Twenty Five

2.2K 489 83
                                    

Kawa sampai di rumahnya pukul sembilan malam. Dengan kepala yang berat, badan yang terasa panas dan pegal, Kawa menelepon Oddy. Lampu rumah Oddy menyala. Begitu juga lampu kamarnya yang terlihat dari luar.

"Halo, Kawa?" sapa Oddy.

"Belum, ehem, tidur?" Tenggorokan Kawa terasa seperti memiliki sesuatu yang mengganjal.

"Belum. Lagi ngobrol sama Hana. Kenapa?"

"Boleh minta waktu kamu sebentar? Aku... punya sesuatu yang mau aku sampaikan."

"Urgent kah?"

"Bisa dibilang begitu," Kawa menunggu dengan cemas saat Oddy tidak juga menjawab. Kawa menatap rumah Oddy tanpa bergerak. "Aku tunggu di depan rumah."

"Sebentar," Oddy menutup telepon dan membuat Kawa menunggu lagi. Tidak lama kemudian Oddy keluar dari rumah dan menyebrang ke rumah Kawa. "Tumben gak ngetok aja?"

Kawa menggeleng. "Gak enak. Ada Hana. Takut ganggu."

"Terus, kita mau ngobrol di depan begini?"

Kawa tampak bimbang apakah mempersilakan Oddy masuk atau cukup di luar saja. "Maksudku cuma sebentar tapi..."

"Di dalem aja ya. Gak enak ngobrol sambil berdiri," Oddy meraih tangan Kawa dengan maksud menuntunnya masuk. Tapi begitu Oddy memegang tangan Kawa, Oddy berjengit. "Lo panas!"

Kawa menarik tangannya. "Efek naik motor. Ayo masuk..."

"Kawa! Lo sakit!" Oddy memegang kening Kawa yang membuat Kawa langsung berkelit. "Mana mungkin naik motor bikin panas begini. Ayo masuk. Istirahat. Lo ada obat gak?"

Oddy menyeret Kawa hingga masuk ke dalam rumah Kawa dan masih berniat menyeret Kawa hingga berbaring ketika Kawa bergeming.

"Ka, ayo, lo harus istirahat. Udah makan belum? Ada obat apa? Udah ke dokter?"

"Just one question," Kawa mengangkat jarinya.

"Apa sih? Lagi gini juga," Oddy cemberut.

"Ines nyamperin kamu kan? Ngomelin kamu segala macam?"

Oddy bengong. Kok Kawa bisa tahu? Baiklah, tidak ada gunanya juga Oddy berpura-pura. "Iya."

"Kenapa kamu gak cerita?" Kawa mendudukkan diri di sofa karena dia ternyata tidak sanggup terlalu lama berdiri. Sungguh sebuah keajaiban dia bisa mengendarai motor ke rumahnya.

"Gak penting soalnya," Oddy nyengir lalu berjongkok di depan Kawa. "Will change nothing. Tapi mood gue memang drop sih."

"Maaf ya. Maafin Ines," Kawa menyentuhkan keningnya ke kening Oddy lalu mengelus pipi Oddy dengan tangannya yang panas.

"It's okay," Oddy menyentuh tangan Kawa yang menempel di pipinya. "Bukan masalah besar. Sekarang yang lebih penting adalah kesehatan lo. Istirahat ya? Apa perlu gue yang gendong?"

Kawa tersenyum dan dengan susah payah berdiri lagi. Dengan dibantu Oddy, Kawa menuju kamarnya di lantai atas. Tanpa berganti pakaian, Kawa berbaring di tempat tidur.

"Obat?"

"Ada Panadol di lemari di dapur," kata Kawa sambil memejamkan matanya.

"Sementara pakai itu ya. Besok kita ke dokter. Tunggu di sini. Gue ambil dulu." Oddy berbalik dan melesat cepat menuju dapur. Tidak butuh lama untuk menemukan obat yang dimaksud. Oddy mengambil gelas dan mengisinya lalu mencari teko yang bisa diisi air. Supaya jika Kawa haus, dia tidak perlu jauh-jauh ke dapur. Setelah siap, dia kembali ke kamar Kawa.

"Udah makan kan tapi?"

"Iya," kata Kawa dengan suara serak. Dia meminum obatnya dengan patuh lalu kembali berbaring. Oddy berdiri mematung di samping Kawa. "Pulang aja, Dy. Kasihan Hana. Aku cuma mau bilang itu aja kok."

Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang