XII

1.3K 142 21
                                    


*AUTHOR's Point of View*

Hari Minggu adalah hari kesukaan Sadrie karena dia akan menemukan Dylan sedang menonton tv sambil memakan sereal kesukaannya di jam 5 pagi. Dylan selalu melakukannya sejak dia masih berumur 4 tahun, dan Sadrie akan bangun tepat pada pukul 5.34 pagi untuk menemani adiknya menonton deretan kartun hingga pukul 10 pagi. Hari ini, hari Minggu.

Sadrie mematikan alarmnya yang meraung-meraung sejak 5 menit yang lalu, di celah bawah pintu dia dapat melihat cahaya-cahaya yang berubah-ubah warna berasal dari televisi. Dia melakukan sedikit perenggangan di atas tempat tidur, menggulung rambut pirang panjangnya dan meminum air putih yang tersedia di atas meja sebelah tempat tidurnya. Saat keluar dari kamar, dia dapat melihat Dylan berusaha mengisi ulang mangkoknya dengan sereal, di tv sedang iklan. Dia duduk bersila di samping Dylan lalu membantunya menuang sereal.

Dylan mengecup pipi Sadrie dan memeluknya, "Thank you for being so gentle." Kata Dylan.

"You're welcome." Sadrie meletakkan kotak sereal sambil tersenyum melihat Dylan kembali memakan sarapannya dengan lahap, dibelainya kepala Dylan dan mengecupnya. "Thank you for being so sweet and nice." Lanjut Sadrie namun tidak mendapat respon dari Dylan yang sudah kembali fokus ke kartunnya. "You are welcome." Jawab Dylan ketika tayangan iklan datang lagi.

"Majalah Dylan udah datang, sayang?" tanya Sadrie.

"Hari ini. Both, Natgeo dan Bobo."

"Good. Hari ini Dylan mau kemana? Ada acara atau mau kerja kelompok?"

"Gak ada. Di rumah sama kakak, sama Mocko, gak boleh?" Sadrie terdiam mendengar pertanyaan Dylan, sedikit menahan tawa. Sepertinya Dylan mulai menyadari bahwa dr. Rita dan dirinya memancing Dylan untuk lebih berinteraksi dengan kawan-kawan di kampusnya akhir-akhir ini.

"Boleh dong. Kenapa tanyanya gitu?"

Dylan tidak menjawab, dia memalingkan wajahnya kembali ke televisi tanda bahwa dia tidak ingin menjawab pertanyaan kakaknya.

"Dylan ada komunikasi sama Rezka, gak?" tanya Sadrie lagi. Dylan mengangkat bahunya.

"Rezka gak turun kuliah udah hampir seminggu, nih." Kata Sadrie yang menunggu respon Dylan. Merasakan dan menunjukkan empati adalah salah satu hal yang sulit dipahami oleh Dylan.

"Kata teman-temannya sih, sakit." Sambung Sadrie, masih menunggu respon Dylan.

"Dia harus pergi ke dokter." Jawab Dylan masih menonton deretan iklan dan memakan serealnya.

"Iya, betul. Kira-kira dia udah ke dokter belum ya? Gimana ya keadaannya?" pancing Sadrie.

Melihat tidak ada respon dari Dylan, Sadrie kembali melemparkan pancingannya. "Kalau ada teman baik yang menjenguk pasti Rezka senang dan makin cepat sembuhnya, deh."

Dylan kali ini berfokus pada mangkok serealnya, tidak terlihat seperti termakan umpan kakaknya. "Ka-" Sadrie memutus kata-katanya ketika melihat Dylan meletakkan sendoknya lalu mengangkat kepalanya. "Kakak mau Dylan menjenguk Rezka?" tanyanya.

Mendengar itu, Sadrie tersenyum lebar seakan Dylan memiliki empati layaknya manusia normal. "Ya ... Ya. That would be really nice. Do you think you should do that, or ..." pancing Sadrie lagi.

"I think I should. And I would." jawab Dylan lalu memalingkan wajahnya kembali ke televisi karena kartunnya kembali tayang. Sadrie, kegirangan di dalam hatinya.

******

"Mang, Rezka gak suka cokelat yang ini." Komen Dylan setelah menerima cokelat yang baru saja dibelikan Mang Kusnan di perjalanan mereka ingin menjenguk Rezka.

"Salah lagi ya non? Yaudah Mamang balik lagi deh."

"Gak usah. Beli baru aja." Mendengar perkataan Dylan, Mang Kusnan langsung kembali membelikan cokelat yang baru. Sudah 3 kali dia bolak-balik membeli cokelat, untunglah Dylan tersenyum di percobaan keempat yang menandakan cokelat yang dibeli Mang Kusnan kali ini sudah benar.

"Mang kita lewat rumah Adiba, boleh?" Ucap Dylan tiba-tiba saat mobil mulai dinyalakan.

"Boleh dong non. Emangnya non Adiba ada di Indonesia?" tanya Mang Kusnan yang sedikit banyaknya tahu tentang Adiba.

"Mungkin." Jawab Dylan singkat, lalu tidak ada pertanyaan lanjut dari Mang Kusnan.

Mobil berjalan lambat ketika melewati rumah nenek Adiba, memberi Dylan kesempatan untuk mengamati sekeliling berharap mungkin dia akan menemukan sosok Adiba. Namun pintu rumahnya tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda berpenghuni.

"Non?" panggil Mang Kusnan menginginkan kepastian apakah mereka akan tetap di sana atau melanjutkan perjalanan. Dylan mengangguk menandakan setuju untuk melanjutkan perjalanan. Napasnya dihela panjang.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di depan rumah Rezka yang nampaknya sedang kedatangan tamu. Ada 2 mobil yang parkir di depan halamannya, dan bayangan beberapa orang sedang bercakap di ruang tamunya. Dylan keluar dari mobilnya lalu menuju pintu belakang rumah Rezka, dari sana dia melewati dapur dan ruang keluarga. Tidak ada orang, hingga dia melanjutkan langkahnya ke arah ruang tengah. Ruang tengah yang hanya dibatasi oleh rak buku dari ruang tamu membuat Dylan bisa mendengar perkataan semua orang yang ada di ruang tamu. Dia mengurungkan niatnya untuk menaiki tangga yang menuju ke kamar Rezka setelah mendengar suara yang berasal dari ruang tamu.

"Neng Dylan?" sapa Tati, pembantu rumah tangga di rumah Rezka.

"Ya ampun, lama banget gak keliatan neng. Makin cantik aja. Ke sini mau datang ke acara neng Rezka ya?" lanjut Tati yang membuat Dylan mengerutkan dahinya.

"Acara?" tanya Dylan.

"Iya, hari ini kan neng Rezka tunangan."

Dylan terdiam. Ada sesuatu yang menyebabkan dadanya sesak, gelang pemberian kakaknya mulai berubah warna menjadi biru yang artinya ada peningkatan aktifitas jantung. Dylan menaruh cokelat yang dibawanya di atas meja lalu berjalan keluar secepat yang dia bisa tanpa menimbulkan kepanikan.

Secepat kilat dia memasuki mobil, membuat Mang Kusnan terkejut. "Rumah. Cepat!" Kata Dylan kemudian meminum air mineral dan mengatur napasnya agar alarm yang disebabkan gelangnya tidak menyala.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang