Nine

2.1K 331 13
                                    

Sepanjang hidupnya, Momi dan Papi selalu memanjakan Oddy dan Tora. Layaknya adegan di film-film, hadiah Sweet 17 Oddy adalah sebuah mobil Karimun berwarna pink. Untuk Tora, Honda Civic berwarna hitam mengkilap. Mobil tersebut sudah bertengger manis di garasi rumah begitu Oddy dan Tora pulang dari pesta ulang tahun di hotel bintang lima. Sekarang mobil-mobil itu masih ada di rumah Oddy dan Tora masing-masing tapi jarang digunakan karena mereka memilih menggunakan mobil lebih baru.

Untunglah Oddy dan Tora tetap tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan berusaha keras dalam meraih segala sesuatu yang mereka inginkan. Begitu Oddy mulai bekerja, dia meminta Momi memberikannya uang kecuali kalau kondisi keuangan Oddy benar-benar miris. Itu pun Oddy akan menganggapnya sebagai hutang. Sama juga dengan Tora. Karena dia sudah sering mendapatkan proyek-proyek yang berkaitan dengan keahliannya di bidang IT, dia bahkan berhenti disuplai kebutuhan finansialnya sejak di bangku kuliah.

Ada masa dimana Oddy tetap merasa dirinya menjadi seseorang yang manja dan butuh perhatian. Saat Lingga pergi dari hidupnya. Oddy yang saat itu masih tinggal di rumah orang tuanya, menyerobot masuk ke kamar Momi, meminta tidur di kamar orang tuanya, membuat Popi terpaksa mengungsi ke kamar lain. Di pelukan ibunya, Oddy menangis dan menceritakan semua hal yang terjadi. Tidak ada rahasia yang Oddy tutupi.

***

"Gimana bisa itu terjadi, Ga?" Oddy menatap nanar pria yang duduk di hadapannya. Awalnya Oddy tidak percaya dengan rumor yang dia dengar. Oddy ingin mengkonfirmasikan hal ini pada Lingga secara langsung. Namun baru saja Oddy menyampaikannya dalam satu kalimat, Lingga sudah terdiam. Tidak ada niatan untuk membantah. Berarti, itu benar kan?

"Aku dan Ghea memang sudah berhubungan lama, Clau." Lingga memainkan tali jamnya. "Dulu kami pernah berpacaran tapi berhenti saat dia pindah ke New York. Sesekali dia kembali ke Jakarta kami ketemu. Juga sewaktu dia akhirnya tinggal lagi di Jakarta. Kami sering ketemu lagi. Tapi gak pernah balik pacaran."

"Gak pernah balik pacaran tapi..."

"Gak perlu pacaran buat bisa tidur bareng, Clau," Lingga menghela napas. Oddy terkesiap. Begitu mudahnya Lingga mengatakan hal itu. Sungguh hal itu benar-benar bertentangan dengan apa yang Oddy yakini. Lingga, laki-laki yang selama ini selalu tampak ideal di mata Oddy. Lingga memiliki kecocokan yang tidak dimiliki pria lain. Sekarang dengan mudahnya Lingga mengatakan bahwa tidak perlu pacaran untuk bisa tidur bersama perempuan yang bahkan bukan istrinya?!

Gila!

"Karena itulah maka Ghea akhirnya hamil?"

Lingga menatap Oddy lagi. Tidak lama kemudian dia mengangguk.

"Aku gak ngerti kamu tahu dari mana. Bukannya kamu gak kenal Ghea ya?"

Oddy menggeleng. Dalam hatinya dia berbisik. Tapi dunia itu sempit, Lingga. Teman Ghea tahu bahwa aku dekat denganmu dan dia bilang soal kehamilan Ghea ke aku.

"Aku gak bilang gak akan mengakui anak itu. Aku dan Ghea melakukannya dengan sadar dan kami juga bahagia menyambut kehadiran bayi kami. Aku cuma kaget saja bahwa kamu ternyata tahu," Lingga mengangkat bahu. Dia benar-benar tidak terlihat bersalah.

Padahal Oddy merasa bahwa selama ini mereka dekat. Oddy berpikir bahwa hubungan Oddy dan Lingga lebih dari sekedar teman. Oddy berharap Lingga juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Kenyataannya?

"Oke..."

"Tapi ya karena semuanya mendadak dan di negara kita ini gak terbiasa dengan hamil sebelum nikah, jadi aku dan Ghea akan pindah ke New York. Pindahnya bulan depan, Clau. Doakan ya," Lingga tersenyum. Begitu lebar. Begitu tulus. Sungguh senyumnya menjadi pisau tertajam yang berhasil menghujam jantung Oddy, mengoyak-ngoyaknya hingga tak berbentuk lagi. Saat itu Oddy benar-benar merasa bahwa hatinya sudah tidak ada di tubuhnya lagi.

"Iya," Oddy hanya bisa mengangguk.

"Tolong jangan bilang siapa-siapa ya, Clau. Seperti yang aku bilang tadi..."

"Aku gak akan bilang siapa-siapa," Oddy tersenyum, meyakinkan Lingga bahwa rahasianya aman bersama Oddy.

"Kalau ada yang tanya, kamu bisa bilang aku pindah ke New York karena dapat kerja di sana. Oke?" Lingga mengacungkan jempolnya.

"Iya, oke," Oddy ikut mengacungkan jempolnya. Sekarang Oddy benar-benar menahan tangisnya. Dia begitu menyukai Lingga, berharap ada masa depan mereka bersama.

"Nanti antar aku ke bandara ya? Atau kamu mau kukenalkan dengan Ghea dulu?"

Oddy hanya menggumam tidak jelas. Gumamannya ditanggapi Lingga dengan anggukan. Mungkin Lingga menganggap Oddy menyetujui. Setelah itu mereka berpisah. Oddy menahan tangisnya agar tidak jatuh selama masih di perjalanan. Di rumah, tangisnya tumpah.

***

Kawa mengajak Oddy ke Central Park karena di sini adalah salah satu tempat wisata terkenal yang bisa dituju saat mengunjungi New York. Menjelang malam pun masih banyak orang yang beraktivitas di sini. Kawa pikir, Oddy akan menjadi lebih rileks, berbaur dengan orang-orang, mengobrol, meminta kawa memotretnya, atau apa lah yang bisa dilakukan seorang wanita dewasa. Nyatanya, sepanjang perjalanan menuju Central Park, Oddy selalu diam. Raut wajahnya terlihat mendung.

Begitu mereka sampai di Central Park, Oddy berdiri bersandar di salah satu pohon dan berdiri membeku. Matanya menatap ke depan tapi Kawa tidak yakin bahwa dia memandang apa pun yang ada di sekitar mereka. Pasti Oddy memandang jauh ke belakang. Ke masa lalu. Ke waktu dimana ada pria bernama Lingga di hidupanya.

"Dy," Kawa ragu-ragu mengulurkan tangan untuk menepuk pundak Oddy. Tepat begitu tangan Kawa menyentuh pundak Oddy, setetes air mata menitik. Kawa kaget. Dia tidak biasa melihat perempuan menangis.

"Oddy are you okay?"

Oddy malah menangis tersedu. Oddy yang selama ini terlihat galak dan dingin, kenapa sekarang malah sangat rapuh? Tangisnya tidak tertahan dan Oddy nampak tidak ragu-ragu untuk menangis di depan Kawa.

Sebagai laki-laki yang menghormati wanita, Kawa meraih Oddy agar bersandar di pundaknya. Kawa membiarkan Oddy menangis sepuasnya. Kawa tidak peduli air mata Oddy akan membasahi pakaiannya. Kawa hanya memikirkan cara agar Oddy tenang, lega, tidak perlu merasa kesakitan seperti ini.

"Gue pernah dekat dengan Lingga," ucap Oddy di sela tangisnya.

Kawa menoleh ke samping. Oddy sudah tidak bersandar di pundaknya, melainkan menunduk dan mengusap air matanya. Oddy terlihat seperti anak kecil yang mengalami sesuatu hal berat. Melihat Oddy yang seperti itu membuat Kawa ingin melakukan hal lebih dari sekedar meminjamkan pundaknya untuk Oddy.

"Gue sangat suka dengan Lingga," Oddy menambahkan. Kawa merogoh ke tasnya. Apakah ada tisu tersisa di sana?

"Gue harap dan gue pikir Lingga punya perasaan yang sama," Oddy terus terisak. Ah rupanya tidak ada tisu di di tas. Kawa akan merelakan lengan sweaternya untuk mengelap air mata Oddy.

"Sampai ternyata Lingga malah menghamili perempuan lain, menikah, dan tinggal di New York ini."

Oh crap, pikir Kawa. Tangannya yang siap mengusap air mata Oddy tergantung di udara.

***

Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang