Dua Puluh Empat

1.7K 110 59
                                    

Senja, awan, serta kesendirian. Dave rela melepas jaketnya untuk dijadikan alas duduk, membersamainya menemui gumpalan kapas putih kesayangannya yang lumayan lama tak ia sapa. Matanya terpejam, kedua tangannya menopang tubuh di belakang badan dengan kepala mendongak menatap awan. Tak perduli dengan semilir angin yang menggoyangkan rambut serta menelisik masuk membelai kulit putihnya.

Hanya dengan cara ini, Dave bisa melupakan sejenak masalah yang memenuhi isi kepalanya. Jika saja Tuhan bisa mengabulkan keinginan anehnya, ia sangat berharap bisa menyentuh pujaan hatinya yang mungkin selamanya takkan bisa ia gapai. Semenenangkan itu angkasa baginya. Sebenarnya, meski amat mencintai awan, Dave bukanlah anak senja. Jika saja petang ini langit sendiri tanpa bola kapas menemani, Dave sepertinya takkan berada di sini.

Meski awalnya tak tahu, dengan semangat berbalut kerinduan Dave mengitari rumah sakit dengan tiang infus yang tiada habisnya tanpa mengenal menyerah. Lelah? Tentu. Terlebih dengan kondisinya yang tak begitu baik. Namun, sekuat apa pun ombak menerjangnya, jika dalam hatinya terlanjur rindu, maka ia takkan menyudahi begitu saja.

"Tuhan, bisa kembalikan keluarga Dave yang berantakan? Rumah satu-satunya yang Dave punya. Dave takut enggak mampu jalanin cobaan ini. Kali ini lebih berat, Ya Tuhan."

Masih dalam pejaman mata indahnya yang kini semakin meredup, Dave menghirup kesejukkan udara dari atas ketinggian. Tidak ada tempat yang lebih romatis daripada atap bangunan. Di mana pun dan kapan pun. Ketika ia menarik napas untuk kesekian kalinya, mendadak ia tersedak udara yang masuk melalui lubang hidungnya sendiri. Spontan ia terbatuk dan mengakhiri sesi "pertemuannya" dengan Tuhan.

"Anjir, penyakitan bener ini badan," gerutunya pada diri yang terasa semakin sulit dikontrol.

Satu tarikan serta embusan napas panjang demi membuat jantungnya kembali berdetak normal sedikit berat. Senyumnya mendadak terbit. Bukan senyum kebahagiaan, justru senyum getir yang ia tunjukkan pada sang awan. Sesak, sungguh. Setetes air matanya tanpa diminta turun menggaris di pipi kiri. Tak mau tampak lemah di hadapan pujaan hati, Dave buru-buru menghapusnya kasar.

"Anjir, lebay banget, kan, gue? Kayaknya gue baru tunjukin ini ke lo. Iya enggak, sih?" tanyanya pada hamparan luas di hadapannya. "Eh, enggak, deh. Dulu juga udah pernah, ya, pas awal-awal mama gue gila kerja."

Terserah. Tak perduli Dave dengan komentar orang-orang yang menyebutnya gila, tak waras, atau apalah itu. Kenyataannya, penyesuaian terhadap situasi baru, yang sebelumnya justru berkebalikan dengan apa yang terjadi sekarang rasanya lebih sulit. Jika bisa memilih, Dave lebih memilih menjadi anak broken home sejak lahir daripada dadakan begini.

Bukan tak bersyukur, hanya saja, dibelai dan dipenuhi rasa cinta sejak kecil, membuat mentalnya terbentuk lembut. Saat diterpa ujian begini, dirinya sungguh tak siap. Bayangkan jika sudah sejak kecil, pasti penyesuaiannya lebih mudah, saat remaja bahkan dewasa, sudah tak gentar lagi menghadapi masalah yang tak seberapa ini.

Omong kosong! Kenyataannya, tak ada orang yang ingin hidup dalam keluarga yang acuh terhadap anak-anaknya. Tak ada orang yang menginginkan kesulitan dalam kehidupan rumah tangganya. Tidak ada yang ingin diuji di luar atau mendekati batas kemampuannya. Dave yakin, Tuhan Maha Adil, meski keadilannya berupa .... dahulu ia pernah direngkuh, kini bahkan rasanya dunia menjauh hingga tak ada tempat untuknya berteduh.

