Twelve

2.1K 364 27
                                    

Kawa mengerjapkan matanya, terasa sedikit perih. Ia tidak sedang menulis script, membaca buku, dan tidak juga minum kopi beberapa jam sebelumnya, tapi matanya menolak untuk beristirahat. Ia terjaga, semalaman.

Menyerah untuk berusaha tidur, Kawa menggeliat, bangkit duduk, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan gemas.

"What the hell are you doing last night?!"

Semua yang ia rasakan semalam menguap karena kekhawatirannya akan respon Oddy nanti ketika bertemu dengannya. Apakah ia akan bersikap biasa saja? Atau senang? Atau marah dan tak mau berbicara dengannya lagi selamanya?

Ia merutuki dirinya sendiri. Kalau sampai Oddy tidak mau bicara lagi dengannya, ia akan sangat amat menyesal.

Tunggu, tunggu.

Kawa memutar otaknya. Apakah keputusan untuk mencium Oddy semalam adalah keputusan yang tepat? Tidak. Ia tidak memutuskan. Nalurinya tidak mengajak akal sehatnya dalam diskusi apakah itu tindakan yang benar atau tidak. Semuanya terjadi begitu cepat dan Kawa tidak bisa menahan senyumnya sekarang karena respon Oddy di luar dugaan.

She kissed him back.

Jadi seharusnya Oddy tidak marah kan?

But they're just know each other for a couple of days! Mencium bibir orang asing mungkin tidak termasuk dalam itinerary Oddy di sini kan? Juga tidak pernah ada dalam kamus Kawa. Ia tahu dirinya selalu bergerak cermat dan hati-hati. Tapi semalam apa?

He just got crazy.

Or fallin in love?

***

Ines menggeliat mendengar alarm ponselnya berbunyi. Meraba-raba meja di samping tempat tidur, ia menyentuh tanda dismiss. Seketika suasana hening.

Masih jam 4 pagi.

Ines keluar dari kamar dan menemukan seseorang sudah duduk membelakanginya di meja makan dengan gelas kopi di tangan. Ia tidak bisa salah mengenali siluet Kawa dalam kegelapan sekalipun.
Ngapain ini manusia? Lagi di NY gini aja masih begadang mau ngerjain script?

Kawa sibuk dengan ponsel sampai tidak memerhatikan Ines sudah berdiri di sampingnya.

"Kawa nulis apa?" Ines bertanya sambil mendekatkan wajahnya ke ponsel Kawa.

Yang ditanya terloncat kaget, langsung menelungkupkan layar ponsel di atas meja,
"Nothing."

"Sampai minum kopi biar gak tidur. Nulis apa? Sini aku bantuin."

"Bukan kopi. Ini," Kawa mengangkat gelas dan menyeruput isinya sedikit, "teh."

Ines mengangkat satu alisnya, menyadari kalau Kawa tidak tidur bukan karena disengaja.

Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Kawa, pikir Ines.

"Gak mau cerita?"

"Cerita apa?"

"Apa kek. Kelasnya Gordon gimana? Seru?"

Kawa menatap Ines sejenak, menimbang apakah akan memberitahunya atau tidak. Sebenarnya ia butuh sudut pandang dari orang lain, apalagi sesama perempuan Ines mungkin bisa memberikannya pencerahan apa kira-kira yang dirasakan Oddy.

"But keep it for yourself, ya? Saya cuma pengen denger pendapat kamu sebagai perempuan."

Ines mengernyit penasaran. Masalahnya lebih kompleks daripada yang ia duga.

"Saya cium bibir Oddy semalam."

Ines terbelalak kaget. "How come?" Rasa sedih yang tak ia mengerti menyeruak di dadanya.

Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang