Indah mata tajam Dave masih belum terpancar sejak terlelapnya pemuda itu di acara pernikahan ayahnya sendiri. Sinar senja sudah mulai menyorot dari barat, Melvan masih duduk diam di samping ranjang Dave. Tak pernah terlintas dalam pikirannya, sang sahabat akan menemui titik selemahkan ini. Masih terbayang bagaimana terlukanya Dave saat mengetahui keluarganya mulai hancur, rumah yang selalu diharapkan menjadi tempat pulang, kini sudah runtuh.
Masker oksigen yang menutup hidung dan mulut Dave membuat Melvan semakin tak tega memandangnya. Sosok pria yang senantiasa menemani kesehariannya, berbagi canda tawa hanya dengannya, kini terbaring tak berdaya, bahkan bernapas sendiri pun agaknya kurang mampu. Dokter belum mengatakan apa pun, hanya sempat memberikan jawaban bahwa Dave kelelahan kepada Melvan saat ia bertanya, belum dilihat dari hasil pemeriksaan lab.
Tarik-embusan napas panjang dari mulut Melvan entah untuk keberapa kalinya perlahan memberat. Tak sekalipun ia tinggalkan sahabatnya meski sudah berapa kali ia dipersilakan menunggu di luar—saat di IGD pagi tadi dengan alasan pemeriksaan, serta ketika Dave dipindahkan ke ruang rawat yang berisi empat ranjang dalam beberapa petak tanah. Melvan memang tak mengambil ruang kelas satu sebab ia pikir Dave tak akan lama sakitnya. Bukan ia pelit, ia hanya tak ingin membuat Dave betah jika dirawat di ruangan nyaman.
"Dave," panggil Melvan menyentuh punggung tangan kanan Dave yang tak tertusuk jarum infus. "Lo mau sampai kapan tidurnya? Gue bosen, Dave." Tangan kirinya mengusap kasar wajahnya yang sudah lesu sejak pagi tadi.
Melvan mengangkat tangan kanan Dave pelan dengan kedua tangan, meletakkannya di dahi. Matanya terpejam, merapalkan kembali banyak doa agar Tuhan semakin jelas mendengar doanya. Tuhan, bantu Dave bangun lagi. Hamba yakin dia kuat, dia pasti bisa kalahin semua rasa sakit di hatinya.
Lumayan lama Melvan melangitnya harapan-harapannya, tak terasa air matanya turun dari mata kirinya. "Dave gue mohon lo bangun. Jangan tiduran terus kayak gini. Gue takut."
Doa demi doa ia terus langitkan, tak ada jeda sedikit pun ia meminta kesembuhan untuk Dave. Bukannya lebay, Dave bukanlah sekadar kawan, bahkan saudara pun sepertinya lebih. Dengan kesadaran penuh, Melvan yang masih betah menutup matanya menggerakkan tangan sahabatnya ke kanan-kiri, digunakan olehnya sebagai lap air mata dadakan.
"Bangun astaga .... Dave?" Matanya terbelalak saat sorot tajam yang ia rindukan, akhirnya menusuk netranya—meski sebenarnya tampak begitu lemah. Saking bungahnya Melvan melihat sahabatnya sudah siuman, ia lepas tangan Dave tanpa penuh kehati-hatian.
"Lo enggak pa-pa, Dave? Ada yang sakit? Bagian mana yang sakit? Mau makan? Mau minum? bening atau susu? Atau gue kupasin buah? Atau mau makan jel—"
Mulut Melvan mendadak diam saat kernyitan di dahi Dave terlihat begitu dalam. "Lo kenapa? Mana yang sakit?"
"Beri—sik."
Gerakan Melvan yang sedang sibuk memijat pelan tangan kanan Dave, langsung terhenti dengan mulut menganga. Hal demikian sempat terjadi untuk seperkian detik, sebelum Melvan sadar bahwa sakit maupun tidak sakit, sahabatnya akan tetap sama, sama-sama menyebalkan.
"Oh, gitu lo ke gue? Padahal gue udah panik setengah mati liat lo kayak orang sekarat. Nungguin lo siuman sampai tangan kaki, badan semuanya kesemutan, sampai buang-buang air mata gue. Dan balasan lo malah kayak gini? Bangsat sekali dirimu ya, Dave."
Di balik masker oksigen yang masih membantu kelancaran Dave dalam bernapas, senyum kecil terulas di bibir pucat Dave menanggapi ocehan sahabatnya yang mencurahkan perasaannya saat menjaga dirinya seharian. "Tapi tangan gue basah," lirih Dave—bahkan mungkin jika tidak Melvan tukikkan telinganya, anak itu takkan mendengar apa yang Dave katakan—sambil menunjuk tangan kanannya dengan kode mata.
Refleks Melvan pun mengusap punggung tangannya pelan sembari tersenyum malu. "Ya maaf, lagian lo lama banget kagak bangun-bangun."
Dave tak lagi menanggapi, ia memilih memalingkan wajah ke arah kiri. Gejolak yang beberapa saat tidak ia rasakan, kini kembali menyerangnya lagi. Mual sungguh tak bisa ia tahan hingga kepalanya mulai berdenyut nyeri. Menyadari perubahan sikap Dave yang tiba-tiba terasa janggal, Melvan memanggilnya pelan. " Dave? Lo .... enggak pa-pa?" tanyanya sambil menyentuh tangan kanan Dave, sambil berusaha melihat wajah sahabatnya yang taik begitu jelas.
Dave tidak merespons celotehan Melvan satu pun, takut terjadi apa-apa dengan Dave, Melvan langsung berlari menyingkap tirai, lantas keluar ke tempat jaga perawat. Dengan napas yang mendadak cepat, Melvan mengetuk meja perawat beberapa kali dengan tangan kanan tak berhenti menunjuk kamar Dave dirawat.
"Ada apa, Mas? Bisa tenang dulu?"
Bukannya menuruti permintaan perawat yang bangkit bertanya kepadanya, Melvan malah menggeleng cepat. "Enggak, Ners. Dave, sahabat saya yang udah lama pingsan tadi siuman, tapi sekarang enggak tahu kenapa tiba-tiba kayak aneh gitu, Ners."
"Mari kita cek dulu ya, Mas?" Ners ber-nametag Mia segera keluar dari meja kerjanya kemudian mengikuti langkah Melvan yang cukup cepat berjalan ke kamar rawat Dave sambil mendorong alat pemeriksaan.
Betapa terkejutnya saat Melvan sampai di ranjang nomor tiga—ranjang Dave dirawat—Dave sudah meringkuk menekan perut kirinya dengan desisan lumayan membuat Melvan berdebar tak karuan. Berantakan, sungguh. Tanpa banyak bertanya, Ners Mia langsung menarik alat tes tekanan darah yang sempat ia bawa. Melvan hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa pun. Tangannya terangkat menggigit kukunya sendiri saking kuat debar jantungnya.
Ya Tuhan, jangan buat Dave semakin sakit, Melvan mohon.
☁
"Mas, maaf," panggil ners Mia menghampiri Melvan yang terduduk sambil menelungkupkan wajahnya ke dalam kedua tangan yang bertumpu di kedua lutut. Diliriknya dari bawah, seseorang berdiri di depannya. Melvan langsung mengangkat kepala.
"Gimana kondisi sahabat saya, Ners?" Melvan langsung bangkit membuat Ners Mia mundur beberapa langkah kecil, sedikit membuat Melvan sedikit canggung. "Maaf, Ners, refleks."
Ners Mia hanya mengangguk kecil, paham maksud Melvan. "Mas, namanya siapa, ya?"
"Melvan, Ners. Kenapa?"
"Saudara atau ....?"
"Saya sahabatnya Dave, udah kayak saudara, sih, Ners. Kenapa, ya?" Melvan sungguh tak sabaran, ia ingin mendengar bagaimana kondisi sahabatnya saat ini.
Ners Mia tampak mengangguk paham. "Mas Melvan tahu apakah saudara Dave ada riwayat hipertensi atau tekanan darah tinggi?" tanya Ners Mia to the point.
Bukan untuk basa-basi kosong, Ners Mia menanyakan hal demikian karena saat pemeriksaan tekanan darah Dave, hasilnya lumayan tak bisa ia percaya. Hingga ia melakukan sebanyak tiga kali untuk memastikan prosedur pengecekannya benar dan hasilnya pun tak salah. Sebanyak tiga kali berturut-turut itu, hasilnya sama. Tekanan darahnya cukup janggal bagi Ners Mia karena terlalu tinggi dari tekanan darah normal.
"Enggak, sih, Ners. Memangnya kenapa?"
"Mungkin nanti mas Melvan bisa ajak saudara Dave untuk pemeriksaan lebih lanjut, tes darah, rontgen, atau CT-Scan, untuk hasil yang lebih jelas. Dikhawatirkan ada komplikasi atau hal tak diinginkan lainnya. Bisa dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam atau—"
"Dave enggak pa-pa, kan, Ners?"
"Saat ini saudara Dave sudah saya beri obat pereda nyeri dan juga agar tekanan darahnya normal. Sekarang saudara Dave sedang tidur. Nanti kita tunggu hasil lab dokter saja mungkin ya, Mas. Ya sudah, saya permisi dulu. Silakan jika mau masuk lagi, yang penting jangan berisik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Come To Leave (Revisi)
Fiksi Remaja#sicklit #fiksiremaja Rahasia kedua orang tuanya yang terkuak sungguh memuakkan. Keluarganya semakin hancur bersama tubuh yang turut melebur bersama kata lemah dan lelah. Tak tahu dan tak mengerti apa yang sebenarnya Tuhan inginkan darinya. Dave han...