XXI

1.2K 145 7
                                    

*AUTHOR's Point of View*

Dylan berada di dalam ruang interogasi. Sebuah ruangan berukuran 4m x 6 m, hanya berisi sebuah pendingin ruangan, meja dan 2 buah kursi yang salah satunya diduduki Dylan. Ruangan bernuansa putih polos dengan sebuah kaca besar di sekeliling dindingnya terasa sangat sunyi ketika pintu ditutup dan hanya Dylan seorang diri di dalamnya. Beberapa jam setelah kejadian, air matanya masih terus menetes. Wajahnya merah sekali seperti menahan perasaannya yang meledak-ledak, dia tidak ingin menangis. Ekspresinya datar namun air matanya tidak berhenti mengalir.

Seorang pria berusia 30-an dengan celana jeans dan kaos polo berwarna maroon memasuki ruangan. Dia menaruh sebuah gelas berisi air putih di hadapan Dylan kemudian duduk di depannya. Dylan tidak melakukan apa-apa, dan pria itu mengamatinya untuk beberapa menit. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan sebuah alat perekam suara, dikeluarkannya lalu meletakan alat itu di atas meja.

"Katanya kamu menderita autisme?" tanya pria itu. Dylan mengangguk.

"Bisa kooperatif? Mengerti apa yang saya katakan?" tanyanya lagi. Dylan tahu itu adalah sebuah hinaan baginya, tapi dia kembali mengangguk.

"Dylana Aveen McKenzy, anak bungsu dari 2 bersaudara. Usia 18 tahun. Mengidap sindrom savant, sindrom asperger, dan seorang autis. Pernah mengalami kecelakaan fatal di usia 14 tahun, koma selama 43 hari, kedua orang tua bercerai pada saat yang tersebut masih dalam keadaan koma. 2 tahun setelahnya, sempat direhab selama 6 bulan karena ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang." Pria itu meletakkan berkas yang ia baca di atas meja lalu menatap Dylan.

"Ini pertama kalinya saya bertemu dengan seseorang yang sudah pernah merasakan rehabilitas di usia yang sangat muda. Perceraian orang tua terlihat sangat mempengaruhi kehidupan kamu, ya." Kata pria itu, ingin rasanya Dylan tertawa mendengar pernyataan bodoh manusia di hadapannya. Dylan hanya balik menatapnya dengan wajah datar, kini air matanya tidak lagi mengalir maupun menetes.

"Menurut kesaksian Sadriena Alle McKenzy, itu kakakmu kan?" Dylan mengangguk.

"Sejak perpisahan kedua orang tua kalian, hubungan kalian dengan korban, dimana korban di sini adalah ibu kandung kalian, tidak berjalan baik. Tidak ada lagi komunikasi yang terjalin antara kalian dan korban. Korban dikenal sebagai sosok ibu yang sibuk dengan pekerjaannya dan suka memberikan hukuman kepada anak-anaknya."

"Tapi kamu tau, kami baru saja menemukan fakta lain. Ditemukan banyak pesan yang dikirimkan korban kepada kamu, berupa ajakan untuk datang ke lokasi kejadian dan beberapa ancaman jika kamu tidak mau melakukannya. Beberapa minggu terakhir korban tidak menghubungi kamu, tapi kemarin kamu ada di lokasi kejadian. Bisa jelaskan ada apa?"

"Saya datang karena saya berpikir beliau akan melakukan sesuatu yang buruk kepada orang lain. Saya tidak ingin itu terjadi, saya datang untuk memastikan bahwa beliau tidak akan melakukan apapun." Jelas Dylan. Sebelum ke kantor polisi, Sadrie telah meminta Dylan berjanji untuk mengatakan semua yang ia tahu ke kepolisian dan tidak akan menutupi apapun.

"Hal buruk? Berdasarkan keterangan Rezka Prissilya, korban suka melakukan kekerasan fisik kepada anda namun anda tidak ingin melaporkannya kepada pihak berwajib maupun kepada kakak dan ayah anda. Begitu?" tanyanya sambil terus memperhatikan Dylan. Dylan terdiam selama 1 menit penuh lalu mengangguk.

"Kenapa?"

"Karena beliau ibu saya, beliau yang membawa saya ke dunia ini, beliau yang berhak terhadap saya." Jawab Dylan sambil menatap mata pria itu tajam.

"Ketika anda berkunjung ke lokasi, apa yang biasanya korban lakukan kapada anda?"

"Memukul, menggores, mencakar, mencambuk. Memberi kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya."

"Itu semua juga dilakukan dikunjungan terakhir anda?"

Dylan menggeleng. "Hanya memberi saya kasih sayang."

"Oke. Korban ditemukan dengan hanya dibalut kain tembus pandang. Tertembak di bagian kepala, dan 2 kali di bagian perut. Barang bukti berupa pistol revolver kaliber 38 menunjukkan ada sidik jari anda di sana. Bisa jelaskan?"

Dylan terdiam, air matanya kembali menetes. "Saya datang lalu mengambil pistol itu di dalam lemari yang biasanya digunakan beliau menyimpan berbagai macam alat untuk melakukan apa yang beliau suka. Ketika saya ingin mengisi amunisinya, ternyata amunisinya sudah diisi terlebih dahulu. Membuat saya berpikir ada sesuatu yang direncanakan beliau. Beliau datang secara tiba-tiba, lalu memberikan saya kasih sayang. Beberapa lama kemudian seseorang datang ..." Dylan kembali diam, air matanya menetes lebih banyak. Dia menarik napas panjang.

"Andrew. Andrew Damara. Sahabat saya sejak SMP. Dia datang, lalu saya hampir menembaknya karena emosi. Beliau menenangkan saya, meyakinkan saya bahwa kakak saya tidak akan suka melihat saya menggila seperti itu. Beliau meminta saya untuk menyerahkan pistol tersebut kepada Andrew. Ketika saya berbalik arah ingin menuju ke beliau, Andrew mepaskan tembakan."

"Ada hubungan apa antara korban dan Andrew Damara yang anda sebut barusan?"

Dylan menaikan kedua bahunya, "Beberapa minggu yang lalu saya memergoki mereka melakukan hubungan intim di rumah itu. Lalu saya berlari dan mengalami meltdown."

"Anda tahu apa motif dari pembunuhan yang dilakukan saudara Andrew?"

Dylan menggeleng, "Tidak. Dia meminta maaf kepada saya beberapa detik sebelum melakukan penembakan."

"Untuk apa anda mengambil pistol itu dari dalam lemari?"

"Untuk memastikan bahwa saya tidak akan terbunuh hari itu jika saja beliau sedang mabuk."

"Baik. Terima kasih atas kesaksiannya." Pria itu bangkit dari duduknya lalu menyerahkan tangannya bertujuan untuk menyalami Dylan, namun Dylan langsung berjalan pergi keluar dari ruangan. Nampaknya dia lupa pesan dari dr. Rita bahwa Dylan tidak suka disentuh oleh orang baru.

Dylan dikawal oleh dua orang polisi untuk menuju selnya lagi.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang