Wonyoung sangat kecewa karena hari ini, ia harus diantar jemput ke sekolah oleh ayahnya. Artinya kesempatan untuk bertemu Haruto nanti di bandara sangatlah minim. Dirinya terlalu dikekang dan dijaga oleh ayahnya.
Semua fasilitas seperti ponsel, kunci sepeda motor, kunci mobil disita oleh ayahnya. Hingga uang jajan pun tidak diberikan. Alhasil di sekolah tadi, Wonyoung hanya diberi sekotak bekal dan sebotol air mineral oleh ibunya atas perintah ayah Wonyoung. Karena kejadian semalam, tindakan ayahnya begitu tegas.
Hingga akhirnya sampai di rumah, suasana hati Wonyoung tidak kian membaik. Ayahnya akan mencarikannya guru les di malam hari nanti guna untuk persiapan ujian nasional. Karena ujian akhir sekolah telah berakhir, tentu saja ayahnya Wonyoung ingin anaknya mendapatkan hasil yang terbaik untuk ujian nasional. Itu artinya kesempatan untuk kabur dari rumah semakin berkurang. Hal ini yang membuat Wonyoung tidak konsentrasi selama pelajaran berlangsung, dari sekolah hingga ia melaksanakan les di rumahnya.
Pikiran Wonyoung hanya tertuju pada Haruto. Bagaimana perasaan Haruto ketika tahu bahwa dirinya telah mengingkari janjinya? Ingin rasanya berbicara namun sayang, ponselnya disita. Jika pergi dengan taksi, percuma saja ia tak memiliki uang sepeser pun. Alhasil, saat les ia hanya melamun tak menggubris bagaimana guru lesnya ini berkomat kamit menjelaskan materi2 penting yang harus dikuasai Wonyoung.
Di satu sisi, di penerbangan internasional seseorang sedang duduk dan menunggu sesuatu. Dirinya sedari tadi mengulang aktivitasnya-berdiri, berjalan mondar mandir, hingga kembali duduk. Teman2nya melihat Haruto seperti gelisah akan suatu hal. Namun saat ditanya, Haruto tak merespon.
Sebuah pisau kecil menyayat hati Haruto. Sudah beberapa kali mencoba untuk menghubunginya, namun nihil. Ponselnya tidak aktif. Pupus sudah harapan Haruto untuk menantikan orang itu hadir.
"Mana mungkin dia bisa lupa kalo udah janji kemarin.." ucap Haruto lirih. Ia mengaktifkan mode pesawat lalu menyimpannya didalam ransel kesayangannya itu. Wonyoung lupa akan janji yang telah mereka buat kemarin malam.
"Haruto, yuk cabut!" ajak hyung-nya, Choi Hyunsuk. Sebentar lagi mereka akan pulang. Dan Haruto belum bertemu dengan seseorang yang sangat ingin ia temui sebelum kembali pulang.
Haruto menghembuskan nafasnya berat lalu beranjak dari duduknya. Rasa kecewa membendung. Sekali lagi ia melihat ke arah pintu kaca itu, berharap ia datang dengan berlari sambil berteriak menyebut namanya. Haruto berjalan mendekati teman2nya yang lain dengan langkah yang berat. Rasanya tak ingin pulang, karena ia harus bertemu dengan temannya itu yang menyelamatkan dirinya dari malapetaka.
Untuk terakhir kalinya, Haruto menoleh lagi dan melihat ke arah pintu yang sama. Tetap saja tidak ada siapapun disana terkecuali petugas bandara yang berlalu lalang.
Padahal ia sudah berharap, di gerombolan penggemar tadi saat ia sampai ada sosok Wonyoung disana yang ikut berteriak menyebut namanya. Namun hati ini sudah terlanjur kecewa dengan semua harapan yang ia rangkai.
Jika saja boleh jujur terhadap perasaannya sendiri, Haruto sangat merindukan Wonyoung. Apakah Wonyoung tidak merasakan hal yang sama?
Tentu saja, ya. Wonyoung merasakan hal yang sama.
Di atas tempat tidurnya, Wonyoung menangis setelah menyelesaikan pelajarannya dengan guru les pribadi. Sungguh rasanya sakit tak bisa bertemu dan menyampaikan salam perpisahannya kepada Haruto. Hatinya sungguh sesak.
Wonyoung yakin, Haruto pasti kecewa. Haruto pasti marah. Haruto pasti akan meninggalkan kesan buruk terhadap Wonyoung.
Andai saja jika bisa Wonyoung mengatakan semuanya kepada Haruto dan meminta maaf, perasaannya tidak akan pernah serumit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
WATANABE HARUTO [END]
FanfictionWonyoung melihat sebuah kartu yang jatuh tepat dihadapannya. Wonyoung beranjak dari duduknya, lalu memungut kartu itu dan melihat... "Watanabe Haruto?" Saat bertemu dengan Haruto, Wonyoung menemukan banyak sekali keganjalan-keganjalan dan pertanyaan...