Lima Belas

1.8K 131 14
                                    

Langkah Dave segera dipercepat saat Melvan sudah mengklakson motornya di halaman rumah. Dave berdecak kesal, "Kagak sabaran banget, sih, jadi orang!" dumal Dave sambil menyampirkan tas di bahu kirinya, kemudian membawa dua helm di teras depan.

"Dih, lo ngapain bawa tas, Ege? Niat banget mau dirawat apa gimana?"

Dave melirik sahabatnya dengan tajam, "Bacot banget, sih, lo?" ucap Dave melempar helm ke Melvan. "Buruan jalan. Panas, nih!" Kaki Melvan yang berusaha menjaga keseimbangan motor agar tak oleng hampir saja goyah karena Dave tiba-tiba duduk di jok belakang.

"Anjing, lo."

Hari-hari Dave dan Melvan tanpa umpatan sekali pun, sepertinya bibir mereka akan sariawan. Bagi yang tak pernah bertemu, atau tak mengenal keduanya pasti akan berpikir dua orang bersahabat itu toxic, padahal biasa saja. Sepeda motor Dave mulai meninggalkan pekarangan rumah Melvan disinari matahari yang semakin menyongsong dan panas membakar kulit.


Satu-satunya rumah sakit yang paling dekat dengan tempat tinggal Melvan hanyalah Rumah Sakit Ananda. Sebenarnya tidak ada yang perduli bagaimana pelayanannya, Dave hanya ingin mengetahui kondisi tubuhnya saja dan Melvan, menuntaskan tugasnya sebagai sahabat yang baik untuk kawannya yang tengah diserang rasa tak nyaman pada tubuh.

"Di sini mahal enggak, sih?" tanya Dave turun dari motor sambil melepas helm yang membuat kepalanya terasa begitu gerah. Laki-laki berparas tampan itu merapikan rambutnya sambil berkaca di spion motor tampa memerdulikan Melvan yang masih belum turun dari motor dan terus memperhatikan gerak-geriknya dengan tampang geli.

"Pede banget lo ngaca depan gue, ya? Berasa ganteng aja. Padahal semalam pucat banget kayak mayat dikasih napas." Sindiran Melvan nampaknya membuat Dave kembali jengkel.

Dave berdecak. "Berisik banget, sih, Melv? Jadi mayat beneran gue gentayangin, lo!"

"Mau mati kapan? Biar gue siapin dulu kuburannya."

Malas mendengarkan percakapan yang serandom tapi se-dark itu, Dave memundurkan badan. "Lo ngarep gue mati banget kayaknya, ya? Ada niat busuk apa, lo? Setahu gue sesama sahabat enggak ada, deh, pembagian warisan harta gono-gini. Apa yang lo harepin dari kematian gue?"

"Kok, jadi bahas mati, sih? Buruan, ah, panas."

Padahal Melvan duluan yang membahas kematian dengan bawa-bawa mayat, diperpanjang malah badmood sendiri. Malas berdebat, Dave mengikuti langkah Melvan yang lebih dulu masuk ke lobi. Keduanya berjalan berdampingan, Dave hanya melihat-lihat sekitarnya, sedangkan Melvan lempeng saja.

"Lo sering ke sini ya, Melv?"

"G."

Dave tercengang, kerasukan apa sahabatnya jadi menyebalkan begini? Perasaan daritadi mereka baik-baik saja. Apa ada salah satu makhluk rumah sakit ini yang merasuki tubuh sahabatnya? Dave bergidik ngeri, tak mau memperdulikan sahabatnya yang memang kadang tak normal, otaknya.


Awalnya Dave dan Melvan kebingungan bagaimana alur pemeriksaan dokter. Maklum, keduanya sama-sama anak yang termasuk jarang sakit, kalaupun sakit, paling hanya terserang demam atau influenza, yang obatnya bisa dibeli bebas di apotek. Sampai bertanya kesana ke mari, akhirnya mereka memilih bertanya kepada satpam yang berjaga di pintu masuk.

Penyesalan begitu mereka rasakan saat sudah mendapat antrean, rupanya sudah nomor besar, B37, sedangkan panggilan dokter baru sampai nomor B11. Melvan mendesah berkali-kali sampai Dave bosan mendengarnya. Mana penampilan mereka lumayan nyentrik, jadi gerak-gerik mereka pasti akan mendapat lirikan dari orang di sekitar sana.

"Tau gini enggak usah ganteng-ganteng gue, Dave," bisik Melvan ke kuping kiri Dave yang membuat Dave mengangguk setuju.

"Bener, sih, Melv. Tapi ya mau gimana, ini gue pake pakaian biasa aja tetep ganteng. Susah, Melv, kalau dasarnya udah ganteng, mah." Spontan Melvan memukul lengan atas Dave lumayan keras membuat beberapa perhatian teralih padanya. Melvan langsung dihinggapi rasa canggung, lantas tersenyum ke orang-orang yang menatapnya sebagai permintaan maaf.

Tarik-embusan napas panjang Dave membuat Melvan menengok ke arah sahabatnya. "Cabut dulu aja, yok? Cari makan atau apa gitu," ajak Dave bangkit.

"Enggak jadi periksa?"

"Ck. Jadi, tapi ya, kan, masih lama. Yang ada kita mati kelaparan duluan, Cuk!"

Melvan menurut saja, mengikuti Dave yang mulai berjalan ke arah barat, lorong yang tak begitu panjang sebelum akhirnya menemui tangga ke lantai tiga. "Ke kantin aja kali ya, Melv?"

"Terserah yang punya duit aja, dah, gue mah."


Berjalan beriringan menyusuri lorong yang cukup panjang dan berkelok, Dave dan Melvan tampak santai menikmati kegabutan mereka menunggu nomor antrean Dave. Saat ini mereka sudah sampai di lantai lima, dua lantai lagi menuju lantai tertinggi dan Dave bisa sampai di rooftop. Niatnya memang ke rooftop, tapi Melvan menolak mentah-mentah ajakan Dave dengan alasan, Dave kalau sudah bercumbu dengan awan susah sadar, nanti malah ketiduran dan melewatkan pemeriksaan. Dave cuek saja, tidak ada yang boleh melarangnya menemui sang kekasih, gumpalan kapas putih yang manis menggantung di angkasa.

"Seriusan ini kita ke rooftop? Panas tau, Dave. Udah siang ini ...," keluh Melvan sambil membujuk Dave agar tidak pergi ke atap bangunan yang tinggi ini. Bukan tak mau menemani kawannya, ia lumayan takut dengan ketinggian.

"Lo cari makan aja dulu enggak pa-pa sana di kantin. Gue bosen banget, belum liat langit dari kemarin."

"Ogah, ah. Semalem aja lo kayak orang depresi pas sendirian. Ini lagi mau naik ke lantai tujuh sendirian. Ogah gue diwawancarai sama wartawan selaku orang terakhir yang bareng sama lo."

Dave menghentikan langkahnya sejenak, menatap Melvan dengan kerutan di dahinya. "Maksud lo? Gue bunuh diri gitu? Anjir, lah, mana mungkin gue bunuh diri di depan ciptaan Tuhan yang indah banget gitu."

Tak mau mendengarkan sahutan Melvan lagi, Dave melanjutkan langkahnya. Sebenci-bencinya ia hidup di tengah situasi keluarga yang amat berantakan, tak pernah ia berpikiran untuk mengecewakan awan yang selalu ia dambakan setiap harinya. Iya, Dave sebucin itu dengan awan putih di langit. Alasannya banyak, tetapi yang pasti, awan putih baginya menandakan kebahagiaan. Karena saat awan menggantung di langit, tanpa mendung juga tanpa panas yang terlalu menyengat, banyak kegiatan menyenangkan yang bisa ia lakukan. Pikiran anak kecil memang, tapi hanya itu yang Dave rasakan.


Ujung-ujungnya Dave lapar juga. Melvan terus tersenyum bungah saat Dave menghentikan langkah di lantai enam. Padahal tinggal satu lantai lagi, tetapi anak itu langsung membatalkan niatnya dan mengajak Melvan ke kantin saking laparnya.

"Bocah ngeyel dibilangin. Disuruh makan dulu, takut nanti di atas laper, eh enggak nurut. Laper banget, kan, lo sekarang sampai pucat gitu? Rasain, dah, lo sekarang." Layaknya seorang ibu yang mengomeli anaknya yang susah diajak makan, Melvan memperagakan bagaimana ibunya selalu memarahinya dulu saat masih kecil. Tanggapan Dave? Sudah pasti merengut persis seperti anak kecil dimarahi ibunya.

"Udah, nih, makan. Lo suka kulit ayam, kan?" ucap Melvan sembari memindahkan kulit ayam dari piringnya ke atas nasi yang akan Dave santap.

Tolong jangan berpikiran ke mana-mana. Mereka normal, hanya saja bersahabat cukup lama membuat mereka merasa seperti kakak beradik yang tak mengenal gengsi-kadang. Berbagi layaknya saudara tak membuat mereka merasa risih. Toh, pada kenyataannya hal itu menjadi bukti bahwa mereka saling perduli satu sama lain.

"Anjir, geli gue, Melv." Baru juga dibahas.

"Gue otw punya pacar, makanya lo siap-siap aja, dah, kagak kebagian kulit ayam gue." Dave berdecih menanggapinya.

"Sebelum lo jadian, gue duluan yang bakal punya pacar."

"Mau pacaran sama siapa, lo? Naya?"



Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang