Dua Puluh Satu

1.7K 112 68
                                    

Gorden biru cerah disingkap dalam satu kali gerakan tangan yang sudah ahli dalam hal mengurus rumah hingga ruangan tampak sedikit lebih hidup. Ditatapnya anak muda yang masih terpejam di ranjang dengan beberapa alat masih menempel pada tubuh. Hanya satu yang sudah dilepas—tepatnya diganti—masker oksigen menjadi nasal kanul, sejak dipindahkan ke kamar kelas satu, agar bisa lebih intensif lagi perawatan yang Dave dapat. 

Darah berdesir teratur, detak tak seberantakan semalam, bayangan hitam mulai mengabur tergantikan rasa kering yang berlebihan. Dalam sekali hitungan, meski dengan mata terpejam, ia berusaha menelan ludah demi mengurangi rasa perih di tenggorokan. Dahinya berkerut, membuat seseorang yang sejak semalam menanti dirinya mulai memperhatikan.

"Dave? Sudah sadar?"

Tunggu, suara itu, Dave sepertinya tak asing, tetapi tak ada yang terlintas di pikirannya siapa pemilik suara bernada lembut yang baru saja masuk ke gendang telinganya. Penasaran, Dave perlahan melepas lem yang melekatkan dua kelopak matanya. Berat, sungguh. Saat sudah sedikit terbuka, ia lekas menyipit oleh sebab pancaran sinar lampu kamar yang begitu menusuk penglihatannya. 

Hingga beberapa saat mengerjap menyesuaikan pandangan, Dave mulai melihat sekitar, meski buram ia terus berusaha memfokuskan penglihatannya supaya tak begitu hilang. "Dave? Betulan sadar ya kamu?" Pertanyaan dari suara yang sama lagi-lagi membuatnya lekas menyadari ada seseorang yang duduk di samping ranjangnya.

Satu hal pertama yang Dave lihat adalah senyum hangat sosok wanita di sampingnya. "Mam—" Tidak. Lagi-lagi Dave sipitkan lagi pandangannya. Sungguh matanya benar-benar setidak jelas itu. Akhirnya ia menyadari, bukan sosok yang ia harap-harapkan menunggu dirinya siuman, tapi tak juga Dave tolak kehadirannya.

"Dave haus, ya? Mau tante ambilkan minum?"

Tak ada perlawanan, Dave hanya mengangguk lemah. Tidak bisa dipungkiri bahwa tenggorokannya benar-benar seperti sawah yang tak pernah dibajak dan tak pernah dialiri air barang setetes pun. Jika diingat-ingat, ia belum minum air mineral sejak kemarin, astaga.

Membiarkan sahabat putranya menyesuaikan diri dengan tempat bertarungnya sejak semalam, Tari mulai menaikkan sandaran Dave agar lebih nyaman saat makan atau minum. Dave pun hanya diam, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali mengikuti apa pun yang wanita itu lakukan. Tubuhnya benar-benar seperti kehilangan tenaga, bahkan sekadar bergerak sedikit saja rasanya tak bisa. 

Senyum hangat di bibir Tari tak pudar, ia kembali meraih segelas air mineral dengan sedotan putih  yang baru ia buka pelapis plastiknya. Wanita berpakaian sopan tetapi santai itu kembali duduk, memajukan sedikit posisi kursinya, barulah ia mulai menyodorkan sedotan ke bibir Dave yang begitu kering dan pucat.

"Minum dulu, Sayang. Kamu pasti haus banget dari kemarin belum minum, kan?" Dave tak menjawab Tari dengan kalimat, tetapi langsung menyeruput air mineral yang sudah ia rindukan. Baru satu kali tegukan, Dave mengernyit. Walau demikian, anak itu tak melepas sedotan dari bibirnya. Tari semakin tak tega dibuatnya.

"Sabar, Nak, minumnya. Pelan-pelan aja, pasti tenggorokan kamu juga kaget orang dari kemarin enggak ada yang ngelewatin dia," kata Tari menenangkan sambil mengusap pelan puncak kepala Dave yang basah penuh peluh lalu membenarkan nasal kanul yang sedikit turun.

"Terima kasih, Tante." Singkat, padat, mampu membuat Tari tersenyum semakin lebar. Memang jika dasarnya sudah memiliki adab, sesakit apapun pasti bisa sopan. Tari lantas bangkit, meletakkan lagi segelas air yang sudah berkurang setengah. Tangannya lagi-lagi tak tinggal diam, ia mulai menarik pelan food tray di nakas kemudian membuka tutupnya.

Sup tahu bening, bubur, serta beberapa potong buah yang tampak masih segar meski sudah didiamkan satu jam yang lalu. Dave memandang Tari yang sumringah menyiapkan makanannya langsung menutup mulut rapat-rapat. Hal itu disadari langsung oleh Tari. "Loh? Kenapa tutup mulut? Enak loh ini. Sup tahu bening. Cocok buat pulihin energi kamu yang habis buat tidur dari kemarin."

Dave menggeleng. Dari jauh saja, aromanya sungguh menyengat membuat perutnya yang semula nyaman-nyaman saja, kini mulai bergemuruh mual. "Dave mual nyium baunya, Tante."

"Jangan gitu, ini enak banget loh, Dave. Dicoba dulu, yuk?" pinta Tari mulai mendekatkan sendok berisi bubur dengan potongan tahu kecil di atasnya ke mulut Dave. 

Tak sama seperti tadi saat ditawari air mineral ia langsung menerima tanpa sedikit pun penolakan, kali ini ia memalingkan wajah. Sungguh, baunya saja sudah membuatnya ingin muntah. "Kamu enggak kasihan sama tante yang udah masakin ini buat kamu? Dari pagi tante masak ini di rumah tahu, sebelum ke sini."

Diam membisu, Dave terdiam saat Tari berucap demikian. Penolakan darinya akan membuat Tari seperti tak dihargai, padahal wanita itu sudah berbaik hati menyempatkan memasak untuk dirinya. Bahkan yang dimasak pun bukan sembarangan, tetapi sup tahu yang memang dibuat untuk membuat tubuh lekas berenergi. Segera ia tepis egonya, mengesampingkan mual yang tak kunjung hilang—terlebih kala hidungnya mencium aroma kuah segarnya—ia kembali menatap Tari dengan tatapan sayu.

"Nah, gitu dong. Baru anak tante."

Satu suapan bubur dengan sup tahu sudah masuk ke mulut Dave. Tari mematung, memandang Dave yang mulai mengunyah pelan sup buatannya. Panjang jika dijelaskan, intinya jika ditanya mengapa ia masak untuk Dave padahal sudah disediakan dari rumah sakit, jawaban Tari hanyalah ..., ia ingin Dave lebih lahap makan dengan makanan yang berasa, tidak hambar. Jatah sarapan dari rumah sakit? Dihabiskan oleh Melvan sebelum berangkat ke sekolah.

Sumpah demi apa pun, rasanya tidak seperti bayangannya. Perpaduan bubur yang tak begitu banyak rasa, ditambah sup yang rempah-rempahnya begitu terasa, Dave rela mati-matian menahan mualnya demi menikmati sarapan buatan tante Tari untuknya. Dirasa berhasil, Tari tersenyum senang. Ia menyiapkan suapan berikutnya sambil menunggu Dave menghabiskan yang sudah ada di mulut.

Pikirannya tiba-tiba tertuju pada perkataan dokter yang pagi-pagi buta sudah ke ruangan Dave untuk melakukan pemeriksaan. Tak banyak sebenarnya, tetapi dari raut wajahnya, seperti ada yang ingin dokter itu sampaikan. Ada sedikit penyesalan saat dokter menemuinya di luar ruangan hendak berbicara sesuatu, ia malah mengaku bukan wali dari Dave. Bukan bermaksud ingin berbohong atau ikut campur dengan masalah sahabat putranya sendiri, tetapi mengingat keluarga Dave yang tampaknya belum memerdulikan putra semata wayang mereka, Tari harusnya turut andil mewakili dahulu hingga orang tua Dave kembali memerdulikannya.

"Tante?"

"Hah? Ah! Maaf, Dave. Tiba-tiba tante kepikiran omongan dokter, jadi ngebleng."

"Omongan dokter yang nanganin Dave?"

Tari mengangguk pelan sambil menunduk. Dave tak tahu apa yang Tari pikirkan hingga tiba-tiba setetes air mata tampak meluncur dari pelupuk mata. Bahu wanita tangguh di samping Dave mulai bergerak naik turun membuat Dave bingung. "Kamu kenapa bisa jadi begini sih, Dave? Melvan selalu iri sama ceritamu yang dulu sering main sama mama papa, sampai tante mikir kalau tante ini enggak bisa jagain Melvan, sampai dia iri sama kehidupan orang lain. Kenapa sekarang malah jadi begini, Dave?"

Sepertinya Tari sudah tahu masalah keluarganya. Diam-diam Dave menyumpah-serapahi Melvan yang berani-beraninya bercerita tentang masalah keluarganya. Padahal ia tak mau jual cerita drama seperti ini. Ah, dasar kurang ajar Melvan! Sekarang lidah Dave kelu, tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Tadi dokter bilang, orang tua kamu harus temuin dokter yang periksa kamu. Ada yang mau dibahas katanya, penting. Kamu hubungin, deh, mama atau papa kamu. Tante khawatir ada masalah sama kesehatanmu. Kelihatan beda banget kamu dari terakhir tante lihat." Tari mengusap air mata yang kenggaris di kedua pipi.

Dave hanya mengulas senyum singkat. Tak terlintas dalam pikirannya untuk menghubungi atau memberitahu kondisinya kepada kedua orang tuanya. Bahkan datang saja tidak, padahal Rendra pasti tahu dirinya pingsan dan dirawat di sini. Stevi? Perempuan itu meski begitu ia cintai, sepertinya cintanya bertepuk sebelah tangan. Mama membuangnya di titik terendah.

"Terima kasih, Tante." 

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang