Enam

2.1K 167 19
                                        

Wajah pucatnya tampak tenang menikmati mimpi indah di alam sana. Meski sudah stabil, tetap saja Melvan masih sedikit cemas pasalnya saat diperiksa tekanan darah sahabatnya itu lumayan tinggi, padahal selama ini, Dave terlihat baik-baik saja.

Khawatir tak hanya dirasakan Melvan, tumbangnya Dave yang begitu tiba-tiba juga membuat Naya gelisah. Pemuda baik yang beberapa kali menolongnya itu kini terbaring di ranjang UKS. Setelah dokter di UKS mengatakan kondisi Dave baik, gadis itu hingga kini belum enyah dari bangku di samping ranjang.

"Nay, lo balik kelas aja, gih. Biar gue yang jagain dia di sini." Ini bukan kali pertama Melvan berucap demikian, gadis yang tiba-tiba hadir di hidupnya—lebih tepatnya di hidup Dave—itu kekeh tak mau pergi.

Naya menatap Melvan yang tersenyum tulus dengan tatapan teduh. "Saya saja, Mas. Toh, kelas saya juga lagi kosong."

"Nanti lo bisa dibully lagi, mau enggak mau Dave nolongin lo, terus berantem sama gebetan lo yang sok ganteng lagi, ujung-ujungnya gini lagi, nanti. Hukuman tadi aja Dave masih utang empat, kan?"

Alih-alih menyetujui dan menuruti permintaan Melvan untuk pergi, Naya justru dibuat semakin merasa bersalah. Iya, laki-laki yang belum lama dikenalnya itu menjadi seperti ini karena dirinya. Andai ia tak membiarkan Dave ikut campur, pasti pria yang masih menutup mata rapat-rapat iti tak berada di sini sekarang.

"Maaf, Mas Melvan. Ini semua terjadi gara-gara saya. Mas Dave sakit karena saya. Andai saya endak biar—"

"Sstt, kok lo nangis, sih?" potong Melvan mendapati Naya meminta maaf sambil menangis kepadanya.

Air matanya tak bisa berbohong. Ingin sekali ia berhenti menangis, tetapi rasa bersalah kian memuncak di hati. Melvan berubah panik Naya menangis tergugu. Segera ia ambil tisu di nakas yang tak jauh dari tempat dirinya berdiri. "Jangan nangis, ih. Nanti gue yang kena omel Dave dikira gue ngapa-ngapain lo," ucapnya memberi beberapa lembar tisu.

Tak lama setelahnya, Naya mulai sedikit tenang. Air mata pun sudah tak terlihat lagi meski bekasnya masih ada di beberapa garis wajah. "Kalau begitu saya pamit, Mas. Maaf membuat mas Dave jadi kayak gini. Saya permisi."

Otaknya ngebug sejenak. Apa yang barusan terjadi? Beberapa menit yang lalu Naya menangis tersedu-sedu dengan raut merasa amat bersalah, tiba-tiba gadis itu berpamitan seperti tak terjadi apa-apa. "Lah? Kok gitu?"

Lamunannya pudar kala sahabatnya terbatuk, segera ia melupakan kejadian tadi dan mendekat. "Lo kenapa, Anjir! Bisa-bisanya pingsan di siang bolong gini."

Sembari mengomel, Melvan membantu Dave mendudukan diri dengan bersandar pada tumpukan bantal di punggungnya. "Mana gue tau. Asli pusing banget tadi gue," sahut Dave seadanya. Ya memang begitu yang ia rasakan.

"Tolong air, haus banget gue."

Jika dalam situasi seperti ini, Melvan cukup bisa diandalkan dengan gerakan sat-setnya, untung saja. Segelas penuh air mineral yang Melvan berikan padanya sudah tandas. "Jamkos enggak, sih?"

Acara besok memang cukup meriah. Dave bertanya demikian sebab menduga sekolahnya akan mempersiapkan untuk kegiatan esok hari. Murid-murid pasti diperintahkan bersih-bersih dan jika guru sedang dirasuki jin baik, mereka dipulangkan lebih awal.

"Tahu aja kalau jamkos."

"Belajar dari pengalaman aja, lah." Melvan mengangguk setuju. Dari dulu, di sekolah mana pun jika akan ada acara sekolah, sehari sebelumnya pasti warga sekolah diharuskan mempercantik dan membuat kesan bahwa tempat belajar-mengajar mereka nyaman.

"So?"

"Lanjut tidur aja, lah, gue. Lo gimana?"

"Mabar, kuy?"

"Ogah!"

Sialan, satu kata yang kini diucapkan Melvan berkali-kali dalam hati. Matanya melirik tajam ke arah dua anak Palang Merah Remaja yang sok membenahi ruangan. Bukan tanpa sebab hal itu dilakukan spontan olehnya. Dua anak—tepatnya satu dari salah dua anak penyuka kesehatan—itu mengusir dengan tak sopan saat Melvan sedang seru-serunya bermain Mobile Legend kesayangannya. Bahkan Dave yang sedang terlelap pun terbangun karena keributan mereka.

"UKS bukan tempat bolos, Kak. Kalau mau main ML di mana gitu, kek, kan bisa." Celetukan itu semakin membangkitkan api di dalam hati.

Melvan membasahi bibirnya sendiri yang sedikit kering. "Lo enggak liat sahabat gue pucat? Gue nemenin dia istirahat, Anjir." Kesalnya melirik sebal ke anak PMR yang sok kecakepan itu.

"Tidur, mah, enggak perlu ditemenin juga bisa, kan, Kak?"

Desisan keluar dari mulut Melvan saking kesalnya pemuda itu dengan keberanian adik kelas songong yang sok-sokan memberi nasihat.

"Ke kelas, yok, Melv," ajak Dave menengahi sambil menyingkap selimut yang membalut tubuhnya selama tidur tadi.

"Emang lo udah oke?"

"Aman," tuturnya turun ranjang, "Aw!" sambungnya kala kedua kakinya benar-benar menapak ke lantai.

Melvan yang sebelumnya masih duduk di ranjang, segera menghampiri. "Kenapa? Apa yang sakit?"

Dave tak lekas menjawab. Matanya tertuju pada kaki yang terbungkus kaos kaki sebatas mata kaki. "Kok kayak aneh, ya?"

Ranjang yang sudah berniat ia tinggalkan kembali diduduki. Kaos kaki ia lepas guna melihat apa yang membuat kakinya terasa mengganjal. "Cuma bengkak doang padahal," gumamnya lagi setelah melihat kakinya sendiri.

"Kok bisa bengkak?"

"Gara-gara lari tadi mungkin?" Tebakan Dave sedikit masuk akal.

Melvan lekas berjalan ke kotak obat, melewati dua anak laki-laki yang sibuk sendiri, kemudian kembali lagi dengan membawa balsem di tangannya. "Nih, pake."

"Enggak, bau kakek-kakek," tolak Dave mentah-mentah sambil memakai kaos kakinya kembali. "Yuk, ah, balik."

Melvan menggangguk nurut saja. Balsem tadi ia letakkan di atas ranjang, malas mengembalikan ke tempat semula. Toh, ada anak PMR yang begitu rajin ini, pikirnya.

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang