"Badan gue pegel..." Tora menggerakan tangannya ke kanan dan ke kiri, pinggulnya diputar dan ditekuk ke depan. Dia sudah seperti sedang mengikuti kelas olahraga di bangku sekolah.
"Norak," Oddy mencibir dan berjalan menuju ban berjalan untuk menunggu kopernya.
"Udah tahu perjalanan panjang. Pake kelas ekonomi lagi," Tora menggeleng. Sekarang dia berdiri di samping sang kakak, siap menangkap koper mereka berdua.
"Maaf aja nih, adik gue yang paling ganteng karena memang cuma satu. Gue kan beli tiket pake budget gue sendiri..."
"Halah, gue tahu bonus tahunan lo bisa buat DP rum..."
"Ssst," Oddy menekan telunjuknya ke bibir Tora. "Dan memang gue jadiin DP kan."
Tora menepuk tangan Oddy agar lepas dari bibirnya.
"Jadi abis? Tau gitu gue upgrade aja kelas kita jadi ke kelas satu," Tora memegang pinggangnya yang masih terasa pegal atas perjalanan 24 jam lebih.
"Sok banyak duit lo," Oddy mencibir. "Lagian bukannya ngecek tiketnya dari awal..."
"Gue gak sempet ngecek. Lagian semua yang proses tiketnya kan Momi," Tora menyadari dia seharusnya banyak bertanya kepada sang ibu sebelum menyetujui menemani kakaknya ke New York.
Mereka berdua sama-sama terdiam karena lelah. Setelah ini mereka akan menuju apartemen yang disewa Oddy selama seminggu. Mereka punya waktu satu hari penuh untuk memulihkan kondisi karena jetlag. Oddy sudah membayangkan malam ini akan langsung beristirahat di apartemen yang nyaman, besok bersantai seharian. Setelah itu Oddy bisa memulai kelas memasaknya. Sementara Tora?
"Jadi lo di sini bakal ngapain?" Oddy menoleh pada adiknya.
"Kerja," Tora menepuk tas berisi laptop. "Sambil bikin lagu yang terinspirasi dari New York sepertinya. Entah deh. Liat nanti aja. Yang jelas tugas utama gue adalah menjaga lo, secara fisik dan mental."
"Hmm, bagus. Gak sekalian lo pasang GPS di jidat gue?"
Tora tertawa namun tidak lama. Matanya tertumbuk pada sebuah tas dengan label PTV. Salah satu televisi bergengsi di tanah air. Sayangnya, PTV belum pernah mengundang Tora sebagai bintang tamu. Baik karena prestasinya di bidang teknologi informasi maupun prestasinya sebagai penyanyi. Hmm, apakah ini suatu pertanda?
"Yuk," Oddy sudah menurunkan kopernya--Tumi V4 berwarna pink genjreng dengan label tag Sailor Moon--dan koper Tora--Samsonite Evoa berwarna Gold dari ban berjalan.
Perhatian Tora teralihkan sejenak dari tas-tas dengan label PTV itu. Dia segera mengikuti kakaknya keluar dari John F Kennedy International Airport. Oddy tampak serius dengan ponselnya karena dia sama sekali tidak memperhatikan jalanan. Sepertinya Oddy mengandalkan instingnya untuk berjalan meliuk ke kanan dan ke kiri, menghindari tabrakan dengan orang lain.
"Kita tunggu jemputan di sini aja. Udah mau nyampe," Oddy mengunci ponselnya lalu memandang berkeliling. Matanya mencari mobil Chevrolet yang akan menjemput dirinya dan Tora. Oddy dan Tora harus siap sedia kapanpun mobil jemputan mereka datang. Jika tidak, penjemput harus menunggu ke Cell Phone Lot dan Oddy harus berpindah ke sana.
"Gue baru tahu kita bakal dijemput. Kirain bakal pake taksi," Tora menunjuk deretan taksi kuning di bandara.
"Apartemen yang bakal kita tempati, gue dapet dari referensi mahasiswa Indonesia yang kuliah di sini. Long story short, dia bisa ngelobi pacarnya buat bantu jemput kita," Oddy masih bicara tanpa menatap Tora.
"Yang mau jemput kita ini yang punya apartemennya?"
"Bukan. Apartemennya emang buat disewain gitu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)
RomanceClaudia Mentari Alatas, yang biasa dipanggil Oddy, mengalami sakit hati setelah ditinggal begitu saja oleh pria yang dia cintai. Dia menduga pria itu balas menyayanginya, ternyata tidak. Di New York, tujuan Oddy hanya untuk mendapatkan pelajaran dar...