Ini baru hari ketiga kursus dengan chef favoritnya, tapi sekarang Oddy begitu malas untuk berangkat ke lokasi. Karena Oddy tidak kunjung keluar dari kamar meskipun jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan wangi kopi sudah tercium ke indera penciumannya, akhirnya Tora membuka pintu kamar sang kakak. Oddy memang tidak pernah mengunci pintu tersebut.
"Something wrong?" tanya adiknya pada Oddy yang masih meringkuk di tempat tidur.
Oddy menatap Tora lalu menggeleng. "Nggak. Cuma males aja."
Tora duduk di tepi tempat tidur Oddy, duduk bersila menghadap kakaknya. "Gue tahu ini pasti ada hubungannya Lingga dan atau Kawa."
Melihat Tora yang tampak berapi-api, Oddy tertawa. Akhirnya dia bangkit dari tempat tidur. Duduk, mengikat rambutnya, dan menatap Tora.
"Iya," kata Oddy, tapi dengan senyum di wajahnya.
"Gue mulai curiga kakak gue ini punya dua kepribadian." Tora menyentuh pipi Oddy dan mencubitnya. "Ini siapa hey? Ngaku wey!"
"Ish, sakit tauk," Oddy menepuk tangan Tora, menyuruhnya menjauh.
"Lah abisan. Kemarin bahas dua laki itu tapi sedih. Sekarang malah senyum-senyum. Tapi beberapa menit lalu masih suntuk. Sampe bilang males mau dateng ke kursus mahal yang udah ditunggu-tunggu," Tora memandang kakaknya dengan mata menyipit. "Ada apa sih?"
"Lo bisa datang ke tempat kursus di jam makan siang nanti?"
Tora kembali mengernyit menatap kakaknya yang mengalihkan pembicaraan.
"Kalau gue cerita sekarang, pasti gue bakal terlambat. Lo datang aja nanti. Kita makan siang bareng. Lagipula kayaknya gue belum bisa kalau harus makan siang sama cowok-cowok itu." Oddy tidak menunggu jawaban dari Tora. Dia langsung turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
"Baiklah. Kita makan siang yang enak deh Kak," seru Tora dari belakang kakaknya.
***
Oddy berdiri 10 detik di balik pintu. Dia bersyukur karena tidak datang terlambat walaupun dia sudah melihat bahwa Chef Gordon Ramsay sudah tiba. Di dalam pasti sudah ramai oleh para peserta. Oddy berencana untuk menyusup dan mencari tempat paling belakang. Hari ini mereka akan mulai memasak dan seingat Oddy, kelas ini memiliki banyak kitchen station, melebihi jumlah peserta kelas.
Oddy menahan napas, membuka pintu, dan langsung mengarahkan mata serta pandangannya ke bagian belakang kelas. Orang-orang ramai berdiskusi. Oddy mengabaikan itu. Dia juga tidak mencari tahu apakah Kawa atau Lingga sudah tiba.
"Good morning, class!" Suara berwibawa Chef Ramsay terdengar. Oddy menghela napas lega dan fokus menghadap ke depan. Saat Oddy menatap ke depan, didapatinya bahwa kedua laki-laki yang membuat pikirannya gusar itu sudah duduk di deretan depan. Kawa masih menatap Oddy di belakang meskipun Chef Ramsay sudah berdiri di depan. Oddy memilih untuk mengabaikan tatapan Kawa. Tujuannya adalah belajar memasak dengan Chef favoritnya, bisa membuat beef wellington sendiri, lebih beruntung lagi jika bisa mencicipi masakan beliau. Itulah yang akan Oddy lakukan sekarang.
***
"Dy,"
Oddy mendongak. Kawa sudah berdiri di hadapannya. Begitu cepat Kawa berpindah saat Chef Ramsay baru saja keluar dari kelas.
"Iya," Oddy memasukkan buku ke dalam tas lalu bergegas ke luar tanpa menghiraukan Kawa.
"I'm sorry," ujar Kawa, mengejar Oddy ke luar.
"No, you don't have to say sorry," Oddy menyahut tanpa melihat Kawa. Di dekat pintu, muncul lagi masalah lainnya. Lingga sudah menunggu. "I'll go lunch with my brother. Just the two of us."
Oddy bicara pada Kawa tapi sekaligus mengencangkan suaranya agar Lingga pun mendengar. Kedua laki-laki itu terdiam. Oddy memanfaatkan kesempatan ini untuk segera pergi dan menemui Tora. Adiknya itu bilang dia sudah menunggu dengan banyak makanan berlemak.
***
"Lihat? Menarik banget kan?" Tora menggosokkan tangannya saat Oddy tiba. Di hadapannya sudah banyak makanan. Nasi briyani, kambing guling, kari kambing, roti cane, kebab. Rasa timur di wilayah barat.
Oddy tersenyum lalu duduk. "Lo beneran berniat makan banyak ya?"
"Mumpung lagi di luar negeri," Tora mengangkat bahu. "Yuk makan. Biar lo bisa cepet cerita terus balik ke kelas lagi."
Oddy mengambil piring dan menuang nasi. Gerakannya perlahan karena otaknya sedang berpikir dia mau memulai cerita dari mana. Akhirnya, setelah mengambil beberapa kari, Oddy malah terdiam.
"Lo tahu kan gue punya cerita sama Lingga?"
Tora mengangguk bersemangat. "Dia tiba-tiba ninggalin lo buat nikah dan berangkat ke New York."
"Iya. Tapi lo gak tahu kan bahwa kami gak pernah pacaran?"
"Yaaaa gue gak bener-bener tahu sih. Lo gak pernah cerita bahwa lo jadian sama Lingga. Tapi ya gue pikir kalian juga bukan sekedar temen. Makanya waktu lo cerita bahwa dia nikah ke New York, gue tetep bisa bayangin rasa sakit hatinya." Tora kemudian kembali makan dengan rakus. Sangat terbalik dengan Oddy yang masih belum menyentuh makanannya.
"Lo juga gak tahu kan bahwa Lingga punya anak dulu baru nikah?"
"Uhuk!" Tora terbatuk begitu hebat. Oddy hanya mengulurkan air mineral ke arah adiknya.
"Sakit hati gue jadi berlipat. Bahwa dia ternyata gak punya perasaan yang sama dengan gue. Bahwa dia bisa melakukan hal seperti itu, hal yang gak bisa gue tolerir. Bahwa dia gak tahu bahwa gue sudah sebegitu dalamnya punya perasaan sama dia."
Oddy menunduk. Dia berusaha untuk menahan tangis. Tapi... tangisnya memang tidak ingin keluar.
"Gue jujur kaget banget ketemu dia lagi kemarin. Dia sama sekali gak merasa bahwa dia pernah membuat gue menangis. Well, it's not his fault either. Memang gue yang terlalu berharap sama dia kan. Padahal dia gak pernah bilang apa-apa soal suka gue atau semacamnya."
Oddy mendongak untuk menatap Tora. "Gue pikir gue bisa biasa aja ketemu dia. Tapi yah ternyata nggak. Gue masih tetep kaget ketemu dia."
"Lo cuma shock aja, Kak," Tora mengelus tangan kakaknya. Oddy menyambut tangan itu dan mengangguk.
"Semoga saja, Tor. Gue juga gak mau punya kegusaran pada cowok yang udah jadi suami orang. Gak keren sama sekali."
Tora nyengir. "Ngomong-ngomong, di sekitar kita kan ada cowok yang bukan suami orang."
Oddy yang mulai mencoba makan, terhenti sejenak mendengar kalimat Tora. "Hmm, banyak sih memang. Tapi maksud lo siapa?"
Tora tidak langsung menjawab pertanyaan kakaknya. Memandang Oddy dengan tatapan 'lamban banget lo mengerti maksud gue, Kak'. Karena Tora tidak kunjung menjawab, Oddy mulai menikmati makanan yang dipesan adiknya.
"Cowok yang mulai sedikit gue curigai. Kawa,"
"UHUK!" Giliran Oddy yang terbatuk. Tora semakin curiga ada apa-apa antara kakaknya dan Kawa.
"Nah kan. Kenapa respon lo begini dah?" Kawa menepuk punggung Oddy, memintanya minum untuk meredakan batuknya. Mata Oddy sampai berair karena tersedak. "Ngaku! Kalau dia brengsek, gue gak akan minta dia jagain lo lagi."
Oddy menelan dengan susah payah, menghapus air matanya, lalu menatap Tora.
"He kissed my lips," kata Oddy cepat.
***
Kaget?
This part is written by me. Next part will be published when my partner has finished her part.
Tell us what do you think!
-Amy
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)
RomanceClaudia Mentari Alatas, yang biasa dipanggil Oddy, mengalami sakit hati setelah ditinggal begitu saja oleh pria yang dia cintai. Dia menduga pria itu balas menyayanginya, ternyata tidak. Di New York, tujuan Oddy hanya untuk mendapatkan pelajaran dar...