Шестой

9K 1.1K 314
                                    

Wong Yukhei tau, sepenuhnya tau, jika orang yang selama ini menjalin kisah cinta dengannya telah sah dimata agama dan negara menjadi milik orang lain. Jenis hubungan mereka bukan hanya sebatas sepasang kekasih. Seo Haechan telah dipersunting menjadi istri dari salah satu pengusaha terkaya dan tersukses di negeri itu.

Andai saja ia punya daya, bohong jika Yukhei katakan ia ingin menyerah begitu saja. Ia marah! Tentu saja marah saat Haechan bercerita sembari menangis-nangis dihadapannya. Kekasihnya yang berawajah manis itu begitu enggan-- bahkan menolak mentah-mentah-- untuk dinikahkan secara paksa.

Tapi apa kuasanya? Yukhei harap ia dilahirkan di keluarga penuh kekuasaan lainnya agar bisa menyelamatkan kekasih manisnya. Tapi hidup tidak seindah itu, dan Yukhei paham sepenuhnya. Ia tidak memiliki kuasa apapun demi menyelamatkan sang kekasih dari keluarga Jung. Merelakan kekasihnya menyandang status sebagai menantu dari keluarga Jung.

Ia jauh lebih kesal, saat Haechan bilang ayahnya memaksanya menikah dengan orang cacat. Ingin sekali pemuda Wong ini berteriak tepat diwajah si tua Seo yang harusnya menyandang gelar sebagai mertuanya. Apa kurangnya seorang Wong Yukhei hingga Seo Young Ho harus memaksa putranya untuk menikah dengan orang cacat? Harga dirinya sebagai pria tampan yang gagah benar-benar tercoreng!

Apapun itu, ia bertekad dengan sungguh-sungguh. Bagaimanapun caranya, Seo Haechan harus kembali ke pelukannya. Tidak ada marga lain yang lebih cocok untuk disandang oleh pria manis itu selain Wong.

Terutama Jung! Jung sangat tidak dipantas untuk Haechan.

Wong Haechan tampak begitu bersinar untuk si pria manis berkulit tan.

**

"Apa kau tidak melihat ponselku?" Haechan benar-benar kesal sekarang. Kemana perginya ponselnya itu? Demi tuhan! Ia belum menghubungi kekasihnya beberapa hari ini. Yukhei baby-nya itu pasti sedang resah menunggu kabarnya. Terlebih, pertemuan terakhir mereka yang mau tidak mau harus dirusak oleh telepon dari ayahnya.

Ingatkan? Waktu itu Seo Young Ho meminta--lebih tepatnya memaksa--Haechan untuk ke gedung Jung corp.

"Pasti ada disekitar sini." Pria manis itu benar-benar risau, mencari kesana kemari di seluruh ruangan yang terbuka, tempat dimana ponselnya mungkin tertinggal. "Bagaimana ini? Kenapa tidak ketemu-ketemu?" ucapnya nyaris menangis.

Jung Minhyung yang tengah menikmati segelas teh di ruang tamu hanya bisa mengerutkan keningnya tidak paham pada kelakuan istrinya. Ia sendiri tidak paham, kenapa istrinya ini seperti tidak bisa tenang sekali tanpa ponselnya? Padahal, ada telepon rumah di dekat televisi sana. Jung Haechan bisa menggunakannya jika ingin menghubungi orang tuanya.

--atau Papa Jung, jika Haechan masih berniat untuk minta ruangan lain untuknya.

"Mark! Kau dengar tidak? Kenapa tidak menjawab dari tadi?" Haechan gemas sendiri jadinya. Pria berkulit pucat ini seolah tidak peduli sejak tadi. Padahal, Haechan sudah sedari tadi kebingungan mencari ponselnya. "Kau lihat ponselku atau tidak? Aku bingung mencarinya!"

Sebelah alisnya naik karena bingung. Kenapa si pria manis malah marah-marah kepadanya?

"Kenapa bertanya padaku? Kan kau yang menggunakannya. Bukan aku." jawab si alis camar santai. Haechan menghadiahinha dengan sebuah dengusan sebal. Menghentakkan kakinya sembari menggerutu, betapa tidak pekanya suaminya itu. Dengan langkah besar, ia membawa kakinya untuk menaiki tangga, menuju kamar mereka berdua.

**

Entahlah, katakan saja jika minggu-minggu ini adalah minggu tersial Haechan. Harusnya ia sadar, ia sempat menumpahkan sedikit air tadi saat turun dengan tergesa-gesa dari kamar hingga membasahi beberapa anak tangga. Akibatnya, ia termakan ulahnya sendiri. Satu kesialan tidak cukup, sehingga Haechan harus terpeleset dan terguling-guling dari tangga. Menyebabkan kekhawatiran dari pria pucat yang sedari tadi duduk di kursi roda.

Beruntung, Jung Jaehyun masih membiarkan beberapa penjaganya untuk berjaga di rumah tersebut. Dengan cepat, ia meminta para penjaga yang tengah berjaga itu untuk membopong Haechan ke kamar mereka berdua sebelum menelfon dokter keluarga. Haechan tidak sadarkan diri, membuat si pria Jung berkulit pucat itu benar-benar khawatir.

Dan Haechan mau tidak mau harus menikmati harinya dengan bantuan tongkat. Tidak! Kakinya tidak sampai separah milik Mark. Tulangnya retak, dan butuh beberapa waktu hingga kondisinya kembali pulih.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Mark khawatir. Pasalnya, Haechan sama sekali tidak berbicara sejak tadi saat dokter bilang kakinya retak. Wajahnya datar. Tapi Mark tahu, ada kekesalan yang terpendam disana.

"Apa? Kau mau menertawakanku karena harus sepertimu yang cacat?"

Huuuffttt.... Menghadapi Haechan kadangkala memerlukan kesabaran yang sangat ekstra. Bahkan disaat-saat seperti ini, Haechan masih saja sempat mengungkit cacat fisiknya. Bahkan berprasangka buruk, mengira suaminya sendiri akan tega menertawakannya.

"Aku mencemaskanmu."

Satu kalimat itu, entah mengapa sanggup menggoyahkan tembok es yang Haechan berusaha bangun. Matanya menelusup dalam, berenang-renang pada manik kelam pria yang lebih tua. Haechan berusaha mengingkarinya, egonya masih terlalu tinggi. Tapi, ia dapati satu bentuk ketulusan saat Mark mengucapkan kalimatnya.

"Cih! Mencemaskanku kau bilang? Kau pikir rasa cemasmu dapat membuat kakiku baik-baik saja seperti semula?" Tapi Haechan tetaplah Haechan. Terlalu handal dalam menutupi setitik rasa bersalahnya dengan kalimatnya yang setajam silet itu. "Tidak usah repot-repot mencemaskanku. Cemasi saja keadaan dirimu jika nanti aku meninggalkanmu yang menyedihkan itu."

Mau sampai kapan Haechan menguji kesabaran Mark? Pria manis itu harus benar-benar diajari bagaimana caranya berkata dengan manis pada suaminya sendiri.

"Ini semua karena kau tidak mau membantuku mencari ponsel! Kalau saja kau mau membantuku, aku.mungkin tidak akan sampai cacat sepertimu...."

Grep!!!

Minhyung tidak peduli, bahkan saat si pria manis meronta-ronta dalam ciumannya. Bibir tipis itu menyambar bibir hati yang sedari tadi mengoceh, membuat telinganya panas sekaligus menyakiti kepalanya. Kedua bibirnya bergerak brutal, menghisap bibir atas kemudian bawah milik sang istri dengan kuat. Menggigitnya pelan, meminta celah untuk mengeksplorasi bibir si pemuda manis. Membelit lidahnya, tidak lupa mengabsen deretan giginya.

Mark terbuai! Terasa begitu manis. Hingga ia dengan semangat masih menyesap kedua belah bibir itu. Bahkan Haechan sendiri harus mengakui jika pria dihadapannya ini merupakan good kisser. Egonya mungkin akan menyangkal mentah-mentah. Otaknya menolak, tapi tidak dengan tubuhnya. Sebuah desahan pelan lolos dari bibir mungilnya. Membuat Mark tersadar pada kegiatannya, dan perlahan melepas pagutannya.

"KAU...."

Sebuah senyuman terbit di bibir tipis milik Jung Minhyung. Bibir hati milik pria manis dihadapannya bengkak. Dan ia suka melihat bagaimana merahnya wajah pria manis dihadapannya.

"Aku sudah pernah bilang, bukan? Be nice! Aku tidak segan-segan akan melakukan hal seperti itu, atau mungkin lebih jika kau terus saja bersikap congkak pada suamimu ini " ucapnya. Wajah Haechan sudah semerah apel saat ini. Benar-benar merasa kesal, terlecehkan, sekaligus malu karena hal yang baru saja. Ia lakukan.

Baru saja ia hendak membalas perkataan Minhyung, pria itu sudah terlebih dahulu membungkamnya dengan kalimat yang sanggup memporak-porandakan jantungnya.

"Tidak perlu repot-repot mengumpatiku atau marah-marah, love. Aku tau kau menyukainya." katanya dengan nada meremehkan.






"--kau bahkan mendesah saat kucium tadi. Bagaimana jika aku sampai melakukan yang lebih dari ini?"






Haechan berjanji, hal yang si Jung Cacat Minhyung pikirkan itu tidak akan pernah terjadi. Bahkan di alam mimpi sekalipun.

Haechan tidak sudi jika Jung Minhyung yang akan membobolnya pertama kali.

"Tidak akan kubiarkan. Ini aset milik kekasihku, Wong Yukhei. Camkan itu, Jung Minhyung!"

Tbc...

**

Kalau ceritanya mulai ga masuk akal maaf , yah.

Yaudaww segitu duluuww~

Enjoooy~ ihiww♡♡♡♡

HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang