Ku buka mataku, langit biru yang tampak sedang damai terpampang di hadapan ku. Beberapa gumpal awan berwarna putih keabu-abuan bergerak ke arah timur laut. Ku rasa, aku sedang berada di sebuah rooftop suatu gedung mungkin gedung sekolah. Suara pintu dibuka dan ditutup dilanjutkan dengan langkah kaki yang terdengar semakin dekat. Seseorang menghampiriku, kemudian ikut berbaring di sampingku. Dia membalik badannya menghadapku, lalu semakin mendekat hingga tidak ada jarak di antara kami. Dia mencium bahuku untuk beberapa detik, jemarinya mulai menyentuh rambut dan pipiku.
"Aku suka ngehabisin waktuku sama kamu." Katanya, aku menoleh untuk melihat wajahnya. Kulitnya yang cokelat terlihat sangat indah di bawah sinar matahari, matanya yang hitam selalu terlihat tersenyum ke arahku. Aku tersenyum ke arahnya, memegang dagunya lalu mengusap-ngusapnya dengan ibu jariku secara lembut. "Adiba Wigarma, how can you love me when I don't even love my self?"
Dia tersenyum sambil mengusap kapalaku, memberikanku kedamaian. "Is it enough? My love?" tanyanya, aku mengangguk.
"You can have someone else. Someone with a good neurological condition. I have savant syndrome and asperger syndrome, makes me an autistic." Jelasku, keningku berkerut.
"You are enough for me, Dylan. And I don't want anyone else." Jawabnya lalu memelukku erat, dia mengarahkan pandangannya ke arah langit kali ini.
"Kamu tahu apa itu sindrom savant, sindrom asperger dan autistik?" Tanyaku. Dia mengangguk, aku diam saja. Beberapa detik kemudian dia mengangkat pandangannya menatap ku, "Mau aku jelasin biar kalau salah kamu bisa koreksi?" tanyanya, aku mengangguk.
"Sindrom savant terjadi kepada seseorang yang juga mengalami sindrom asperger, Dylan contohnya. Itu kenapa Dylan kesulitan untuk ngungkapin apa yang Dylan rasa, Dylan lebih suka semuanya teratur dan terstruktur, makan makanan yang sama hampir setiap hari, ngelewatin jalur yang sama kalau mau pergi ke suatu tempat. Dylan juga suka main lego, suka ngebuat miniatur ekosistem, suka ngeliatin ikan berenang, suka matematika, suka diam sendiri padahal lagi mikir. Dan extremly genius. Gak suka suara berisik, gak suka lampu yang terang banget, gak suka disentuh sama orang baru, gak suka berbicara sama orang yang gak Dylan suka apalagi yang tidak berkepentingan. Itu yang ngebuat Dylan masuk ke dalam kategori autis, karena sindrom savant dan sindrom asperger sudah dimasukan ke dalam Autism Spectrum Disorders atau ASD. Benar?" Dia tersenyum, aku tersenyum sambil mengangguk-ngangguk.
"You are so smart, I love you." Kataku.
Dia tersenyum, namun senyumnya padam seketika. Pandangannya kembali dialihkan. Membuatku merasa aneh. "Are you thinking about Sika, right now?" tanyaku.
Tidak ada jawaban untuk beberapa detik sampai akhirnya dia mengangkat pandangannya lagi menghadapku lalu tersenyum lebar dan mengerikan, "Sadly, yes." Katanya lalu menusuk dadaku menggunakan sebuah pisau. Aku berdarah-darah, namun dia terus menghujam ku tanpa rasa kasihan. "Gak ada yang bakalan punya rasa kasih sayang ke orang dengan spektrum otak seperti kamu!" Dia berteriak kencang tepat di samping telingaku.
Aku tersentak, terbangun dari tidurku. Bajuku basah karena keringat, dadaku terasa perih. Mimpi buruk yang terasa seperti nyata. Ku cek jam di dinding kamarku, pukul 03.45 pagi. Semua tubuhku basah, untuk pertama kalinya tubuhku beraksi seperti ini terhadap mimpi buruk. Aku berdiri kemudian menuju kamar mandi.
Ku lepaskan seluruh pakaianku, membiarkan aliran air membasahi setiap permukaan kulitku. Ada banyak bekas luka, dari Mommy. Beberapa bulan yang lalu, hampir tidak ada bekas luka yang menghiasi tubuhku karena ada Adiba yang selalu mendamaikan ku. Mengingat Adiba membuatku merasakan sesuatu, hangat dan dingin di dalam rongga dadaku. Dia adalah satu-satunya orang lain yang bisa menerima keadaanku, dan dia selalu tahu bagaimana cara untuk menenangkanku. Dia tidak pernah bertanya tentang apa yang ku suka dan apa yang tidak, dia mengetahui segalanya tentang aku dengan sendirinya. Dia pandai dalam hal mengamati. Semuanya terasa baik-baik saja ketika Adiba ada, dia selalu mendengarkan keresahanku lalu menenangkan ku dengan caranya. Rasanya tidak ada hal mengganggu yang tidak ku sampaikan kepadanya.
Entah apa yang dilakukannya sekarang, mungkin dia sedang menghabiskan waktunya bersama dengan Sika.
Entah apakah dia masih memikirkanku atau berusaha lari, seperti yang ku lakukan.
Bagaimana bila selama ini dia memang tidak pernah mencintaiku setulus yang dia perlihatkan kepadaku?
Bagaimana bila selama ini selalu ada Sika yang menghantui pikirannya ketika bersama denganku?
Bagaimana bila selama ini aku tidak pernah memiliki hatinya secara keseluruhan karena selalu ada orang lain di pikirannya?
Biasanya Adiba selalu membantuku ketika hati dan pikiranku tidak sejalan seperti ini, dia selalu berhasil menenangkanku, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, dan aku tidak perlu terlalu mecemaskan hal itu. Tapi kini dia tidak ada, dan dia adalah hal yang menyebabkan ketidaktenanganku ini. Apa yang harus ku lakukan, Adiba? Apa kebenarannya?
Hatiku terasa perih, aku sudah menahannya selama ini akhirnya ku putuskan untuk melepaskan air mataku. Aku menangis, ku keluarkan semua rasa yang mendesak dadaku. Beberapa menit kemudian, aku berhenti. Air mataku rasanya sudah habis. Sedihku berkurang, rongga dadaku terasa longgar.
Ku keringkan tubuhku, ku kenakan piyama baru, lalu aku tidur. Dalam hati ku, aku berharap besok akan menjadi hari yang lebih baik.
![](https://img.wattpad.com/cover/187745639-288-k254732.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CHILIAD
RomanceAnehnya aku bisa mendengar namanya digaungkan oleh jantungku di setiap detakan. Ku pikir itu hal yang normal atau hanya permainan telinga dan otakku saja, tapi mungkin aku salah karena hal itu berulang lagi setelah tahunan. [Cerita Lanjutan dari Ma...