia hanya ingin bersama dengan satu orang yang ia nikahi.

Satu, untuk selamanya.

Dan kini, orang yang ia harap bisa menemaninya selama sisa hidupnya berkata ingin berpisah darinya.

Minhyung tidak berbohong, ia sendiri juga begitu sakit hati atas segala perlakuan tidak sopan istrinya. Secara terang-terangan menghina kecacatan fisiknya. Ia selama ini berusaha bersabar.

Bukankah, ia sendiri juga ambil andil dalam terjadinya pernikahan ini? Selain Jung Jaehyun, ayahnya, ia sendiri juga menginginkan pernikahan ini terjadi. Diam-diam mengamati si pria manis yang 'diserahkan' pada ayahnya. Minhyung sendiri yang memilihnya. Meminta sang ayah agar membantu keluarga Seo yang waktu itu terlilit masalah finansial.

Alasannya sangat sederhana. Ia tidak ingin senyuman sehangat matahari itu sirna dari bibir hati pria manis dengan kepribadian hangat seperti matahari itu.

Menghela nafas perlahan, tangannya merogoh satu kunci yang dititipkan. Membuka satu ruangan lainnya di bawah, memilih untuk berpisah kamar untuk menenangkan diri masing-masing.

Kepalanya berputar, ini bukan seperti Haechannya yang ia kenal. Satu pemikiran sempat terbesit di otaknya. Mungkin, ini jawaban yang tuhan berikan atas doa-doa yang ia panjatkan.

'Haruskah aku mengabulkan permintaannya?'

**

Malam ini Haechan tidak bisa tidur. Bagaimanapun matanya berusaha terpejam, matanya sama sekali tidak mau bekerja sama. Tubuhnya;meskipun tidak ia gerakkan untuk beraktifitas, terasa begitu pegal. Minta diistirahatkan. Tapi matanya seolah tidak mau dipejamkan.

Pikirannya berputar pada satu sosok yang tadi tanpa banyak bicara meninggalkannya. Tidak seperti perlakuan paksaannya seperti biasa, Mark langsung pergi tanpa sepatah kata. Meninggalkan Haechan dengan setitik perasaan yang selalu bercokol dalam hatinya, meskipun ia tekan kuat-kuat.

"Apa sikapku tadi sangat kurang ajar padanya?" monolognya. Perasaan itu makin menjadi-jadi. Membuat dirinya sepenuhnya diselubungi sebentuk perasaab bersalah.

Tapi Haechan tetaplah Haechan. Bayangan bagaimana ia dipaksa menikah dengan orang yang tidak ia sukai memgambil alih kembali egonya. Tidak! Ia tidak kejam sama sekali. Apa yang ia lakukan sama sekali tidak salah. Mark pantas mendapatkannya.

Buru-buru ia menarik selimut dan memejamkan matanya erat. Memaksanya untuk terpejam. Haechan harus tidur, demi mengusir setitik perasaan bersalah yang berusaha menguasainya.

**

Ketika membuka matanya, cahaya sang mentari sudah menelisik dari tirai kamarnya. Cahaya itu membuat matanya silau, memaksanya bangun dari tidurnya.

Haechan tidak merasakan rasa nyaman yang selalu ia rasakan saat membuka mata. Tidak ada Mark disisinya. Tidak ada Mark yang membangunkannya.

Tidak ada Mark, dengan perhatian-perhatian kecilnya.

Matanya menelisik sekitar, sama sekali tidak ada tanda-tanda kehadiran Mark. Mungkin pria itu benar-benar mengabulkan permintaannya.

Bercerai?

Sudah berjalan beberapa hari semenjak hari dimana Jaemin datang berkunjung. Hari dimana ia mengatakan permintaannya kepada Mark. Hari dimana ia berkata ingin berverai dari seorang Mark Jung.

Harusnya ia merasa bahagia karena berhasil lepas dari belenggu si jung yang cacat itu, bukan? Mark yang tidak tampak berhari-hari ini seolah memberinya clue jika si alis camar itu menyetujui permintaannya.

Tapi tidak! Ia hanya merasa....hampa?

Buru-buru pemuda manis itu menyentil jidatnya sendiri. Pasti ada yang salah dengan otaknya karena terus saja terngiang-ngiang pria beralis camar tersebut.

"Kau! Sadarlah, Seo Haechan! Untuk apa memikirkan pria itu? Harusnya kau bahagia karena akan terlepas dari si cacat itu." begitulah monolognya. Pokoknya Haechan harus menyingkirkan Mark dari kepalanya.

**

Kata dokter yang merawat kakinya, Haechan sudah bisa beraktifitas dengan normal saat ini. Gips pada kakinya sudah bisa dilepas, sehingga menantu keluarga Jung itu tidak perlu repot-repot bergerak dengan tongkat menyusahkan itu lagi.

Mungkin, ini minggu keberuntungannya? Dokter bilang, ia harus rajin-rajin membiasakan diri berjalan untuk melemaskan tungkai kakinya. Jadi, Haechan memilih untuk berkeliling rumah yang luar biasa besar ini. Ia belum sempat mengeksplorasi rumah besar tersebut. Siapa tahu, ia bisa menemukan sesuatu yang menyenangkan, bukan?

Ia agak heran, di rumah sebesar ini, kenapa semua ruangannya terkunci rapat? Hanya ada satu ruangan di lantai atas yang terbuka. Ruang kamarnya. Dapur, dan segala ruangan tanpa pintu tidak dihitung. Kamar-kamar yang begitu banyak di ruangan ini semuanya terkunci.

Haechan tidak mendapati kehadiran orang lain di sekitarnya. Bahkan 2 penjaga yang di sisakan oleh tuan Jung untuk menjaga rumah itu. Seolah semuanya meninggalkan Haechan seorang diri di rumah, tidak ada satupun orang tersisa disana. Para maid yang ditugaskan memasak hanya akan datang pada pagi dan sore hari. Jadi, di siang seperti ini, Haechan tidak akan mendapatkan keberadaan mereka.

Ngomong-ngomong, dimana si Jung itu? Kenapa aku tidak melihatnya selama beberapa hari ini? Gumamnya pelan. Sadar atau tidak, pria manis itu melangkahkan kakinya pada satu ruang dan berusaha membuka pintunya. Kedua alisnya sempurna bertaut saat mendapati seseorang lainnya dalam ruangan tersebut, memandangnya tajam dengan raut wajah dingin.

"Siapa kau?"

Tbc...

**

Harusnya ku up besok, cuma takutnya besok aku ga sempet karena ada acara di rumah. Soo, segitu dulu, yaa^^

Enjoy~ ihiw

See ya next chapter!

HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang