*ANDREW's Point of View*
*Dua bulan kemudian
Tidak ku sangka, ternyata dunia perkuliahan berbeda 180˚ dengan apa yang diceritakan di televisi. Tidak ada adegan saling bertabrakan, buku berjatuhan, tangan yang saling bersentuhan dan mata yang saling bertemu lalu hati yang mengikat. Berbicara tentang buku, tentu saja ada buku di kehidupan perkuliahan yang nyata. Bedanya bukuku menumpuk di atas tempat duduk penumpang belakang mobilku. Ada banyak sekali tugas-tugas yang ku dapat setiap harinya, membuatku cukup sibuk untuk melupakan Dylan yang tidak pernah lagi menghubungiku selama beberapa minggu terakhir ini. Terakhir kali Rezka memberitahuku bahwa Dylan diterima di kampus sebelah, mungkin saja dia sama sibuknya denganku atau bahkan lebih.
Tok tok tok
Seseorang mengetuk kaca mobilku, di tengah padatnya lalu lintas kota bandung. Awalnya ku pikir hanya penjual koran atau pengamen, ku tarik pikiranku ketika ku lihat Dylan membungkuk untuk menampakkan wajah datarnya padaku dari luar. Dia melompat ke tempat duduk penumpang di sampingku sesaat setelah ku izinkan dia masuk. Aku yang masih terkejut diam saja sambil meneguk liurku sendiri, melihatnya yang memasukkan sebuah kaset ke dalam dvd playerku tak lama suara lembut dari seorang wanita mendayu-dayu memenuhi mobilku. Dan Dylan masih diam saja, bahkan saat orang-orang membunyikan klaksonnya karena aku tak kunjung jalan saat lampu hijau. Apakah dia kesal dan menunggu ku untuk berbicara?
"Dylan?" panggilku. Dia menoleh saja, wajahnya masih datar membuatku deg-deg an.
"Kamu apa kabar? Kata Rezka kamu masuk ITB, fakultas apa?" lanjutku berusaha mencairkan suasana.
"Ke rumah mommy ku." Jawabnya sambil melihat ke arah depan. Nampaknya dia sudah tau jadwalku kosong saat ini, tapi kenapa dia kembali lagi ke rumah setan itu? Apa karena posisi kami yang lumayan dekat dengan rumahnya?
"Ngapain ke rumah mommy kamu lagi sih, Lan?"
"Just go."
"Kamu mau babak belur lagi?" tanyaku kesal. Namun tetap ku ikuti keinginannya.
Dia menoleh ke arahku, tidak berkata apa-apa namun cara pandangnya aneh. "Kenapa kamu menyembunyikan informasi tentang Gamar dari aku?" tanyanya yang membuatku bingung. Bagaimana dia bisa tau?
"Apa maksud kamu, Lan? Kamu pikir aku bohong?"
"You did." Jawabnya terlihat mulai kesal namun dia berusaha untuk mengendalikannya.
Ku hentikan mobilku tepat di depan rumah yang ingin ditujunya. Pada saat dia membuka pintu mobil, aku membuat pengakuan. "Oke! Oke! Aku bohong. Aku sudah nemuin kontaknya Gamar, dan aku sengaja gak ngasih ke kamu. Karena aku gak mau dia nyakitin kamu lagi! Kenapa sih kamu terus-terusan kembali ke orang-orang yang nyakitin kamu, Lan? Kenapa?! Mommy kamu, Gamar, Rezka, mereka semua nyakitin kamu. Kenapa?!"
Napasku naik turun, wajahku terasa panas. Keringat seperti membasahi bajuku. Bahkan mataku sedikit berair. Dylan diam saja meliatku, wajahnya tetap datar. Sedetik kemudian dia mencium bibirku, membuat air di mataku mengalir ke pipiku dan mungkin juga mengenainya.
Dilepasnya ciumannya, "Dia mommyku, dia tidak akan membunuhku. Aku mencintai mereka. Aku tidak bisa mencintai seorang pria, mengertilah bahwa tidak semua wanita mencintai pria dan begitu juga sebaliknya. Terkhusus kamu, aku mencintai kamu, sebagai sahabatku." Dylan menghapus air mataku, lalu mengecup keningku sebelum dia keluar dari mobil dan memasuki rumah mommy nya. Meninggalkan ku hanyut dalam air mataku sendiri.
Hampir 1 jam aku menangis sendiri di dalam mobilku, dan Dylan masih belum kembali. Entah apalagi yang dilakukan oleh wanita itu kepada Dylan. Ku hapus air mataku, berusaha untuk tenang. Hatiku yang tidak siap mendengar penjelasannya tadi kini berdegup lambat, otakku mulai merekayasa berbagai macam cuplikan tentang segala siksaan yang diterima Dylan di dalam. Aku khawatir, namun aku tidak punya keberanian untuk langsung masuk ke dalam rumahnya dan melihat langsung adegan penyiksaan itu atau sekadar untuk menelpon polisi karena Dylan akan sangat marah padaku.
Ku raih kotak P3K yang ada di dalam dashboard. Setidaknya ketika dia kembali, aku sudah siap untuk membersihkan lukanya. Sepuluh menit kemudian, Dylan keluar dan berjalan menuju ke mobilku. Ku lihat tangannya berdarah, mengotori sweater kuning yang dikenakannya. Dia langsung membuka sweaternya di dalam mobilku, tangannya mengeluarkan darah yang tidak sedikit dari jalur-jalur tidak beraturan di lengannya. Aku langsung menuangkan cairan disinfektan ke sebuah kapas untuk membersihkan tangannya namun Dylan merebut botolnya lalu langsung menuangkan seluruhnya di sekeliling lengannya. Aku dapat melihat dia meringis, menahan perih. Ketika cairan disinfektan membilas lukanya, dapat ku lihat jelas goresan-goresan acak yang melintang ke sana ke mari di tangannya. Seperti cakaran.
"Ayo ke rumah sakit." kataku langsung menginjak pedal gas.
"Mommy ku tau kamu. Dia tau semuanya tentang kamu. Tapi kamu tenang aja, dia sudah janji gak bakalan ganggu kamu." kata Dylan, mengingatkanku akan ancaman yang dilakukan Mrs. McKenzy kepada Dylan bahwa ia akan melukai Kak Sadrie, mbok, Rezka dan Gamar jika Dylan tidak datang untuk berkunjung di rumahnya.
Aku diam saja, fokus mengendarai mobilku ke rumah sakit terdekat. Yang perlu Dylan tahu adalah, dia tidak perlu melindungiku. Aku lah yang akan melindungi dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHILIAD
RomanceAnehnya aku bisa mendengar namanya digaungkan oleh jantungku di setiap detakan. Ku pikir itu hal yang normal atau hanya permainan telinga dan otakku saja, tapi mungkin aku salah karena hal itu berulang lagi setelah tahunan. [Cerita Lanjutan dari Ma...