*AUTHOR's Point of View*
*2 minggu yang lalu
Dylan tergeletak di atas sofa membaca yang terletak di perpustakaan rumahnya. Di sekelilingnya dipenuhi selembaran kertas putih yang penuh dengan coretan angka dan sketsa. Akhir-akhir ini dia semakin menggila untuk membaca semua buku yang bersangkutan dengan fakultasnya, membuatnya hanya tidur selama 4 jam per hari. Tidak ada tuntutan karena dia bahkan belum memiliki jurusan, tetapi belajar secara gila-gilaan memang kesukaannya. Mbok yang membawakan sarapan untuk Dylan setiap jam 8 pagi, kini selalu mengantar ke perpustakaan bukan lagi ke kamarnya. Hari ini, sebuah telur mata sapi dan mashed potatoes tersaji di atas nampan. Setiap hari Dylan memakan makanan yang sama tanpa merasa bosan atau protes untuk menu baru.
Mbok menggeser tumpukan buku di atas meja lalu meletakkan nampannya. "Non, bangun dulu yuk? Ini mbok udah bawain sarapan." ujar mbok sambil mengusap kepala Dylan bagai anaknya sendiri. Dylan menghembuskan napas panjang, lalu melakukan sedikit peregangan di sofa. Ia duduk bersandar, memandang ke sekeliling sambil sesekali mengerjapkan mata berusaha untuk menormalkan penglihatan dan kesadarannya.
"Mbok rapiin kertas-kertasnya boleh?" tanya mbok sebelum Dylan mengamuk karena susunan kertas yang berisi materinya terhambur dan tidak tersusun sesuai mind map yang telah disusun di dalam otaknya. Dylan mengangguk, mbok mulai memunguti setiap helai kertas yang ada dengan berhati-hati agar tidak ada yang terlipat atau lecek karena kertas-kertas ini merupakan hasil kerja keras Dylan semalaman.
Dylan mulai memakan makanannya dan meminum minumannya sambil memperhatikan setiap gerak gerik tangan mbok dalam menyentuh "harta karun"nya. Tentu Mbok sadar karena Dylan selalu begitu. Ia fokus pada rasa yang dikecapnya dan gerakan tangan mbok tanpa memperhatikan 2 buah kertas yang terlipat di nampan tempat ia mengambil sarapan. "Non, kemarin itu ada bule yang ngasih mbok kertas loh. Katanya pesanan non, dikasih ke mbok soalnya non kan sibuk kuliah. Itu kertasnya yang warna cokelat di nampan." Kata mbok sambil menunjuk nampan yang tadi diletakkan di atas meja. Dylan otomatis menoleh, lalu mengambil surat yang berwarna cokelat itu. Tersegel dengan lelehan lilin berwarna hitam dengan simbol "FK" yang merupakan inisial dari Francis Kurt seorang hacker handal yang disewa Dylan untuk menemukan informasi tentang Gamar.
Disobeknya surat itu menggunakan pulpen, dan sebuah kertas putih dikeluarkan. Tidak ada tulisan apa-apa di dalamnya, kosong. Hanya sebuah kertas yang bertekstur bintik-bintik. Dylan meraba bintik-bintik itu dan tersenyum. Dia mendapatkan apa yang dia cari. Bintik-bintik itu adalah susunan huruf braille. Sengaja Dylan memesannya seperti itu, agar tidak ada yang bisa melacak informasi yang diinginkannya. Di dalam suratnya bertuliskan sebuah nama, dan deretan angka. Gamar dan nomor teleponnya. Dylan meraba lagi bagian surat lainnya dan mendapatkan bagian bawah tertuliskan, "Dia terus menghubungi anda melalui nomor telepon terakhir anda. Dan dia tidak pernah mengganti nomor teleponnya. Terakhir kali menghubungi anda pada 8 April." Dylan terdiam. Banyak teori tercipta di dalam kepalanya.
"Non, di surat satunya mbok dapat dari Bi Mikum, pembantu seberang rumah. Katanya titipan dari majikannya untuk Non Dylan." kata mbok yang melihat Dylan diam saja, takut ia akan tenggelam di pikirannya sendiri sebelum membaca semua surat yang ditujukan untuknya.
Kening Dylan berkerut, belum mengerti apa yang dikatakan oleh mbok dan pikirannya masih berusaha untuk mengolah setiap data dari informasi yang disampaikan oleh Francis Kurt namun ia tetap mengambil surat yang kedua lalu membukanya. Kali ini hanya surat biasa, tanpa ada segel lilin dan kertas di dalamnya tertulis 4 deret tulisan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHILIAD
RomanceAnehnya aku bisa mendengar namanya digaungkan oleh jantungku di setiap detakan. Ku pikir itu hal yang normal atau hanya permainan telinga dan otakku saja, tapi mungkin aku salah karena hal itu berulang lagi setelah tahunan. [Cerita Lanjutan dari Ma...