Tujuh Belas

1.7K 129 6
                                    

Sinar mentari menyusup dari jendela kamar tidur Dave yang sedikit terbuka. Dering alarm di atas nakas membuat anak laki-laki yang semalaman begadang main game, mulai bergerak tak nyaman. Silau dan berisik menjadi perpaduan yang saat menyebalkan baginya.

"Dave, berisik banget alarm lo, ih! Baru juga jam berapa ini, woy ...," keluh Melvan tak bangun, justru menarik selimut hingga ujung kepala untuk menghalau silau. Kantuk masih merajai mata, tapi dering ponsel tak kunjung usai, Melvan semakin emosi dibuatnya. 

"Dave! Lo dengerin gue enggak, sih?!" Tepat melampiaskan kesalnya dengan menyingkap selimut penuh kesal, Melvan tak melihat siapa pun di kamar sahabatnya.  Matanya mengitari seluruh sudut ruangan, tetapi tak juga menangkap wujud bahkan bayang sang kawannya. Dahinya mengerut, kemana perginya Dave?

Kesadarannya kembali dengan cepat kala bunyi alarm tak juga berhenti dan semakin naik volumenya. Cepat-cepat ia ulurkan tangan ke arah nakas, menarik ponsel yang membuat suasana hatinya gundah sepagi ini. "Bangke ternyata hape gue sendiri," ucapnya santai mematikan Ponsel.

Tunggu. Seperti ada yang ia salah lihat. Kembali ia lihat ponsel sendiri yang dikira ponsel milik Dave. "Bangke udah jam tujuh?!" Netranya melotot melihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. "Kemana itu si bangke?" tanyanya sembari berlari menuju kamar mandi untuk sekadar cuci muka.


Demi meminta maaf kepada perempuan yang sudah ia janjikan bertemu hari Sabtu kemarin tetapi dirinya lupa karena kalut dengan masalah keluarganya, Dave berangkat lebih pagi dari biasanya. Tujuannya tentu satu, ingin menemui Naya dan meminta maaf sebab tak menepati janji.

Tak perduli dengan anak-anak yang meliriknya sedikit sinis, terlebih saat dirinya bertanya apakah Naya sudah berangkat atau masih dalam perjalanan. Ia hanya duduk di bangku depan kelas, menatap lorong utama yang sudah pasti akan Naya lalui. Cukup lama ia menunggu, akhirnya perempuan yang ia tunggu tampak berjalan mendekat. Buru-buru Dave bangkit, tetapi pandangannya terasa berputar, tangannya terangkat memegang pelipis. "Astaghfirullah, kenapa lagi gue?" tanya Dave dalam hati. 

Dilihat lagi ke arah Naya, perempuan itu sudah tidak ada. Dave menyipitkan mata sejenak, memastikan benar tidaknya yang ia lihat. Meski masih terasa pusing, Dave memaksakan diri untuk menguatkan kakinya untuk pergi mencari Naya. Ia gelengkan kepalanya beberapa kali hingga pandangan tak begitu kabur.

Di depan kelas X MIPA 2, ada jalan menuju lapangan basket. Bisa jadi Naya tak lurus menuju kelasnya, tetapi berbelok arah melewati jalan tersebut—meski Dave juga tak tahu akan kemana perempuan yang dicari-cari itu. Dave celingukan mencari keberadaan Naya. Panas yang kian menyengat di pagi yang cerah ini membuat pusingnya semakin bertambah. "Astaga kepala gue kenapa lagi, sih, ini?" Lagi-lagi Dave menggeleng cepat.

Tepat ketika pandangannya sudah terlihat jelas, di ujung lapangan, Naya menemui seseorang yang sangat tidak ia sukai, Gara. Hatinya tiba-tiba panas hingga terasa berkobar. Segera ia ambil langkah cepat berjalan ke arah keduanya.

"Naya," panggil Dave lima meter berdiri dari Naya yang membelakanginya. Gara yang pertama kali melihat Dave, menorehkan senyum di bibir kiri. 

Tatapan datar Dave membuat banyak orang di lapangan tertarik untuk menonton. Dave sempat menatap orang-orang di sekitarnya. Jujur ia risih menjadi pusat perhatian, tapi apa perduli dirinya? Ia hanya ingin meminta maaf secara tulus kepada Naya karena sudah mengingkari janji, meski hal tersebut bukanlah disengaja.

"Nay," panggil Dave lagi. Ia memangkas jarak hingga tersisa kurang dari dua meter mereka saling berhadapan. Kali ini Naya menatapnya dengan penuh tanda tanya .... juga rasa kecewa. Mungkin perempuan itu tiba-tiba teringat dengan janji yang pernah laki-laki itu buat kepadanya. Dari tatapannya saja, Dave sudah yakin Naya kecewa. Namun, mau bagaimana lagi. Yang jelas sekarang ia akan meminta maf dan memberi penjelasan.

"Gue minta maaf soal janji gue tempo hari. Gue salah, gue lupa sama janji yang gue buat sendiri. Waktu itu hujan, lo enggak datang, kan?" tanya Dave memastikan. Ya, Sabtu sore sempat turun hujan, sekitar pukul empat sore. 

Naya tersenyum tipis. "Saya datang, Mas. Karena saya tahu, janji itu harus ditepati. Meski sebenarnya saya endak tahu mau apa Mas Dave ajak saya ketemuan, saya tetap datang mengingat itu adalah janji. Tapi Mas malah endak datang."

Kecewa. Kalimat yang keluar dari mulut kecil Naya hanyalah berisi kekecewaan. Dave sama sekali tak berpikir demikian. Ia kira, Naya tak datang meski permintaannya adalah sebuah janji karena hujan saat itu. Bayangan Dave rupanya salah. 

"Gue minta maaf. Ada alasan kenapa gue enggak bisa datang waktu itu." Dave berusaha meyakinkan Naya. "Keluarga gue tiba-tiba—"

"Enggak usah beralasan macam-macam, deh, lo. Mau jual cerita keluarga segala. Lo pikir Naya bakal percaya?" Tanpa diminta berpendapat, Gara langsung ikut campur ke percakapan Dave dan Naya yang mulai sedikit memanas.

Emosi Dave lumayan tersulut, tetapi di hadapan Naya, ia tak boleh menunjukannya. "Gue enggak lagi jual cerita keluarga gue. Emang kenyataannya—"

"Sudah, Mas Gara. Ayo ke kelas," ajak Naya dengan senyum tulusnya. Perempuan itu tak mau memicu keributan lagi seperti beberapa hari yang lalu. "Mas Dave juga masuk ke kelas. Jangan bolos biar endak dihukum."

Setelahnya Naya berlalu beriringan dengan Gara yang sempat memberikan senyum miring, Dave yang hanya bisa menatap punggung keduanya semakin menjauh. Beberapa orang yang menyimak pun, saat Dave menatap sekeliling, langsung pergi.

"Shit! Berengsek juga lo, Dave."


Seminggu berlalu begitu cepat sejak Dave meminta maaf kepada Naya yang tak ia tepati janjinya, Dave mulai pasrah. Pasrah, bukan menyerah. Beberapa kali ia coba menemui dan menjelaskan, tetapi Naya tampak berubah tak seperti biasanya, bukan seperti yang Dave kenal selama ini—beberapa hari belakangan.

Jika bisa, pasti ia akan pergi dari tempat paling ia benci sekarang, rumahnya sendiri. Bagaimana tak ingin pergi, tempat yang sudah beberapa tahun sejak kelahirannya menjadi tempat kembali ternyaman, kini tak ada bidadari yang menjaga lagi, sudah hilang perasaan nyaman itu. Yang ada malah tak betah, tak ingin berlama-lama di sana.

"Kamu pakai setelan ini ya, Dave. Bersikap sopan di depan tamu-tamu papa, jangan pernah bikin keributan, jangan buat onar, jangan memandang sinis ke calon ibumu, jang—"

"Bukannya dia yang sinis ke Dave ya, Pa?" tanya Dave memutar tanya. Selama ini memang yang ia lihat calon istri ayahnya terlihat datar, jelas tak menyukainya, hanya mencintai harta ayahnya saja.

Jangan anggap Dave berpikir demikian karena tak suka ada yang mengganggu rumah tangganya, itu memang salah satunya, tetapi memang Dave merasa kurang nyaman dan merasa ada yang perempuan itu sembunyikan. Dave tak tahu apa itu. Entah benar, atau hanya perasaan saja. 

"Kamu jaga sikap ya, Dave! Dia calon ibumu. Kalau papa lihat kamu sinis ke calon ibumu lagi, ayah enggak akan segan-segan usir perempuan itu pergi dari sekitarmu. Kalian enggak akan pernah bertemu. Atau papa sita semua fasilitas yang sudah papa beri ke kamu."

Dave hanya mampu tersenyum miring ke rangkaian ancaman yang ayahnya katakan. Dirinya sudah tak begitu perduli dengan fasilitas yang ia punya dari orang tuanya. Fasilitas dari ayahnya diambil? Ia bisa ke rumah oma-opa, mereka pasti akan dengan senang hati memberikan berapapun yang Dave minta, secara ia cucu tunggal dari pengusaha kaya yang cabangnya sudah tersebar di seluruh Indonesia.

"Pekan depan akan diadakan resepsi di gedung Gelora Indah Permata. Ayah undang banyak orang-orang penting. Awas saja kalau kamu mengacau ya, Dave!"

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang