XXIII

1.6K 148 12
                                    

*AUTHOR's POV*

Dylan duduk di sebuah kursi dengan meja yang dipenuhi berlembar-lembar kertas yang dipenuhi coretan angka dan simbol matematika. Posisi duduknya diatur sedemikian rupa agar menghadap langsung ke arah luar, agar dia bisa memperhatikan kamar yang ditinggal pemiliknya berkuliah di kota lain itu. Di belakangnya ada Rezka yang memperhatikannya sejak tadi, tidak ada sedikit pun niat untuk mengganggu Dylan. Dalam hatinya dia tahu Dylan masih bersedih atas kematian ibunya, selama empat hari berturut-turut dia menemani Dylan yang sibuk dengan soal-soal matematikanya. Sejauh ini sudah ada tiga buku soal setebal tiga sentimeter yang dihabiskannya. Kata Sadrie, Dylan memang selalu seperti itu saat berusaha lari dari suatu perasaan yang tidak disukainya.

Rezka melirik jam tangannya, pukul 12.48 siang. Dia bangkit dari tidurnya, melakukan sedikit perenggangan lalu melangkah mendekati Dylan. Jari-jarinya merambat secara halus di bahu Dylan seiring dia berjalan lalu memeluk Dylan dari belakang. Dia mencium pipi Dylan secara dalam namun halus, "You are a genius, and it's time for lunch." bisik Rezka. Dylan tetap menuliskan barisan angka, hingga di akhir dia tutup dengan dua garis lurus sejajar yang miring 60° searah jarum jam di bawah deretan angka itu, pertanda dia sudah menemukan jawabannya.

"Aku lapar." Kata Dylan sambil meletakkan pensilnya di atas meja. "Turun, yuk?" Ajak Rezka. Dylan mengangguk, lalu berdiri dari duduknya. Dia berjalan keluar kamar dengan Rezka mengikuti di belakangnya. Di tengah perjalanan mereka menuruni tangga, Dylan menghentikan langkahnya lalu duduk di salah satu anak tangga. Rezka mengerutkan keningnya, namun ia ikut duduk di samping Dylan.

"Dad, you're joking right now. Right?" Sayup-sayup terdengar suara Sadrie. Rezka memperhatikan wajah Dylan yang masih datar, sepertinya dia hanya ingin mendengarkan apa yang sedang dibicarakan oleh kakak dan ayahnya.

"No, baby. How can I'm joking about something like this? It was my mistake a few years ago, and I'm sorry. I'm really sorry." Balas ayah Dylan, dari suaranya dia benar-benar terdengar menyesal.

"It is your mistake, dad! It is! It is still your mistake!" Tegas Sadrie, suaranya terdengar sama ketika dia sedang memarahi Dylan. Dalam otaknya, Dylan tahu mereka sedang membahas sesuatu yang sangat serius.

"Sadrie, daddy tahu suatu saat ini akan menjadi masalah di keluarga kita. Daddy harap kamu bisa maklum, biarkan dia tinggal di sini sementara. Ibunya baru saja meninggal karena terserang penyakit, dan dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di sana." Jelas Mr. McKenzy yang terdengar aneh bagi Dylan.

"Kenapa sekarang dad? Kenapa di sini? Kenapa di saat seperti ini? Don't you know my mom just died couple days ago too?"

"Dia saudara kalian, terimalah kenyataan itu. Dan dia juga baru saja kehilangan seorang ibu seperti kalian." Rezka terkejut, spontan melihat ke arah Dylan yang masih berwajah datar.

Dylan menoleh ke arah Rezka, "I told you." katanya singkat. Rezka teringat pengakuan Dylan beberapa waktu yang lalu, katanya dia menemukan sesuatu yang tidak normal dalam aliran keuangan ayahnya. Dalam hampir 20 tahun terakhir, polanya mengalami perubahan dan konstan. Ada dana yang mengalir ke rekening yang tidak ada dalam catatan keuangan asisten Mr. McKenzy, Dylan mencurigai bahwa ayahnya memiliki keluarga lain namun Rezka tidak mempercayainya.

"Dad, aku bisa memahami tapi bagaimana dengan Dylan? Dia mungkin saja tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini, karena aku pun masih bingung. Bagaimana bisa suatu hari you datang dan memberi tahuku bahwa ternyata aku memiliki saudara tiri hasil kekhilafan di masa lalu?" Suara Sadrie melemah, seakan sudah pasrah.

"We don't have to tell her the truth, okay?" Kata ayahnya yang membuat Dylan berdiri dari duduknya lalu menuruni tangga seperti biasa. Rezka mengikutinya dengan wajah ketakutan, takut bila Dylan mengamuk atau sebagainya karena ia juga sangat terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Let me see her." Kata Dylan ketika dia menginjak lantai terbawah, membuat Sadrie dan ayahnya yang sedang berhadapan di depan meja makan spontan menoleh ke arahnya. Sadrie membuang napas panjang, seakan menyesali sesuatu.

