Sakit

887 28 3
                                    

Flashback on

"Bagaimanapun akhirnya.." terjeda sebentar, matanya menyorot layu "pasti menyakitkan"

Mata itu, sudah tidak ada kehidupan. Sangat redup bahkan dia sendiri tidak lagi mengenal dirinya. Dunia tlah mengubahnya, membuatnya tidak percaya lagi keajaiban atau tidak percaya takdir? Karakternya sekarang benar-benar berbeda. Bahkan aku tak lagi mengenalnya, asing.

"Lo gak boleh kayak gitu"tanpa sadar suaraku meninggi, Risa menatap pasrah, tidak ada kehidupan dimatanya. Sungguh ini membuatnya terlihat menyedihkan.

"Hati aku...sakit. sakit banget, tapi mau kayak gimana lagi?" Bulir air mata menetes, setelahnya ia hapus dengan punggung tangannya.

Vina menghampiri lalu mengusap punggung belakang gadis itu, hatinya juga ikut sedih melihat sahabatnya seperti ini.

"Setidaknya masih ada keluarga yang menemani lo, kakak lo dan gw" Vina tersenyum manis lebih tepatnya senyum pedih, mengingat bahwa Risa hampir membunuh diri sendiri karna putus asa, dia selalu berfikir bahwa tuhan menghukumnya, tuhan tidak mendengar keluh kesah gadis ini. Sehingga dia melakukan self-injury sekalipun hingga ia merasa puas.

"Kenapa?"

Vina mengerutkan kening dalam, menatap Risa tanda tanya.

"Apanya?"

"Kenapa kamu masih mau sama aku, bahkan mereka saja meninggalkanku" kali ini kepalanya tertunduk dalam. Tangannya mengepal erat. Vina mengedip beberapa kali mencoba menahan kata yang tercekat ditenggorokannya. Matanya kini beralih pada wajah gadis pucat itu.

"Kok..lo bilang kayak gitu?" Vina mengatakan dengan pelan, nadanya begitu menyakitkan.

"Mereka semua meninggalkanku, kenapa kamu mau sama aku. Jangan disini Vina, aku gak pantes untuk kamu"

Tangan Risa memegang lengan Vina, tapi dientak kasar oleh sang pemilik, Risa membulatkan mata, kaget.

"Gw ada buat lo, bukan kayak mereka. Lo berfikir gw akan ninggalin lo? Sahabat macam apa yang kayak begitu?!" Kini nada suaranya bergetar, matanya menatap marah tidak percaya. "Sekali lagi lo bilang kayak begini, gw bakalan marah beneran sama lo, ngerti?"

Risa mengalihkan pandangan "kalo lo kayak gini terus, gw yang sedih loh Ris. Lo mau liat gw sedih? Enggak kan?"

Vina.

Vina yang selalu ada disaat dia terpuruk sekali pun, mana mungkin ia tega membuatnya sedih.

Risa terseyum samar "aku gak akan pernah bikin kamu nangis, aku bakal senyum. Oke?"

Senyuman lebar tercetak begitu lebar di wajah Vina, senang rasanya, setidaknya jangan menunjukan wajah sedih lagi.

Flashback off

"Maksud lo, dia. Siapa?"

Mentari menatap Lia ragu, menautkan jarinya. "Gak mau jujur?" Tanya Lia sekali lagi. "Bu..bukan, bukan kayak gitu maksudnya" jawab Mentari gugup.

"Ya terus? Kenapa gak jawab?" Lagi-lagi Mentari memalingkan wajahnya, membuat Lia menjadi geram sendiri, percuma ditanya pas lagi kena musibah. Seratus persen gak akan dijawab.

Lia menghela napas lelah, meletakan kembali kotak obat-obatan ketempat semula, namun sebelum itu tangannya dicengkram oleh Mentari. Matanya menatap memohon agar tidak pergi meninggalkannya, sebelah alis Lia terangkat. Bermaksud menanyakan 'kenapa?' Mulutnya terbuka ingin menjawab.

Mulutnya terkatup rapat, lagi.

"Gw bisa ada disitu juga gak sadar" Mentari mulai bercerita dan Lia hanya mendengar.

"Gw..diikutin seseorang, saat itu gw masih ada di sekolah jam 5 sore, karna gw ngurusin beberapa tugas dan kerjaan osis. Orang itu merhatiin gw saat gw mau ambil tas di kelas, gw coba sekali lagi liat tapi orang itu langsung menghilang" Mentari berhenti sebentar mengambil napas. Kemudian melanjutkan. "Gw keluar kelas buru-buru karna gw takut diperhatiin kayak begitu, tapi tiba-tiba ada anak murid atau mungkin adik kelas kita nyamperin gw... dia bilang, gw harus ambil beberapa barang digudang olahraga sama pak..pak siapa ya?" Mentari malah bertanya, Lebih tepatnya pada diri sendiri.

Lia hanya menatap datar, kemudian menyuruh Mentari untuk melanjutkan saja ceritanya.

"O-oke setelah itu, gw curiga sebentar. Ta..tapi anak itu malah kayak ngedesak gw, jadinya..." perkataan nya berhenti saat Lia tiba-tiba memotong cerita gadis itu. "trus lo turutin gitu maunya dia?!" Mentari menghela napas sabar, matanya kemudian menatap Lia sebentar, melanjutkan. "Gw belum selesai cerita, Li. Gw pengin ngomong. Jadi gw langsung tolak dengan halus, adik kelas itu ga maksa lagi. Tapi justru aneh pas saat gw jalan menuju pulang kerumah, gw merasa..ada orang yang ngikutin gw. Pas gw nengok kebelakang, dia gak ada. Pas gw mau jalan lagi. Gw liat ada di belokan gang deket tiang, ada orang pake baju serba hitam pake masker juga. Jadi gw.." Mentari tampak mengingat lagi detailnya. "...langsung mundur perlahan lalu gw belok lewat jalan lain, tapi dia malah kejar gw, gw syok dan terus lari. Tapi dia berhasil pukul kepala gw dengan keras. Saat itu gelap dan gw gak inget apa-apa lagi" Mentari semakin menunduk takut, kejadian tadi menakutkan untuknya.

Lia tampak memperhatikan cerita Mentari dengan seksama, kalo dia dipukul sampai pingsan, trus tiba-tiba dibawa ke gudang dan di siksa, pasti saat lagi disiksa seharusnya dia sadar. Lia menatap penuh dengan tanda tanya. "Saat lo lagi disiksa, apa lo ga sadar? Apa lo gak inget kejadian dia nyiksa lo?" Lia menayakan bagai reporter berita. Mentari, nampak mengingat kejadian itu lagi.

"Ah..iya, gw."







Misteri kematian RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang