Twenty One

2K 435 55
                                    

Hari itu, Kawa berbelanja kebutuhan rumah barunya bersama Tora dan Oddy. Kedua laki-laki yang lebih banyak membeli karena memang itu kebutuhan bagi mereka. Orang tua Kawa menunggu di rumah, menerima barang yang dikirim dari toko sekaligus beristirahat karena pindahan ini cukup melelahkan.

Malamnya, Kawa menjemput orang tuanya. Dengan menggunakan mobil Oddy, mereka berangkat menuju restoran yang disewa Tora. Tora yang memang berangkat lebih dulu dengan mobilnya sendiri, menyambut dengan sukacita. Setelah makan malam usai, Tora pulang ke rumahnya sendiri, Oddy dan Kawa bersama orang tuanya berkendara bersama menuju rumah mereka.

Kawa mempersilakan orang tuanya masuk lebih dulu dan dia kembali menemui Oddy yang masih menunggu di depan rumah.

"Thanks. You've done so much for me today. This is more than I expected," kata Kawa saat dia dan Oddy berjalan super pelan dari depan hingga pintu rumah Oddy.

"It's okay. Much more meaningful than I've planned," kata Oddy. "Oh iya, ini kado buat lo. Maaf apa adanya karena gue gak tahu lo ulang tahun hari ini."

Kawa menerima sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna biru muda. "Boleh dibuka?"

"Silakan."

Kawa membuka bungkusnya dengan hati-hati. Hadiah dari Oddy tampil berupa pena Montblanc yang tampak elegan. Mulut Kawa terbuka. Oddy tertawa.

"Kan mau jadi Produser terus EP. Jadi kayaknya butuh banyak tanda tangan kan?"

Kawa menatap gadis pujaan hatinya dengan rasa syukur yang terpancar jelas. Dia tersenyum sekaligus terharu. "Thanks, Dy. Thank you."

"You're welcome," Oddy mengangguk.

Keduanya saling bertatapan dan perlahan Kawa mendekat. Oddy memejamkan matanya untuk menyambut Kawa yang mendaratkan ciuman di bibirnya. Tidak lama karena Kawa kemudian mencium pipi Oddy juga.

"Thanks. I love you," ujar Kawa lalu melambai dan kembali ke rumahnya.

***

"Dy, makan dulu yuk!" Rina melongok ke ruangan Oddy saat jam kerja telah usai.

"Gue makan di rumah aja, Rin. Mau ada yang bersihin rumah. Takut gak keburu," Oddy merapikan barangnya dan asal memasukan barang-barang ke dalam tas. Hanya laptop yang dia masukkan perlahan.

"Ah gak seru banget. Akhir-akhir ini lo pulang cepet mulu. Kenapa sih? Udah ada yang nungguin ya di rumah?" Rina mengikuti Oddy menuju lift.

"Rumah gue gak ada setannya ya," Oddy berkelakar.

"Canda," Rina tertawa. "Tapi lo gak diem-diem nyembunyiin laki yang bikin lo seneng pulang cepet kan?"

"Ngarang. Kalau ada laki, adik gue udah nyap-nyap dimana-mana tuh."

"Ya udah, sana. Hati-hati. Gue cari yang lain aja deh buat nemenin makan."

"Good luck, Rin. Semoga ada cowok nyantol," Oddy mengedipkan matanya dan segera menyetir mobil menuju rumahnya.

Baru beberapa hari Kawa tinggal di depan rumah Oddy. Bisa dibilang mereka jarang bertemu. Oddy berangkat pagi-pagi sekali dan Kawa sepertinya lebih longgar. Oddy bisa sampai di rumah saat adzan Isya dan Kawa bisa jadi pulang mendekati bergantinya hari. Lagipula selama tiga hari, orang tua Kawa masih ada di rumahnya. Baru ketika orang tua Kawa pulang dan Oddy masih terjaga hingga malam, Kawa menelepon Oddy. Mereka bicara melalui telepon dengan saling memandang dari balkon rumah masing-masing.

Petugas Go-Clean yang dipesan Oddy rupanya sudah tiba lebih dulu dari Oddy. Dia langsung mempersilakan petugas untuk masuk sementara Oddy mandi dan kemudian akan menyiapkan makan bagi dirinya dan petugas tersebut.

Ketika Oddy baru akan mulai memasak, bel di rumahnya berbunyi. Bukan tamu yang sabaran sepertinya, karena bel dibunyikan berkali-kali. Oddy terpaksa mengurungkan niatnya memasak. Setelah mematikan kompor, Oddy bergegas keluar.