"Sayang, it's not like what you think." Bela Sadrie, namun Dylan masih berdiri tegap tanpa ekspresi. Ayahnya terlihat gugup, wajahnya merah dan keringat bercucuran. Akhirnya ia memberi anggukan kepada salah satu orangnya yang berdiri di depan pintu yang menuju ke arah halaman belakang. Tidak lama kemudian orang suruhannya masuk ke dalam ruang makan diikuti dengan seorang anak perempuan. Anak itu berdiri di dekat Sadrie, ekspresinya bingung. Dia mengenakan rok kain berwarna krim, baju kaos lengan panjang berwarna biru muda dengan sebuah bordiran di dekat pinggulnya bertuliskan "Bersitungkin", sebuah tas berwarna cokelat tua bertengger di punggungnya. Rambutnya terurai, berwarna cokelat, kulitnya putih seperti Dylan dan Sadrie, matanya berwarna cokelat gelap, bibirnya berwarna merah muda terkesan glowing dari hasil polesan make up, tingginya sedikit di bawah Dylan. Baru terlihat jelas ketika Dylan melangkah mendekatinya, dia sedikit terkejut ketika Dylan melakukannya.

"You are 3 inches shorter than me." Kata Dylan. Perempuan itu hanya mengangguk, masih kebingungan.

"Are you an autistic too?" Tanya Dylan, dibalas perempuan itu dengan gelengan keras dan kening yang berkerut.

"Saya Dylan, dan saya mengidap autisme. Siapa namamu, kapan kamu lahir dan berapa umurmu sekarang?" Tanya Dylan, sejak tadi dia terus menatap mata perempuan di hadapannya itu.

"Saya Puti Ramadhanur. Lahir di Minangkabau, 18 November, sekarang umur saya 18 tahun." Jawabnya, suaranya lembut. Terlampau lembut untuk rata-rata anak perempuan.

Dylan menoleh ke arah Sadrie, "She's younger than me." katanya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. Sadrie mengangguk, Dylan diam beberapa saat pandangan matanya beberapa kali berubah. Dia melangkah melewati Puti, lalu duduk di kursi makannya. Semua orang memperhatikannya dengan penuh kebingungan, tidak terkecuali Puti. Tidak ada yang bergerak hingga Dylan berkata kepada Sadrie, "Kakak, ini waktunya makan siang." Semuanya bergerak ke arah kursinya masing-masing, Mr. McKenzy sebagai kepala keluarga duduk di ujung meja menghadap ke mereka semua, Sadrie di sebelah kanannya, Dylan di sebelah kirinya berseberangan dengan Sadrie. "Puti, I want you to sit next to me." Kata Dylan, yang mengejutkan semua orang. Rezka yang awalnya ingin duduk di samping Dylan, terpaksa mengurungkan niatnya lalu duduk di samping Sadrie.

"Dylan, makan yang banyak ya. Puti, ambil apa yang kamu mau gak boleh malu-malu." Kata Sadrie yang membuat Puti tersenyum pertama kalinya di rumah itu. Dari senyumannya, Rezka bisa melihat bahwa Puti memang benar memiliki kemiripan dengan Dylan dan Sadrie.

"Puti, makan yang banyak ya." Kata Dylan menirukan Sadrie kepada Puti. Membuat Rezka menahan tawa.

"I-iya, Dylan." Jawab Puti dengan senyum terpaksa, mungkin masih bingung.

"Puti, kenalin aku Rezka. Sahabatnya Dylan. Sekarang lagi kuliah semester 2, jurusan Psikologi sama kaya Kak Sadrie. Kamu gimana?" Sapa Rezka.

"Salam kenal Rezka. Sekarang aku lagi gap year, rencana ikut test di Unpad."

"Kamu mau masuk jurusan apa?" Potong Dylan. Sebuah momen yang jarang terjadi ketika Dylan memiliki rasa ingin tahu tentang kehidupan orang lain, Sadrie, ayahnya dan Rezka hanya mendengarkan.

"Kedokteran, ambo pengen jadi ahli bedah hehehe."

"Ambo?"

"Eh, maaf. Kebiasaan di Minang ngomongnya bahasa Minang. Ambo itu artinya saya."

"Kamu bersuku Minang?"

"Iya, ibu orang Minang asli."

"Apa kamu juga menggunakan nama McKenzy?"

Puti terdiam sebentar, "Tidak." Jawabnya singkat. "Dylan, makannya dihabiskan ya." Sadrie yang melihat ketidakenakan Puti, langsung memotong pembicaraan mereka sebelum Dylan bertanya lebih jauh. Puti pasti masih sedih mengenai ibunya, dan dari cara dia menanggapi pertanyaan terakhir Dylan mungkin saja dia memiliki suatu dendam kepada Mr. McKenzy.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang