Matanya menyipit kala pandangannya mulai buram. Sialan, perasaan serta hatinya terasa kacau. Matahari masih tampak dari barat, tetapi badannya terasa dingin. Mungkin hanya perasaannya saja, atau memang sang tubuh sedang dalam kondisi tak baik.
Pernyataan dokter Agus membuatnya semakin merasa Tuhan sedang mengutuknya. Bagaimana bisa, ia belum bisa sepenuhnya menerima kehancuran keluarganya, kini justru tubuhnya turut memberontak sakit. Dave terus berpikir, apa yang salah dengannya? Mengapa Tuhan begitu beruntun memberinya cobaan.
"Kayaknya gue bakalan cepet mati, deh. Makanya Tuhan ngasih cobaannya langsung banyak, kagak dicicil dulu," lirihnya datar menatap awan yang menggantung cantik.
Lekas ia sadar, bagaimana bisa ia sedatar itu menatap gumpalan manis di hamparan angkasa yang luas? Tidak boleh, dirinya memang hancur, tetapi dunia tidak boleh melihatnya terpuruk. Senyum manis langsung tergores menutup perihnya rasa dalam hati. "Gue kuat, kok, tenang aja."
Tak mau berlama-lama duduk di bangku taman karena hari sudah mulai petang, Dave bangkit dan mulai mengayunkan kakinya ke lorong panjang untuk menuju ke ruang rawatnya. Bisa-bisa oma opanya akan khawatir mencarinya tak ada di kamar.
🌨️
"Habis ke mana, Dave?" Pertanyaan terlayang saat Dave baru saja masuk ke ruang rawatnya. Opa menatapnya sinis sembari kedua tangannya mempertahankan koran di tangannya. Sedangkan oma langsung tergopoh-gopoh menghampiri cucu kesayangannya yang baru terlihat batang hidungnya.
Dave tersenyum lebar, berharap bisa menenangkan cemas dua orang paruh baya yang menjaganya sejak kemarin. "Dave habis cari angin, Opa, Oma. Di kamar terus enggak enak, tau. Enggak ada teman." Sambil dituntun oma, Dave berjalan ke ranjang. Padahal badannya sudah baik-baik saja, tetapi masih saja dikhawatirkan.
"Maaf, ya. Oma sama opa tuh tadi ada urusan, jadi ke sini sorean. Eh kamu malah enggak tahu ke mana. Oma tanya ke ners yang jaga, enggak tahu juga. Mana ditelepon enggak aktif lagi. Habis ngapain aja, sih?"
Tangannya yang semula hendak mengambil segelas mineral di atas nakas, mendadak kaku. Vonis dokter Agus kembali membuat hatinya berdebar. Mendadak hatinya tak nyaman. Namun, ia lekas sadar, oma opanya tengah memperhatikannya. Ia langsung menarik segelas air kemudian menenggaknya hingga tersisa setengah.
Apakah ia harus berbicara dengan oma opa? Ah, tidak. Mereka tidak perlu tahu. Dave tak ingin mereka malah memikirkan hal-hal menakutkan di usia senja. Dave tak mau juga harus mengganggu kehidupan dua orang yang sudah waktunya menikmati masa-masa tuanya bersama. Dave tak mau menyusahkan lebih banyak orang lagi.
"Dave malam ini pulang kan, Oma?" Mengalihkan topik lebih baik daripada harus berlarut-larut membahas yang tak jelas. "Dave udah baik banget ini kondisinya," lanjutnya menunjukkan otot lengannya. Terlampau random, tetapi memang harus begitu agar oma dan opa percaya.
Rima menanggapi dengan menepuk pelan punggung cucunya. "Kamu itu, ya. Muka masih pucat begitu minta pulang terus. Mau ngapain, sih, di rumah?" Kalimat yang Rima ucapkan, justru semakin membuat keadaan makin canggung. Rima lekas mengatupkan bibir, tahu ia salah bicara. Ia melirik Adi, memberi kode agar dibantu meralat dan menjadikan suasana kembali hangat.
"Bebas dong, ya, Dave. Oma ini kepo banget jadi orang. Di rumah, kan, lebih enak. Mau tiduran, makan, ngegame, lebih leluasa. Iya, kan, Dave?" Dave tahu omanya tampak canggung karena membahas rumah tangga orang tua Dave yang pasti tak semenyenangkan dulu. Alhasil ia hanya mengangguk sambil tersenyum.
Jangan sampai situasi semakin larut dalam ketidaknyamanan, Dave langsung berjongkok di depan lemari tempatnya meletakkan pakaian ganti. "Oma kita mulai packing sekarang aja, enggak, sih? Jadi nanti kalau dokter ke sini buat kasih izin pulang, kita tinggal keluar, deh."
Paling pandai memang jika urusan mengalihkan topik. Rima buru-buru membantu cucunya mengemasi barang bawaannya yang akan di bawa pulang. Tak begitu banyak, tetapi tetap saja mampu membuat tas penuh.
