Mereka masih berjalan beriringan, lebih banyak membicarakan perihal pekerjaan Kawa. Bagaimana pentingnya membuat tayangan yang disukai penonton tapi juga tetap memberikan insight yang berharga. Bagaimana menelurkan ide menjadi sebuah tayangan, karena kadangkala ide yang bagus belum tentu menjadi tayangan yang menarik. Bagaimana menekan budget demi efisiensi meskipun konsep membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk direalisasikan.
"Dan lo bahagia dengan itu semua?" Oddy menaikkan sedikit alisnya.
Kawa hanya tersenyum, membetulkan tali tasnya, dan menunduk sebentar sebelum kembali memandang Oddy. "I am."
Oddy terdiam sejenak sebelum balas mengangguk. Entah kenapa Oddy merasa Kawa memiliki hal lain yang ingin dikatakannya. Tapi mungkin saja itu hanya pikiran Oddy.
"Ngomong-ngomong, ini udah deket apartemen gue. Lo bukannya beda arah?" Oddy baru menyadari bahwa sekitar 200 meter lagi, mereka akan sampai ke apartemen Oddy. Padahal Kawa seharusnya berjalan ke arah yang berbeda.
"Saya punya kewajiban untuk jaga kamu, kan?"
Kening Oddy berkerut lalu dia tertawa terbahak. Giliran Kawa yang mengernyit heran. Tidak ada yang lucu di sini, pikir Kawa.
Meskipun Kawa tidak tahu kenapa Oddy tertawa, tapi sekilas dalam pikirannya, Kawa mencatat bahwa Oddy memiliki suara tawa yang renyah. Kawa tidak keberatan mendengar itu lagi di lain hari.
"Lo gak usah seriusin kata-kata Tora," Oddy mengibaskan tangannya. "Kalau lo mau pulang, gak apa-apa. Gue bisa sendiri kok."
Kawa berdeham. "Seriously, I'm okay. Lagipula sekarang sudah beranjak malam. Saya gak mau mengabaikan amanah yang sudah diberikan ke saya."
"Kawa..." Oddy bicara seperti sedang menasehati anak buahnya. "Ini memang pertama kalinya gue ke New York. Tapi bukan pertama kalinya gue ke luar negeri. Jangan sampai waktu lo terbuang percuma dengan nemenin gue, sementara lo mungkin bisa pulang kemudian share ke temen lo berita baik tentang Gordon tadi. Iya kan?"
"Begini saja..." Kawa mengangkat tangannya. "Saya akan pergi dengan catatan kamu sudah kembali bersama Tora. Entah itu di gedung kursus, di tengah jalan, ataupun di apartemen."
Oddy benar-benar ingin protes. Dia sudah dewasa. Secara usia bahkan jauh lebih dewasa dari orang di hadapannya ini. Bahkan kalau boleh menambahkan, Kawa JAUH lebih muda dari Oddy. Hak apa yang dimiliki Kawa sehingga membuat Oddy harus menurut padanya?
Hanya saja...
Melihat wajah serius Kawa ini membuat Oddy membatalkan niatnya mengomel. Akhirnya Oddy hanya mengangguk, mengangkat bahu, lalu melanjutkan langkahnya.
"Kita harus kabari Tora kalau kursusnya sudah selesai," ujar Oddy.
"Oke," Kawa merogoh saku celana untuk mengeluarkan ponsel sebelum kemudian menyadari bahwa... "Saya gak punya nomor Tora."
Oddy menghentikan langkah lalu berbalik. "Oh. Tunggu."
Oddy merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. Ketika dikeluarkan, ponsel apel berwarna hitam itu berlayar gelap tak bergeming. "Ck. Batere HP gue habis. Tapi gue apal sih nomor Tora."
Masih berdiri di samping jalan, Oddy menyebutkan nomor telepon adiknya kepada Kawa. Dengan sabar Kawa menyimpan nomor Tora lalu menelepon Tora melalui WhatsApp call. Ketika tersambung, Kawa menyalakan mode speakers.
"Halo! Who is this?" Sapa Tora dengan ceria.
"Ini Kawa,"
"Oh, hai, Kaws!" Tora menyambut dengan lebih ceria lagi. Bahkan dengan seenaknya memanggil dengan nama Kaws. Panggilan itu sukses membuat Kawa bengong dan Oddy mengernyit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)
RomanceClaudia Mentari Alatas, yang biasa dipanggil Oddy, mengalami sakit hati setelah ditinggal begitu saja oleh pria yang dia cintai. Dia menduga pria itu balas menyayanginya, ternyata tidak. Di New York, tujuan Oddy hanya untuk mendapatkan pelajaran dar...