"Ceritanya panjang Jis, rumit pula"kata Taeyong disertai helaan nafas.
Mereka sedang duduk di kursi panjang balkon yang menghadap langsung pada lampu-lampu jalanan.
"Pelan-pelan aja.."
Jisoo menyandarkan kepalanya diatas bahu Taeyong. Matanya terpejam merasakan kenyamanan yang luar biasa. Jisoo juga merasa sangat lega bisa berbaikan lagi dengan Taeyong setelah yang sudah-sudah.
"Mama sama papa sering ribut Jis. Suatu hari mama tiba-tiba ninggalin rumah dan minta cerai. Papa sedih, tapi berusaha terima kenyataan kalau emang cerai bikin mama bahagia"rangkai Taeyong setelah membuang nafas berat."Mama emang berubah sejak Minguk nggak ada. Mama depresi, nggak bisa terima kenyataan Jis.."
"Aku paham gimana perasaan mama kamu Yong. Aku aja yang nggak ada ikatan darah sama Minguk ngerasa kehilangan banget dan... nggak cukup nyalahin diri sendiri karena nggak bisa nolongin Minguk, apalagi mama kamu"
Taeyong menurunkan pandangannya, menangkap aura sedih yang menguar dalam diri Jisoo detik dan menit ini.
"Jis, sebenernya mama.. benci sama kamu. Dalam artian.. nyalahin kamu atas meninggalnya Minguk"
Jisoo terdiam sesaat, kemudian mengangguk kecil.
"Aku ngerti. Mama kamu pasti nyesel, kenapa harus aku orang yang terjebak kebakaran sama Minguk? Aku yang lemah, payah, nggak bisa diandelin"ujar Jisoo dengan air mata yang tanpa terasa meluncur membasahi pipi."Aku itu... pembawa sial"
"Jisoo.."tegur Taeyong dengan tatapan dingin. Bukan ini tujuannya bercerita, bukan untuk membuat Jisoo mengolok-olok dirinya sendiri."Masalah Minguk nggak perlu diungkit-ungkit lagi"
"Maaf.."Jisoo mengucap satu kata yang mewakili segalanya."Kejadian di kafe waktu itu..."
"Itu settingan mama"potong Taeyong.
"Kamu bisa jelasin semuanya Yong, nggak ada yang perlu ditutup-tutupin"
"Sorry Jis.."Taeyong tiba-tiba menundukkan kepalanya ke lantai balkon."Nggak ada ceritanya anak nggak sayang sama orangtua. Aku nggak bisa diem aja nyaksiin mereka ribut terus dan nyakitin satu sama lain. Sebisa mungkin, aku berusaha bikin mama sadar dan perlahan-lahan balik ke sosoknya yang dulu. Apapun yang mama minta pasti aku turutin, termasuk.... jadiin kamu objek pelampiasan"
Jisoo terkejut mendengarnya.
"Maksud kamu?"
"Dua tahun yang lalu.. aku berniat batalin pertunangan kita karena hubungan aku sama Irene dan karena ngerasa aku nggak bakalan bisa balik ke kota ini lagi.."
Tak bisa dipungkiri, Jisoo merasa kecewa.
"Bahkan, aku udah ngomong sama ayah bunda. Walaupun cuma lewat telepon"
Lantas, kenapa ayah dan bunda Jisoo tidak pernah menyampaikan hal itu pada putrinya?
"Terus, kenapa berubah pikiran?"
"Bukan berubah pikiran. Mama yang maksa supaya pertunangan kita tetap jalan"
"Katanya mama kamu benci sama aku?"Jisoo mulai kebingungan.
"Iya, mama kekeuh pertahanin pertunangan kita karena pengen bales dendam. Mama pengen aku bikin kamu jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, setelah itu di campakkin. Dia pengen kamu ngerasain rasanya ditinggalin orang yang kamu sayang. Kalau kamu hancur, orangtua kamu pasti ikut hancur ; begitu kata mama. Dan bodohnya aku setuju"
Tampak selintas penyesalan dalam sorot mata Taeyong.
"Yang kamu denger di kafe waktu itu.. itu janji yang aku buat sama mama. Seolah tau kamu bakal datang kesana, mama minta aku buat ikrarin janji itu lagi. Aku terpaksa nurutin kemauan mama karena dia ngancem bakal bales dendam sendiri. Buat aku, lebih baik aku yang nyakitin kamu daripada mama"
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless (Taesoo Ver.)
Fanfiction[COMPLETED] ✔ "Your lips are my cure" [Taeyong-Jisoo] @aprlmhrayone 201801--201906