Di tengah-tengah perasaannya yang berkecamuk antara luka dan kecewa, dering ponselnya terdengar dari saku celana pakaian serba biru yang sialnya tak boleh Dave ganti dengan pakaian bebas. Berisik dan sangat mengganggu, Dave lekas menarik benda pipih dari sakunya, melirik sejenak nama penelepon dan dengan malasnya ia menekan tombol hijau ke atas.

"Hal—" Ah, lagi-lagi Dave ingin sekali mengumpati orang yang berada di seberang telepon. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga. Bisa-bisanya tanpa salam apalagi tanpa sapaan yang baik, orang itu justru memarahinya dan merecoki dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting. Hingga beberapa detik kemudian, baru ia dekatkan kembali ponselnya ke depan telinga.

"Hem."

"Hem."

"Gue di tempat biasa, Anj!"

....

"Dave, kamu dari mana aja?! Kenapa enggak bilang ke tante kalau mau jalan-jalan nyari angin? Kan, bisa tante temenin. Main ke mana coba kamu?!"

Walau tak semenyeramkan itu aslinya, tante Tari tetaplah sosok ibu yang pasti akan ribut memarahi jika anaknya melakukan hal sesuka hati tanpa berpikir resikonya. Iya, Dave sangat mengakui kebaikan hati ibu dari sahabat satu-satunya yang mungkin sudah menganggap dirinya sebagai anak, sebagaimana dirinya pun menganggap tante Tari orang tua keduanya. Melihat raut kesal sekaligus khawatir di wajah Tari, Dave malah tersenyum bodoh.

"Tante khawatir, nih, ceritanya sama aku?" ledek Dave tersenyum puas. "Tante Tari sayang banget pasti sama aku, ya? Iya, kan? Dave tuh anak baik, anak penurut. Enggak kayak si onoh, tuh," ucapnya lagi sambil menunjuk Melvan yang bersilang dada di sofa.

"Kamu sama Melvan, tuh, satu settingan, ya. Hobi bikin tante ngomel mulu," dumel Tari sambil mendorong pelan agar Dave berjalan ke ranjangnya. Masih dengan senyum merekah, Dave mengikuti langkah Tari.

Melvan yang menyaksikan bagaimana manjanya Dave kepada ibunya, langsung memberi lirikan tajam. Tak terima ibunya mencurahkan perhatian bukan padanya. "He, Melvan. Tolong bantu Dave pakai alat bantu napas, tuh."

Dua remaja seumuran di sana langsung saling melirik, apalagi Dave yang mengernyit dalam. "Loh, Tante? Ngapain aku pakai itu? Kan, aku udah baik-baik aja. Enggak kerasa sesak juga, kok." Bukan Dave tak menurut, napasnya memang sungguhan terasa nyaman untuk saat ini.

"Tante itu enggak habis pikir sama kamu, ya! Sudah dikasih tahu sama dokter kalau kamu ada masalah jantung, malah sok-sokan pergi ke atap. Di sana, kan, berangin banget, Dave. Belum lagi polusi dari jalan raya. Kamu ini susah banget dibilangin!"

Mulut boleh mengomel panjang lebar dari ujung timur ke barat, tetapi tangan Tari tak bisa berbohong atas kasih sayangnya. Tangannya mengaduk bubur yang masih terlihat mengepul, sambil sesekali meniupnya pelan. "Ayo dipakai dulu nasal kanulnya. Habis itu makan."

Dave tak begitu terkejut saat tante Tari menyebut persoalan penyakit yang baru saja divoniskan kepadanya pagi ini. Namun, tidak menutup kesal kepada satu-satunya ember bocor yang pasti sudah bercerita ngalor-ngidul sehingga Tari berubah over protektif begini. Ditatapnya Melvan yang sekarang sibuk hendak menbantunya memasang nasal kanula. 

"Lo ngomong apa aja ke emak lo?" bisik Dave melirik sebal ke arah sahabatnya yang tak memerdulikan ocehan berisiknya. "Lo ngomong apa aja, hah? Pasti banyak yang ditambah-tambahin. Oh! Jangan-jangan lo bilang kalau gue bakalan cepat mati, jadi emak lo le—"

Tanpa perasaan, Melvan menjejalkan tempe goreng ke mulut Dave yang tak henti-hentinya membahas kematian di hadapannya. Satu hal yang amat ia benci saat ini adalah, menyerahnya sang sahabat dengan berbicara seolah-olah akan mati besok.

"Ah, lo mah. Besok-besok enggak mau cerita, dah, ke lo."

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang