X

1.3K 145 12
                                    

*ANDREW's Point of View*

Seperti biasa aku dan Rezka bertemu di kantin untuk makan siang bersama, memang tidak setiap hari karena jadwal kami yang berbeda tetapi cara ini sedikit banyaknya berhasil mendekatkan kami kembali. Belum setengah semester berkuliah, Rezka sudah terlihat seperti seorang psikolog atau cenayang lebih tepatnya. Terkadang dia duduk di depan ku, memperhatikan setiap gerak tubuh dan ekspresiku. Mencoba mencari suatu anomali dalam kesehatan mental ku. Kadang aku takut juga bila dia mendapati ku dengan ketakutan dan kekhawatiran ku akhir-akhir ini kepada Dylan.

"Kamu kemarin sama Dylan?" tanyanya.

"Iya. Tau dari mana?"

"Dylan ngomong. Dari mana? Kok dia sampai gak bilang ke aku gitu?"

Keningku berkerut, "Sejak kapan Dylan harus laporan ke kamu?"

Dia terdiam, alisnya sedikit terangkat lalu kembali mengunyah kentang gorengnya seakan dia tidak mendengar pertanyaanku.

Selang beberapa detik kemudian, Rico datang. Dia melemparkan senyum akrab kepadaku lalu duduk di samping Rezka. "Hai, sudah selesai kelas?" tanyanya ke Rezka.

"Udah dari 15 menit an yang lalu. Kamu ngapain ke sini? Mau makan siang?"

"Enggak, mau ketemu sama kamu aja." Rico tersenyum manis ke arah Rezka dan memegang tangannya yang ada di atas meja. Aku terdiam melihat cincin yang mereka gunakan. Detak jantungku sedikit lebih laju.

"Bagus cincinnya." Kata ku.

Seketika ekspresi mereka berubah, saling berpandangan sampai Rezka mengangguk ke Rico. "Maaf sebelumnya Dre kita belum sempat ngasih tau, kita cari waktu yang tepat sebenarnya." Jelas Rico.

"Oh ya? Kapan?"

"Kita udah tunangan seminggu yang lalu." Sambungnya.

Aku meneguk air liurku, kaget. "Secepat ini?" tanyaku.

"Hahaha, kalau bisa cepat kenapa ditunda ya kan?" Balasnya ringan namun aku diam saja sambil menatap Rezka menuntut penjelasan. Mendapat tanggapan kosong seperti itu, Rico sadar diri untuk pamit. "Kelasku bentar lagi mulai, aku pergi dulu ya." Dia mengecup kening Rezka dan menepuk bahuku.

Setelah dia pergi, aku makin menatap Rezka. "Tunggu waktu? Seminggu yang lalu?"

"Gini Drew, kita sengaja nunggu momen yang pas untuk ngumumin ini. Kamu santai lah."

"Kapan?"

"sekitar semingguan lagi kita umumin ke teman-teman dan keluarga."

"Dylan termasuk?" Dia diam tidak menjawab. Hatiku sakit saat menanyakan hal itu, aku tahu ini akan menyakiti Dylan sekali lagi.

Teleponku berdering, sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Tidak hanya 1, ada 3 pesan berturut-turut yang membuatku terpaksa membuka handphone.

"Halo nak Andrew? Bagaimana kabarnya? Masih ingat saya?"

"Iya, benar. Ini mommy nya Dylan. Hari ini tolong bawa Dylan ke rumah saya ya, saya kangen ke dia."

"Keluarga apa kabar? Tadi jam 8.13 saya lihat ibu kamu ke pasar, jam 7.06 bapak kamu ke kantor pakai seragam dinas yang biasa beliau pakai di hari Senin, jam 14.23 adik kamu balik ke rumah kalian padahal jam 12.10 – 14.40 beliau ada bimbel matematika, kan? Salam ya ke keluarga, semoga kalian selalu mendapat perlindungan."

Jantungku berdetak kencang. Dylan tidak berbohong ketika dia berkata bahwa Mrs. McKenzy mengetahui semua tentang ku dan keluargaku. Dia menginginkan Dylan. Dia akan menggunakan ku sebagai alat untuk mempermudahnya menindas dan menyiksa Dylan, sebagai senjatanya dia akan mengancam keselamatan keluargaku. Sial.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang