"KAK YURIIII!!!" Teriak Wonyoung sangat kencang begitu sampai di rumahnya.
"Habis dari mana kamu, Wonyoung?" Kini bukan kakaknya yang berbicara, namun Ayahnya. Ternyata Ayahnya sudah pulang dari kantor. Dirinya sedang duduk sambil menahan kantuknya di sofa ruang tengah.
"Eh, Ayah. Udah pu—" ucapan Wonyoung terputus
"Jawab pertanyaan Ayah! Dari mana saja kamu sampai pulang selarut ini?!" Ayah Wonyoung beranjak dari duduknya, lalu menghampiri putri keduanya.
Raut wajah Wonyoung yang semula cerah seketika luntur akibat ucapan ayahnya.
"Ada urusan sebentar, Yah" jawab Wonyoung lirih sambil menundukkan kepalanya.
"Urusan apa hingga kamu pulang selarut ini?! Bukannya besok kamu masih ada ujian akhir? Harusnya kamu belajar bukannya keluyuran hingga tengah malam begini!" Bentak Ayahnya yang berhasil membuat air mata Wonyoung membendung di pelupuk matanya.
Wonyoung sangat takut jika orang2 membentaknya. Tangan dan kakinya gemetar hebat, tak sanggup menopang tubuhnya yang kian memberat. Wonyoung sudah tak bisa menahan tangisnya. Setetes air mata berhasil jatuh dari matanya yang indah itu.
"Anak cewek kok pulang tengah malam? Mau jadi apa kamu?!" Lanjut Ayahnya.
Dengan sekuat tenaga, Wonyoung berani mengangkat kepalanya, menatap Ayahnya dengan mata merah dan penuh air mata.
"Ayah seharusnya tidak bertingkah seperti itu!" Wonyoung melangkahkan kakinya dengan hentakan yang kuat, menaiki anak tangganya dengan sedikit berlari.
"Jangan pernah kurang ajar dengan Ayahmu! Besok pulang sekolah Ayah yang jemput, kamu tidak boleh keluar rumah!" Teriak Ayahnya dari lantai bawah. Wonyoung tidak peduli apa yang dikatakan oleh Ayahnya. Yang terpenting sekarang adalah, dirinya sampai di kamar untuk menangis sekencang2nya.
Wonyoung sangat2 membenci Ayahnya yang selalu mengekang tanpa diberi kebebasan. Setidaknya, Ayahnya mengerti. Dirinya sudah dewasa kini, dan pasti bisa mengurus dirinya sendiri. Perkataan Ayahnya tadi sangat menyayat hati.
Ia sibuk dengan isak tangisnya, menenggelamkan kepalanya dibawah bantal. Dengan tubuhnya yang diselimuti dengan bed cover, menutupi seluruh tubuhnya. Wonyoung, terisak disana.
Tidak peduli siapapun yang ingin masuk ke kamar. Terdengar seperti Ayahnya yang mengetuk dan mengoceh dari balik pintu. Tapi Wonyoung telah mengunci pintu kamarnya agar tak ada yang mengganggu.
Ketukan pintu dan ocehan dari Ayahnya sudah tidak ada lagi. Mungkin sudah pergi, tapi Wonyoung tidak peduli.
Malam semakin larut, sudah pukul 2 pagi. Wonyoung masih terisak. Perkataan Ayahnya tadi masih terngiang2 jelas di kedua telinganya. Air mata menetes kembali, mengingat bahwa dirinya tak diijinkan keluar rumah.
Seketika terbesit juga dengan janji Haruto tadi di cafe, bahwa dirinya menunggu kehadiran Wonyoung di bandara saat dirinya akan pulang.
Wonyoung merasa sangat bersalah tak bisa menepati permintaan terakhir Haruto, apalagi besok adalah hari terakhirnya untuk bertemu dengan Haruto.
"Maafin gue, Haru.." ucapnya lirih lalu memejamkan matanya hingga tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
WATANABE HARUTO [END]
FanficWonyoung melihat sebuah kartu yang jatuh tepat dihadapannya. Wonyoung beranjak dari duduknya, lalu memungut kartu itu dan melihat... "Watanabe Haruto?" Saat bertemu dengan Haruto, Wonyoung menemukan banyak sekali keganjalan-keganjalan dan pertanyaan...