Hari berubah sunyi, mentari telah tergantikan oleh rembulan yang kini bergiliran menyinari. Rasa itu, rasa tak nyaman yang membuat dirinya ingin segera pergi ke kamar mandi demi menuntaskan keinginan buang air kecil yang sering kala tengah malam.
Badannya terasa berat diajak bangkit, ia pun sempat menahan napas sejenak merasakan tubuh yang begitu letih. Matanya menyapu ke semua sisi kamar. Tidak ada Stevi ataupun Melvan yang dilihatnya terakhir kali sebelum berakhir tidur pulas seperti ini.
Tunggu. Dave baru menyadari sesuatu. Ini bukan kamarnya, jelas berbeda sebab ruangan ini penuh cat putih dan tak ada barang-barang miliknya sama sekali kecuali ponsel dan kunci motor di atas nakas. Lagi-lagi kepalanya terasa pening, tetapi segera ia enyahkan dengan menggeleng berulang kali. Hasrat buang hajatnya sungguh kuat. Kaki yang masih lemas terpaksa ia seret ke kamar mandi dalam ruangan itu.
"Ini rumah sepi amat kayak kuburan," celetuknya keluar kamar usai selesai dengan urusan perkencingan yang sulit ditahan.
Melewati ruang tamu yang berantakan, Dave bergerak menuju dapur guna mencari makanan. Tak ada yang bisa ia temui kecuali minuman kaleng soda di kulkas dan beberapa keripik di lemari. Daripada mati kelaparan, Dave mengambil beberapa kaleng minuman itu dan sejumlah keripik untuk dibawa ke kamar.
Tangannya merogoh saku celana yang belum ganti sejak pagi tadi, mencari keberadaan ponsel yang tak lupa ia bawa. Dave segera mencari kontak Melvan di WhatsApp-nya untuk menghubungi anak itu.
Monyet Amazon
Lo balik, Melv?
Tak ada jawaban selama kurang lebih lima belas menit hingga Dave memilih duduk selonjor di kasur menikmati jajanannya. Di suapan kelimanya memakan keripik, ponselnya berdenting. Dave menduga pesan itu dari grup kelas. Namun, saat dilihat, rupanya Melvan membalas pesannya.
Masih hidup, lo?
Sialan. Meski hanya ketikan, Dave bisa membayangkan raut jengkel di wajah Melvan, kekehan langsung keluar tanpa aba-aba. Lucu sendiri jika diingat-ingat.
Masih, dong.
Berkat lo yang nolongin gue.Bukan gue, nyokap lo yang sibuk
ngurusin loSama aja. Lo pasti bantuin juga, kan?
Secara lo, kan, sayang banget sama gueIdih, najis!
Dave kembali tertawa. Melvan sungguh lucu ketika ngambek seperti ini. Tak ada seram-seramnya. Ia malah semakin tertarik untuk terus menggoda.
Najis-najis tapi jajannya tetep
dibawa pulang, ya.
Gue enggak dikasih satu pun, Anjir.Oh, enggak ikhlas?
Enggak. Sini ganti duit gue.
Perhitungan lo sama temen sendiri.
Emang lo temen gue?
Pesan terkirim, Dave mematikan data seluler dan menenggak minuman kaleng hingga tandas. Kantuknya kembali datang, sebelum bergulat dengan bantal dan selimut, Dave kembali ke kamar mandi. Buang air lagi.
☁
Bagaimana rasanya tenggelam? Sulit menemukan oksigen barang secuil pun, bukan? Itu yang Dave rasakan di tengah-tengah tidur nyenyaknya.
Masih dalam pejaman mata, hidungnya kembang kempis, Dave lekas membuka mulutnya guna meraup udara sebanyak-banyaknya untuk ditransfer ke paru-paru. Shit! Sesak semakin menggerus dada hingga matanya terbuka cepat. Beberapa kali ia terbatuk saking kalapnya mencari oksigen.
"Ah, sesek," lirihnya memukul dada. Entah apa yang sebenarnya terjadi, udara bagaikan enggan dihirup olehnya.
Sekuat tenaga ia menguatkan tangannya agar bisa menjadi tumpuan dirinya duduk. Satu yang kini Dave fokuskan, udara, tak peduli bagaimana cara mendapatkannya. Setelah berhasil duduk bersandar pada tembok, udara mulai terasa. Ia mulai bernapas dengan perlahan, seolah menikmati oksigen yang ada.
Tiga menit, Dave sungguh tak mau menyia-nyiakan udara di sekelilingnya. Mata terpejam dengan tangan memijat dada pelan membuatnya sedikit tenang. "Apa gue ada masalah jantung, ya?"
Tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di pikirannya. "Atau paru-paru?" tebaknya lagi sembari membuka mata.
Kalau benar sakit itu berasal dari salah satu dari dua organ utama di tubuhnya, pasti akan sangat mengerikan. Dave menggeleng, tak mau ambil pusing soal kondisinya yang belakangan ini sulit ditebak. Daripada berpikir yang tidak-tidak, sebaiknya ia menganggap santai saja. Mungkin tubuhnya hanya sedang kelelahan.
Dave mencari ponselnya lagi, melihat sudah pukul berapa saat ini. Masih dini hari, tetapi tubuhnya benar-benar lelah tak tahu kenapa. Setop. Berhenti memikirkan itu. Ia berniat bangkit dan cuci muka agar sedikit lebih segar, tapi kakinya malah turut mati rasa. Sulit betul rasanya untuk baik-baik saja.
Tak ada pilihan lain, Dave kembali menyandarkan tubuh pada bantal di belakangnya. Semoga kantuk segera menguasai mata, tak apa meski harus tidur dengan posisi duduk seperti ini. Asalkan tak ada rasa sesak yang mengganggu hidupnya lagi.
☁
Gerah. Satu kata yang Dave rasakan ketika bangun pagi ini. Matahari sudah muncul sepenuhnya hingga mampu menyipitkan mata, ia lekas meregangkan otot yang begitu kaku, terlebih tidur dalam posisi duduk. Pinggangnya sungguh tak karuan.
Kakinya yang sedikit bengkak dan mati rasa itu Dave paksa menuruni ranjang. Dua jam yang lalu ia menahan kencing. Beruntung kali ini tidak sampai mengompol seperti malam sebelumnya. Wajah serta bibir pucatnya tampak kentara di pantulan cermin. Dave menghela napas, tak tahu harus berbuat apa pada wajah tampannya. Ia hanya berusaha menyegarkan kembali wajahnya dengan cuci muka.
Hari ini akan menjadi hari yang panjang. Tak pergi ke sekolah dengan alasan sakit sering ia lakukan dulu saat SMP, sekarang baru ia nikmati lagi meski sebenarnya tubuh memang sedang sakit. Tak tahu sakit apa, intinya Dave merasa sakit.
Kegabutan yang merambat hingga otak menggerakan tangan Dave membuka laptop dan mencari sesuatu di kolom pencarian. Tentang sesak napas, yang dialaminya semalaman suntuk. Yah, seperti yang sudah ia duga. Pasti sesak akan dihubung-hubungkan dengan jantung atau paru-paru. Terlebih gejala yang dirasakan hampir sama. Namun, lagi-lagi pikirannya tak mau menerima. Ia tetap berpikir positif.
Ketimbang memikirkan yang belum pasti, yang malah jatuhnya self-diagnosis, lebih baik ia turun ke lantai bawah, menonton kartun dengan tenang. Rendra dan Stevi pasti sibuk bekerja, seperti tak mempedulikan anaknya meski sekarat pun.
Benar saja. Rumah benar-benar sepi bak tak berpenghuni. Dilongok ke garasi, mobil orang tuanya tak ada, sungguh mereka gila kerja meski sedang dihantam badai perpecahan keluarga. Ais, sudahlah. Jangan berpikir yang berat-berat. Lebih baik menikmati tontonan televisi sembari melahap keripik sisa malam tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Come To Leave (Revisi)
Teen Fiction#sicklit #fiksiremaja Rahasia kedua orang tuanya yang terkuak sungguh memuakkan. Keluarganya semakin hancur bersama tubuh yang turut melebur bersama kata lemah dan lelah. Tak tahu dan tak mengerti apa yang sebenarnya Tuhan inginkan darinya. Dave han...