🌨️
Memang pada dasarnya anak keras kepala, dibujuk ratusan kali sampai mulut Adi berbusa pun, Dave akan membalas dengan ribuan kali penolakan atas ajakan untuk tinggal sementara di rumahnya. Sebetulnya Dave ingin, tetapi sepertinya ia belum perlu. Lagi pula, jika di rumah oma, nanti bagaimana dengan tugas-tugas sekolahnya? Bagaimana dengan pakaian sekolahnya? Kehadirannya juga pasti akan menyusahkan kakek neneknya.
Sudah cukup empat hari saja Dave menyusahkan Rima dan Adi, ia tak mau lagi. Meski harus kembali ke rumah yang sebetulnya ia tak ingin ia sambangi, tempat pulangnya tetap di sana. Persetan dengan Rendra dan istri barunya. Dave akan mengacuhkan keduanya. Anggap saja ia hanya akan numpang makan dan tidur saja.
"Beneran ini enggak mau tinggal sama opa dulu?" tanya Adi untuk kali yang ke sekian, Dave sampai mendesah panjang. Opanya sungguh gigih membujuknya. Namun sayang, kemauannya terlalu kuat, sehingga ia langsung menggeleng pasti.
"Enggak. Udah cukup Dave repotin Opa sama oma dari kemarin. Dave kangen sama kasur Dave."
"Yaudah, kamu baik-baik di rumah, ya. Kalau ada apa-apa telepon opa aja langsung. Opa langsung jalan, ya?"
Dave mengangguk usai menyalami opanya yang terus memberikan wejangan. "Iya, Opa. Nanti aku telepon." Dave menyunggingkan senyum manisnya. "Opa enggak mau masuk dulu?" Dari raut Adi yang mendadak berubah, Dave tahu, hubungan kakek dan orang di rumahnya pasti masih buruk.
"Yaudah. Dave juga langsung masuk ya, Opa? Opa hati-hati. Oma, Dave masuk duluan. Pai-pai."
🌨️
"Masih hidup kamu? Masih punya muka juga kamu buat pulang?"
Jawaban salam Dave dari pintu utama, dibalas sautan tajam yang menusuk telinga. Siapa lagi jika bukan Rendra yang sebegitu benci kepadanya sejak menalak dan menceraikan istri sah yang merupakan ibu kandungnya? Dave tak mau ambil pusing dan tak mau ribut. Jujur tubuhnya sudah mulai pegal, ingin cepat-cepat merebahkan diri.
Hanya melirik sekilas, Dave terus melanjutkan ayunan kakinya ke arah tangga yang menghubungkan lantai satu dengan kamar tidur. "Hilang adab kamu setelah buat gaduh di tempat nikahan papa sama habis dipukul anak kepala sekolah?"
Langkahnya tertahan. Mata yang semula hanya fokus pada jalan menuju tangga, kini terpancar rasa tak suka. Tanpa ekspresi, Dave berbalik badan menengok ke arah ayahnya yang sejak tadi hanya duduk diam di ruang keluarga ditemani wanita sialan yang bergelayut mesra.
Dave berdecak kecil. Melihat perempuan itu saja, matanya terasa panas. Buru-buru ia alihkan pandangannya lagi. "Papa tau aku sakit, tapi sekali pun apa Papa jenguk aku?" Dave berbalik tanya. "Enggak, kan? So, apa perduli Papa sama hidupku? Dave capek."
Emosinya langsung naik ke ubun-ubun, Rendra bergegas bangkit dan berjalan menghampiri anaknya yang semakin tampak kurang ajar. Namun, langkahnya terhenti perkara ponsel mendadak berdering dari ruang kerjanya. Dave? Hanya berdiri diam, melihat gerak-gerik ayahnya yang perlahan menjauh.
Setelah Rendra pergi ke ruang kerja dan mengurungkan niat untuk memberi pelajaran padanya—mungkin—Dave lagi-lagi melirik sejenak ke wanita yang hanya duduk menatapnya datar, kemudian buang muka dan segera menaiki satu persatu anak tangga.
Di pertengahan jalan, perut kirinya mendadak terasa nyeri. Spontan Dave menyentuh titik rasa sakit yang datang sambil sedikit mendesis. Kakinya melemas, dibarengi dengan napas mulai tak teratur juga keringat dingin membasahi pelipis. Tak mau kambuh sebelum sampai di kamar, Dave memaksa kakinya untuk menaiki satu persatu anak tangga lagi.
Tepat di tangga paling atas, teriakkan memanggil namanya terdengar nyaring membuat Dave langsung berbalik badan dan matanya sungguh terbelalak terkejut setengah mati. Jantungnya berdetak cepat tak karuan. Wanita yang terakhir kali ia lihat sedang duduk memperhatikan dirinya dengan tatapan datar, kini terkapar tak sadarkan diri di anak tangga paling bawah.
"Dave!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Come To Leave (Revisi)
Novela Juvenil#sicklit #fiksiremaja Rahasia kedua orang tuanya yang terkuak sungguh memuakkan. Keluarganya semakin hancur bersama tubuh yang turut melebur bersama kata lemah dan lelah. Tak tahu dan tak mengerti apa yang sebenarnya Tuhan inginkan darinya. Dave han...