Oddy membuka pintu dan membatalkan niatnya untuk menyapa siapapun tamu tidak sabaran itu. Ines berdiri di depannya. Namun bukan dengan ekspresi ramah seperti yang dilihatnya di New York, melainkan dengan ekspresi murka.

"Ada yang bisa saya bantu, Nes?" tanya Oddy hati-hati.

"Ada," kata Ines ketus. "Mbak gak usah deketin Kawa dong. Gak sadar apa Mbak jauh lebih tua dari Kawa? Bisa jadi kakaknya tau, bukan pacarnya."

Harga diri Oddy langsung terluka mendengar itu. Apa dia bilang? Deketin Kawa? Memangnya Ines tidak tahu siapa yang gencar menghubunginya?

"Gara-gara Mbak juga Kawa pake pindah segala. Nyicil rumah ratusan juta, lokasi jauh dari kantor pula. Mbak gak tau apa kalau gaji di TV gak segede gaji Mbak?"

"Haah?" Oddy melongo.

"Mbak Oddy memang cantik, tapi Mbak gak cocok buat Kawa. Jadi udah Mbak, saya minta baik-baik supaya Mbak gak usah deket-deket Kawa lagi. Mbak cari aja cowok lain yang sesuai sama Mbak. Cowok YANG SEUMURAN. Cowok yang cocok sama pergaulan Mbak."

Telinga Oddy terasa panas mendengar kalimat-kalimat Ines. Refleks, Oddy mendaratkan sebuah tonjokan di dinding rumahnya. Ines terhenyak dan mundur selangkah.

"Denger ya Ines. Kamu kalau suka sama Kawa, silakan berjuang. Buat dia sadar kalau kamu memang pantas buat dia. Tingkatkan kualitas diri kamu supaya hanya ada kamu di mata dia. Bukannya datengin rumah orang malam-malam, gak pake salam, langsung nuduh macem-macem."

Ines membuka mulutnya tapi Oddy mengangkat jari.

"Saya belum selesai ngomong ya. Asal kamu tahu, sejak di New York pun saya sudah menghindari Kawa. Saya pun gak tahu dia pindah ke rumah depan sampai dia benar-benar ada di depan rumah saya. Saya gak pernah sedikit pun minta dia pindah. Saya juga gak mau tahu soal urusan gaji orang."

"Kawa mati-matian berusaha buat Mbak, tauk!"

"Kalau gitu kenapa kamu juga gak berusaha mati-matian buat ngedapetin hati orang yang kamu suka?" Oddy setengah membentak. "Bukan dengan ngelabrak saya yang gak punya hubungan apa-apa sama Kawa?!"

"Mbak harusnya tahu diri!" Ines masih tidak mau kalah.

"Kalau gitu kamu harusnya lebih berani. Ngelabrak saya kok waktu Kawa gak ada? Tau aja kamu dia belum pulang," Oddy menunjuk rumah Kawa yang masih gelap. "Saya tahu diri saya memang JAUH LEBIH TUA dari pada Kawa. That's inevitable. But your cowardly attitude, it should be evitable."

Sekali lagi Oddy menonjok dinding rumahnya dan melempar Ines dengan tatapan mematikan.

"Jangan pernah datang lagi ke rumah saya hanya untuk marah-marah ke saya dengan alasan yang gak masuk akal seperti ini. Jangan ikutkan saya dengan masalah antara kamu dan Kawa. Lain kali kamu melakukan hal ini, saya gak ragu-ragu lapor ke polisi karena kamu mengganggu. Rumah saya dipasangi CCTV, semua kelakuan kamu barusan, juga kata-kata kamu, sudah terekam dengan JELAS sebagai bukti."

Ines ingin membantah lagi tapi akhirnya dia hanya mengatakan, "Bubun gak akan setuju Mbak sama Kawa." Lalu dia pergi sambil berlari.

"TERSERAH!" Oddy berteriak lalu dia membanting pintu rumahnya sendiri.

"Astagfirullah, Mbak. Baik-baik saja? Saya hampir telepon Polisi," Mbak Go-Clean menatap Oddy dengan takut-takut.

"Maaf, Mbak, ada orang yang bikin kesel. Mbak lanjut beres-beres aja. Saya mau tenangkan diri dulu," Oddy menjatuhkan diri ke sofa lalu menyusupkan wajahnya ke balik bantal. Sungguh adegan yang membuat semua mood positifnya hilang.

Tuk. "Mbak, ini ada air dingin buat minum," ujar Mbak Go-Clean.

"Thanks, Mbak," balas Oddy tanpa mengangkat wajahnya. Salah apa dirinya sampai dilabrak seperti ini?

***

Nyebelin ya Ines? Tapi Mas Kawa makin berani ajah~~

-Amy

IG: amysastrakencana

Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang