Ten

2.4K 387 37
                                    

Oddy memusatkan pikiran hanya pada langkah kakinya. Satu, dua, satu, dua. Gue baik-baik saja, katanya dalam hati.

Apakah gue akan baik-baik saja?

Pertemuannya dengan Lingga di kelas kursus memasak menjadi hal yang sangat disesali Oddy. Ia mengerahkan segala usaha untuk memasang ekspresi wajahnya yang biasa di kelas tadi, bahkan ia masih bisa tertawa sedikit saat menelepon Hana dan ketika berbicara dengan Kawa. Namun hatinya punya batas toleransi untuk berpura-pura kuat, dan ia tahu seperti bom waktu, tangisnya bisa meledak kapan saja.

Saat Kawa mengatakan mereka akan ke Central Park, ia langsung setuju. Kemana saja boleh, asal tidak ada Lingga di sana. Perasaannya sungguh campur aduk. Antara sedih, kesal, marah, kecewa, dan yang paling sakit adalah... rasa patah hati yang sudah lama tenggelam muncul kembali ke permukaan, luka menganga dan berdarah seperti baru kemarin Lingga meninggalkannya. Ia sudah tidak tahan lagi. Tanpa sadar ia bersandar pada pohon terdekat dan air mata berkejaran keluar dari kedua matanya. Entah mengapa, kata-kata yang keluar dari mulutnya selain isakan adalah, pengakuannya pada Kawa bahwa ia masih menyukai Lingga.

***

Duduk di bangku taman, Kawa menatap Oddy tanpa berkedip, takut tiba-tiba Oddy menangis lagi. Masih sambil mengusap matanya dengan lengan sweater Kawa, Oddy tersenyum kecil lalu berkata, "I'm okay."

Kawa menggeleng, "Sometimes, it's okay not to be okay."

Keduanya terdiam memandangi langit malam. Kawa mengusap pelan tangan kiri Oddy agar ia tenang. Oddy sempat mengerjap kaget, namun tidak menarik tangannya.

"Saya juga pernah patah hati," Kawa memecah keheningan setelah seabad rasanya mereka terdiam.

"Pacar lo selingkuh?"

"Bukan. Kami sudah 7 tahun berpacaran dan di hari dimana saya akan melamarnya, orang tuanya baru bilang kalau mereka tidak setuju anaknya menikah dengan saya."

"Mengapa?"

"Karena mereka punya calon laki-laki lain yang menurut mereka lebih baik dan lebih cocok untuk pacar--mantan saya itu."

"Mantan lo gak protes?"

"Tentu saja ia marah dan kecewa setengah mati. Harusnya sejak awal orang tuanya bilang kalau tidak setuju, 7 tahun bukan waktu yang singkat. Tapi tetap saja, mereka orang tuanya dan saya sangat mengerti kalau ia memilih untuk menurut."

"Rasanya mungkin tidak sesakit kamu, karena saya tahu dia masih sangat mencintai saya waktu itu," Kawa melanjutkan.

Oddy menggeleng. "Patah hati semuanya sakit. Lo sudah begitu dekat dengan bayangan untuk menjalani sisa hidup sama mantan lo itu."

"Saya dengar dia juga tinggal di NY sekarang, bersama suami dan anak perempuannya."

"Lo masih sering kontakan sama dia?"

"Tidak, bahkan di sosial media juga tidak. Tapi karena kami satu SMA, teman-temannya juga teman-teman saya."

Oddy mendengus kecil. "Kadang-kadang info yang tidak ingin kita dengar entah kenapa malah sampai dengan mudahnya di telinga kita, ya?"

Kawa tersenyum. "Saya sudah ikhlas, jadi berita itu tidak terlalu mengganggu."

Oddy mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Gimana caranya?"

"Ini klise, tapi benar adanya. Time heals."

Oddy makin skeptis kemudian tertawa kecil. "Semua orang juga bisa bilang begitu, tapi waktu yang berlalu di hidup gue tidak menyembuhkan apapun di antara gue dan Lingga. Dia sembuh, gue tidak."

"Kamu belum," kata Kawa sambil menepuk tangan Oddy sedikit lebih keras. Oddy merasakan aliran semangat dari Kawa, dan tiba-tiba saja ia merasa konyol sudah menangis sedemikian rupa. Tapi satu pertanyaan mengganggunya sejak tadi.

"Lo belom pernah ketemu mantan lo lagi kan sejak kalian putus?"

Kawa terdiam, tiba-tiba teringat anak kecil yang menabraknya di museum. Wajahnya luar biasa... familiar.

Kawa menggeleng, lalu mengangkat bahu. "Belum. Kalau bertemu, saya pasti akan jadi yang pertama untuk menyapa."

Kembali memasang wajah sangsi, Oddy merasa Kawa terlalu optimis. Kawa belum pernah merasakan apa yang ia rasakan, mungkin ia tidak akan mengatakan semudah itu untuk menyapa mantannya dan bersikap biasa saja. Oddy kembali menatap langit, berusaha mengusir setiap bayang Lingga dalam benaknya.

Kawa menoleh ke arah Oddy, entah kenapa ia merasakan dorongan untuk melakukan apa saja agar bisa menghiburnya. Apakah ia boleh merangkulnya? Mereka baru kenal beberapa hari, pasti Oddy akan menganggapnya tidak sopan. Namun ia tidak tahan melihat mata sedih itu. Kawa merasa mulutnya bergerak sendiri di luar kendalinya ketika ia berkata,
"Kalau mau, kamu boleh bersandar lagi, di sini." Kawa menepuk pundaknya.

Oddy menatapnya bingung. Kawa mendekat dan merangkul bahunya, mendorong sedikit kepala Oddy agar bersandar di pundak Kawa. Merasa nyaman dan aman, Oddy tidak melawan, ia memang butuh bersandar sejenak.

***

"DARI MANA LO KAK? JAM BERAPA INI?" Wajah Tora sungguh terlihat khawatir. Oddy melirik jam tangannya sekilas, sudah lewat tengah malam. Tora tidak menunggunya menjawab pertanyaan dan langsung memberondongnya lagi. "Kenapa handphone lo mati Kak? Handphone Kawa juga gak bisa dihubungin! Gue hampir mau telepon polisi!"
Oddy mengangkat alisnya, ia tidak ingat ternyata adiknya bisa bersikap over protective seperti ini.

"Gue bukan anak kecil, Tora."

"Tapi tetap saja kita di New York! Beda sama di Jakarta."

"Ya tapi ini gue sudah pulang."

"Gue ga akan titipin lo sama Kawa lagi kalau begini caranya."

"Kenapa jadi salah Ka..."

"Tunggu-tunggu, itu mata lo kenapa sembab begitu? Siapa yang bikin nangis?" Tora memegang kedua pipi kakaknya dan menatap seksama mata Oddy yang sedikit bengkak. "Kurang ajar si Kawa, pengen gue labr..."

"Gue ketemu Lingga," Oddy mengaku sebelum Tora semakin marah.

"Hah?! Di mana? Kok bisa?"

"Ternyata dia kursus masak juga, di tempat kursus gue itu."

"Wah..." Tora kehilangan kata-kata. Ia lantas memeluk kakaknya dengan erat.

"Gak apa-apa kak, gue disini," Tora menepuk-nepuk punggung kakaknya berusaha menenangkan. Oddy mau tidak mau jadi tertawa.

"Telat lo. Gue gapapa. Udah ah gerah gue mau mandi." Oddy melepas pelukan Tora dan berjalan menuju kamarnya.

Tora terdiam sejenak, otaknya memproses sesuatu. Ada jejak bau parfum maskulin di baju Oddy tadi, yang ia hafal betul bukan wangi parfum Oddy.

"Kak lo abis ngapain sama Kawa?! Heh Kaaaak!"
Oddy sudah menghilang di balik pintu kamarnya, meninggalkan Tora dengan sejuta pertanyaan.

***

Tebak-tebak buah manggis. Oddy sama Kawa ada ngapa-ngapain lagi gak setelah Oddy nyender di pundak Kawa?

Three Course Love - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang