Satu

8.2K 356 190
                                    

Teriakkan yang berasal dari salah satu bilik toilet wanita membuat seorang pemuda yang baru saja selesai buang hajat di toilet pria, menghentikan langkahnya dengan kernyitan bingung di dahi. 

Dalam benaknya, ia terus bertanya, Apa yang terjadi di dalam salah satu bilik toilet itu?

"Lo tuh harusnya sadar diri kalo lo itu siapa!"

"Mikir dong kalo lo itu cuma anak BSTM!"

Rasa penasaran yang memuncak di ubun-ubun, si pemuda berparas tampan itu celingukan melihat sekitar. Dirasa sepi, ia memberanikan diri untuk mendekat ke bilik toilet wanita. 

Matanya melebar setelah melihat apa yang terjadi dan lekas berlari ke dalam bilik toilet. Seketika tubuhnya basah. Jaket yang membalut tubuh serta rambut hitam pun tak luput dari guyuran segayung penuh air dingin demi menghalangi gadis berkepang satu yang kini memejamkan mata rapat.

Berharap kesialan menimpa gadis culun yang menjadi bulan-bulanan selama ini, nasib buruk justru menimpa ketiga perempuan yang sudah membungkam mulut masing-masing ketika melihat targetnya dipeluk oleh anak laki-laki yang baru saja datang tak diundang.

Perlahan pemuda itu berbalik menghadap tiga gadis itu dengan sorot mata begitu tajam menghunus hingga membuat nyali ketiga gadis itu mulai surut.

"Puas?! Atau masih mau nyiram lagi?!" tanya laki-laki itu sambil tersenyum remeh, tak ketinggalan alisnya pun diangkat sebelah.

"Kok diem?! Bisu?! Sariawan?! Atau lupa fungsi mulut itu buat apa?!" Lagi-lagi pertanyaan yang terlontar, tak mendapat jawaban sama sekali.

"Cewek enggak tahu diri!" Pemuda itu menarik pergelangan tangan gadis yang hampir menjadi sasaran bullying itu keluar bilik toilet.

Setelah sampai di lorong sekolah yang cukup sepi—sebab masih jam KBM, pemuda itu menghentikan langkahnya dan tentu saja gadis di belakangnya mengikuti.

"Lo punya otak enggak, sih? Kalau lo diam aja saat ditindas, mereka bakal makin puas dan enggak bakal berhenti buat ganggu lo." Sembari melepas jaket, mulut si pemuda tak tinggal diam mengomentari kejadian yang baru saja terjadi.

"Maaf," lirih gadis itu sambil menunduk dalam.

Tangannya berhenti tepat setelah jaket terlepas sepenuhnya dari tubuh. "Maaf? Buat apa?"

"Jaket Mas jadi basah." Logat medok khas orang Jawa dari gadis itu sangat kentara membuat lawan bicaranya tersenyum singkat.

"Terus lo enggak tanggung jawab gitu?"

"Maksudnya?" Kini gadis berkepang dengan kacamata tersamgkut di hidung yang tak seberapa mancung itu mengangkat muka. Wajah tampan dengan badan ideal, cukup menjadi incaran siswi di sekolah.

"Ya lo tanggung jawab, dong. Cuci jaket kesayangan gue sampai bersih tak bernoda sedikit pun. Nih, bawa pulang. Kalau sudah beres, kasih aja langsung ke gue." Sang pemuda memberikan jaketnya dan langsung diterima. Tanpa membuang banyak waktu lagi, kakinya melangkah menjauhi gadis yang ditolongnya itu sendiri.

"Mas!" Baru lima langkah pemuda itu beranjak pergi, gadis itu memanggil dengan sedikit berlari ke arah sang pemuda.

"Apa?" tanya laki-laki itu berbalik badan sambil mengangkat alis kirinya.

"Mas namanya siapa? Kelas berapa? Nanti saya antar ke kelas Mas kalau sudah beres."

Tiga detik pemuda itu tak mengedipkan matanya. "Lo enggak kenal gue?" tanya si pemuda dengan nada sedikit datar. Gadis yang berjarak satu meter di depannya hanya menggeleng polos.

"Kelas berapa lo sekarang?"

"Dua belas," jawab gadis itu tanpa pikir panjang.

"Hampir 3 tahun kita sekolah di sini, satu angkatan, dan lo enggak kenal gue?"

"Kita?" Anehnya, gadis polos itu malah salah fokus dengan kata "kita" yang terucap dari mulut sang pemuda.

"Ya iya kita, masa ka—" Sang pemuda menahan kalimatnya karena merasa semua itu hanya akan membuang waktu—terlebih respons yang ia dapatkan sangat pelan. 

"Dave, gue Narendra Dave Ar—" kalimatnya kembali dipotong sendiri, "Panggil Dave aja, deh." Tangannya terulur di depan tubuh teman perempuan seangkatannya, tentu bermaksud mengajak berjabat tangan.

"Sa-saya Na-Naya."

"Lo gagap?" tanya Dave menanggapi jawaban Naya yang tampak agak gugup.

"Hah? Endak, Mas." Naya menggeleng cepat.

"Gue kelas IPS-1." Tanpa dilempari pertanyaan, Dave menyebutkan kelasnya—ia paham betul pasti gadis di depannya tidak tahu juga dirinya berada di kelas berapa.

"Loh? Kok rambut gue basah?" Setelah tak sengaja menyentuh rambut—awalnya berniat merapikannya karena pasti berantakan—dengan bodohnya Dave bertanya demikian.

"Kan tadi kesiram."

"Masa, sih?" Dave tetap tak percaya. Pemuda itu malah mengacak rambutnya hingga butiran airnya menyebar ke mana-mana.

"Mas endak kerasa?" Dave hanya menggeleng cepat sambil terus mengibas-ngibaskan rambut.

"Aneh, ya? Jangan-jangan air gaib."

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang