VII

1.4K 157 7
                                    

*ANDREW's Point of View*

"Halo?"

"Sudah dapat informasinya?"

"Informasi apa Lan?"

"Gamar."

"Ehm, belum. Masih banyak yang harus discan, sabar ya."

"Sebanyak apa?"

"Banyak intinya."

"Kalau kamu gak sanggup, gak usah dipaksa."

"Aku sanggup. Kamu tunggu aja, semua perlu waktu Lan. Aku juga harus belajar karena seminggu lagi tes masuk univ, fokusku bukan cuma nyari itu doang."

"Kalau kamu gak sanggup, gak usah dipaksa."

"Aku sanggup Lan. Tapi aku perlu waktu. Setidaknya sehabis aku selesai tes."

"Oke."

Sambungan telepon terputus. Ini sudah ketiga kalinya Dylan menelponku dalam 4 hari, isi pembicaraannya sama. Dia menanyakan tentang informasi Gamar, dan aku terus-terusan berusaha menyembunyikannya. Ya, aku sudah menemukan apa yang dia cari.

Gamar tidak mengganti nomor teleponnya, dan terakhir kali dia menghubungi Dylan adalah sekitar 1 tahun yang lalu. Dia menanyakan apakah Dylan akan pulang ke Bandung karena dia sedang liburan semester. Entah dimana dia berkuliah sekarang, sepertinya tidak di kota bandung.

Aku masih ragu untuk memberikan informasi ini ke Dylan. Aku belum siap untuk kehilangan dia lagi. Bagaimana pun juga Gamar menjadi salah satu penyebab Dylan menderita seperti sekarang. Selain itu berdasarkan banyaknya pesan yang ku baca di kotak pesan Dylan, Gamar memang benar-benar tidak pantas untuknya. Dia hanya akan membuat Dylan mengejarnya setengah mati lalu kembali meninggalkannya seperti dulu.

**75 hari kemudian

"Nih." Rezka meletakkan sebuah gelas yang terisi oleh air kelapa muda berwarna merah muda.

"Makasih, makasih." ku minum es kelapa tersebut, seketika ku rasakan surga dunia.

"Panas banget ya, tumben." kata Rezka sambil menguncir rambutnya.

"Iya. Kamu antrian nomor berapa Rez?" antrian yang ku maksud di sini adalah antrian untuk mendaftar ulang perguruan tinggi. Ya, aku dan Rezka diterima di universitas yang sama. Aku di fakultas ilmu komunikasi, dan Rezka di fakultas psikologi bersama dengan Kak Sadrie.

207, Rezka menunjukkan kartunya padaku. "Kalau Dylan ada di sini juga seru kali ya." kataku tiba-tiba.

"Dylan mah lebih tertarik ke bidang insinyur sekaligus saintis, Drew." jawab Rezka.

"Iya ya, pintar banget sih manusia itu."

"Kayanya ITB emang pantas buat Dylan sih. Makin banyak yang suka pasti dia." jawab Rezka seadanya sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

"ITB?" tanyaku heran.

"Iya. Dia keterima di sana, kamu gak tau?"

Aku menggeleng. Dia tidak pernah menghubungiku lagi sejak aku sedikit membentaknya di telepon waktu itu. Apakah dia marah hingga kabar sebesar itu tidak diberitahukannya padaku?

"Heh?! Malah melamun sih, jam istirahat udah selesai nih. Ngantri lagi yuk, sebelum penuh." Rezka menarik tanganku, membawaku kembali ke alam sadar.

**Di hari yang sama

*DYLANA's Point of View*

Sama seperti hari pertamaku di sekolah menengah pertama, aku mengganti warna rambutku menjadi hitam agar tidak terlalu menarik perhatian. Sebuah keputusan besar untuk memilih melanjutkan pendidikanku di kota ini lagi. Semuanya mengingatkanku pada masa-masa SMP. Ada banyak orang kebingungan, melihat ke sana ke mari, bertanya ini itu dan akan ada beberapa orang yang lebih senior mengarahkan. Bedanya kali ini tidak ada seragam untuk kami, dan mereka para senior mengenakan semacam seragam dengan warna yang berbeda-beda.

Kami semua yang terlihat kebingungan ini disatukan oleh warna map yang sama, setiap fakultas memiliki warna yang berbeda. Kami dihimpun untuk memasuki suatu komplek, lalu dipersilakan untuk duduk tanpa alas di atas lantai lapangan yang mungkin saja mengandung lebih banyak bakteri dibanding suatu menu restoran.

Di hadapan kami sebuah panggung telah didirikan lalu seorang pria dengan tinggi tubuh standar, kulit cokelat tua, rambut teroles terlalu banyak minyak rambut, dan tali sepatu yang tidak simetris, menaiki panggung sambil memegang sebuah pengeras suara. Dia berbicara panjang lebar, kurang menarik, lalu aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Hampir semua bangunan yang ada di sekeliling berlantai 3, bentuk atapnya meruncing di kedua ujungnya, di setiap sisinya terdapat tulisan yang terbuat dari logam menunjukkan nama gedung tersebut. Di sekelilingku terdapat sekitar 100 orang mahasiswa baru, mereka semua fokus mendengarkan pria di atas panggung. Di sampingku duduk seorang pria berbadan gempal, kulitnya memiliki pro-pori yang lebih lebar dibanding manusia rata-rata membuat banyak keringat yang keluar, kulit telapak tangannya mengalami penebalan di beberapa titik, kukunya berwarna lebih gelap dengan kotoran hitam di sela-selanya, garis-garis kerutan di sekitar telapak tangannya lebih jelas.

"Anda bekerja di bengkel?" tanyaku langsung.

Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum lebar, "Iya, kok tau? Pernah datang ke bengkel saya, ya?"

Aku menggeleng. "Aku hanya menebak."

"Nama kamu saha? Urang bandung?" kali ini dia berbisik.

"Dylan. Bukan." jawabku sambil kembali mengedarkan pandanganku ke sekeliling.

"Sarombong euy. Aheng. Kamu kenapa duduknya gitu? Duduk mah biasa aja, kakinya jangan ditekuk gitu. Gitu mah bukan duduk namanya, tapi jongkok pantatnya doang yang nyentuh tanah." aku mengerti yang ia katakan, ia berpikir bahwa aku sombong dan aneh.

"Kenapa ada banyak orang-orang berseragam yang melihat ke arah saya di saat saya tidak memperhatikan?" tanya ku.

"Kapedean euy, hahaha. Eh aing kasih tau ya, mana ada yang ngeliatin kamu."

Aku diam saja. Tapi sungguh mereka terus-terusan memperhatikanku, bahkan berbisik di depanku. Tidak hanya mereka yang berseragam, mereka yang kebingungan juga sama.

"Heh! Heh! Itu kamu dipanggil." dia, pria di sampingku, menyenggol-nyenggol lenganku. Ketika aku menoleh ke arahnya dia menunjuk ke arah panggung. Tanpa ku sadari semua orang kini memperhatikanku, lalu pria di atas panggung memberikan isyarat dengan tangannya memberitahuku untuk berdiri.

Aku mengikuti perintahnya, lalu terdengar beberapa bisikan dan tawa dari beberapa titik. "Kamu dari tadi saya perhatikan gak fokus ke jalannya acara. Coba sekarang perkenalkan diri dan informasi singkat tentang dirimu." katanya lalu seorang berseragam menjulurkan mikrofon ke arahku, menunggu ku untuk mengambilnya tapi tidak ingin ku lakukan. Aku mencondongkan tubuhku sedikit ke arah mikrofon yang dipegangnya lalu berbicara "Nama saya Dylan. Saya memiliki suatu kondisi yang biasa dikenal dengan autisme, di tingkat mild, itu artinya saya masih bisa mendengar dan memahami apa yang ada di sekitar saya namun saya tidak bisa menanggapinya dengan baik, jadi tolong berhenti memperhatikan dan berbisik-bisik tentang saya karena itu membuat saya risih. Saya juga mengalami savant syndrome." aku langsung kembali duduk di tempat ku semula, karena ku pikir aku telah melakukan apa yang diminta.

"Dylan, selamat bergabung dengan kami. Dan sepertinya kamu punya banyak penggemar." katanya yang membuatku semakin risih. Mungkin melanjutkan pendidikan di Indonesia bukan pilihan yang tepat. 

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang