Dua Puluh Tiga

1.7K 117 106
                                    

Keheningan yang semula merayap di ruangan putih tanpa keributan yang berarti, kini tergantikan dengan berisiknya ocehan Melvan dan suara yang keluar dari ponsel bocah tengil yang sekarang serius menggenggam ponsel miringnya sambil mengunyah batagor.

Sesekali Dave melirik ke sofa tempat Melvan memainkan game Mobile Legend-nya. Mendadak suasana hatinya rusak gara-gara suara yang begitu mengganggu pendengarannya. "Melvan!" panggil Dave sedikit berteriak, jika tidak demikian, maka suaranya takkan masuk telinga.

Tak banyak menggubris teriakan sahabatnya yang tak begitu dekat dengannya—sekitar tiga meter jarak antara ranjang dan sofa—Melvan hanya melirik sedetik dan menjawab dengan kata "Heeh" saja. Dave semakin kebakaran jenggot, ia menarik bantal di belakang punggungnya lalu melempar kasar ke arah Melvan.

"Gue bilang berisik, ya, berisik, Melvan!" Dari nada bicaranya, sama sekali tak ada kesan bercanda sedikit pun. Sadar dengan perubahan Dave yang sedari tadi tak ia sadari, Melvan mematikan ponselnya—setelah game berakhir karena kekalahan yang ia dapat—dan menatap Dave bingung.

Napasnya cepat, rautnya sungguh tak santai, mendadak udara di ruangan yang tak sempit itu seperti bersembunyi. Suasana berubah tegang ketika Dave menatap tepat mata Melvan datar. Jujur Melvan berdebar, bukan karena cinta! Melainkan seriusnya Dave, bencana baginya. Seperti yang sudah-sudah, Dave tampak diam tak mengoceh, nyatanya menyimpan rasa ingin bunuh diri. Gila, bukan?

Mata Dave beralih menatap ponsel yang masih setia menempel di tangan kiri sahabatnya. Sadar apa yang sedang Dave perhatikan, Melvan buru-buru meletakkan ponselnya di sofa, kemudian mengangkat tangan seolah tertangkap bersalah. "Udah gue taruh."

Dave memalingkan wajahnya sembari mencari posisi nyaman untuk tubuhnya lagi. Bantal yang ia lemparkan ke Melvan, tak mengenai sasaran sama sekali, nasibnya kini hanya tergeletak di depan kaki Melvan. Jarang sekali Mevan dapati situasi seperti ini. Selama bersahabat dengan Dave, bisa dihitung jari Melvan melihat Dave yang benar-benar marah. Itu pun tak berlangsung lama karena memang Dave tipikal orang yang mudah melupakan masalah.

Berbeda dengan beberapa waktu belakangan ini, Melvan seperti melihat sisi diri Dave yang lain, yang selama ini disembunyikan tanpa ada orang yang tahu. Bukan marah atau malah benci, Melvan justru merasa iba dan bersalah. Awalnya memang sedikit mengejutkan—terlebih saat Dave dalam masa depresinya karena masalah perceraian orang tuanya yang begitu mendadak—lama kelamaan Melvan sadar bahwa Dave sudah terlalu banyak menyimpan sakit sendiri.

Perubahan sikapnya jika dipikir-pikir sangat wajar. Seseorang akan berubah jika menemui sesuatu hal yang belum pernah ditemui sebelumnya. Entah baik atau buruk, ada saja penyesuaiannya, Melvan yakin dan sudah membuktikannya sendiri. Tugasnya sekarang adalah mengembalikan Dave menjadi seperti dulu, sosok kuat dengan tawa yang lebar saat bersamanya.

Hanya bisa menatap punggung Dave dari jarak kurang lebih tiga meter, otaknya mulai bekerja, apa yang Dave rasakan hingga semarah ini. Tangannya menarik ponsel yang semula teronggok di samping pahanya. "Dave, lo kenapa lagi? Ada yang sakit atau gimana?" Melvan berjalan mendekat, tak lupa menyelamatkan bantal yang naas tergelak di lantai, kemudian menarik bangku di samping ranjang dan mendudukinya.

"Atau ada masalah lagi sama bokap nyokap lo?" cerca Melvan tak mau menyerah. Tak ingin ia buat sahabatnya merasa sendirian lagi dengan masalahnya.

Jangankan jawaban, gelagat akan membalas rentetan pertanyaan Melvan saja tidak ada. Hanya sesekali terlihat napas Dave sedikit berat. "Dave? Lo tidur? Lo masih dengerin gue, kan?"

Tepat saat Melvan hendak menyentuh tangan kanan Dave, pintu ruang rawat terbuka dan menampilkan seorang wanita berpakaian serba putih membawa papan catatan. Segera ia urungkan niatnya, ia memilih menyapa ners Mia yang berjalan mendekat, tetapi dengan suara lirih.

"Sore, Ners Mia," sapa Melvan pelan, sambil sesekali melihat ke arah Dave yang sepertinya tak terganggu dengan orang lain yang masuk ke ruangannya. Ners Mia hanya menanggapi dengan senyum sopan.

Sebelum benar-benar ke posisi seberang dirinya duduk untuk mengecek alat-alat yang terhubung dengan tubuh Dave, Melvan menarik pergelangan tangan ners Mia membuat perempuan itu menahan langkah dan mengernyit. "Kenapa?" tanyanya tanpa suara.

"Dave lagi kenapa? Udah dari tadi kayak gini atau gimana? Kok jadi aneh?"

Tebakan ners Mia benar, terlihat jelas bagaimana canggungnya Melvan sejak ia masuk, ditambah menyapa dirinya dengan pelan, ia paham pasti ada sesuatu terjadi, maka dari itu sempat ia juga bertanya tanpa suara. Tangannya yang bebas tak memegang apa pun, dengan halus melepas tangan Melvan dari pergelangan tangannya.

Melvan langsung sadar dan langsung meminta maaf, lagi-lagi tanpa suara. Ners Mia langsung mengangguk, ia tahu Melvan tak sengaja. "Tadi Dave ketemu dokter Agus katanya. Habis itu kayak gini, uring-uringan. Saya ajak ngobrol juga enggak mau," bisik ners Mia di belakang telinga Melvan, sambil sesekali melirik pasiennya.

Ketemu dokter Agus sendirian maksudnya?

Kini Melvan terdiam, membiarkan ners Mia melaksanakan tugasnya sedangkan dirinya mencerna maksud ucapan ners Mia. Ketika hendak berangkat sekolah pagi tadi, seorang dokter mendatangi ibunya yang berada di luar ruangan lantas mengatakan bahwa pihak keluarga Dave harus segera bertemu dengan dokter itu untuk membahas kondisi Dave. 

Walaupun tak sepenuhnya menyimak, Melvan paham ada sesuatu yang serius dengan kondisi sahabatnya. Melvan tak berani menerka-nerka, ia hanya bisa berdoa dan berharap tidak ada hal buruk yang akan menimpa kawan terdekatnya selama ini—meski nyatanya sulit untuk berprasangka positif sekarang.

"Tensinya tinggi terus kamu, Dave. Jangan stres, ya? Santai aja, pikirkan kesembuhanmu aja, jangan mikir macam-macam." Lamunan Melvan buyar usai mendengar ners Mia memberi tahu hasil tensinya.

Seraya menjauh dari alat-alat yang sudah dicek dan digunakan, ners Mia giliran memberi wejangan kepada Melvan. "Kamu jagain temanmu yang benar. Jangan main game terus, kalau mau main game, mending pulang aja. Dave juga butuh istirahat. Oke?" Tak membantah sama sekali, Melvan langsung mengangguk sembari meruntuki diri yang baru menyadari bahwa dirinya begitu mengganggu istirahat sahabatnya.

Dari tempatnya duduk, Melvan hanya menyaksikan ners Mia menjauh dan akhirnya hilang tertelan daun pintu yang kini kembali tertutup rapat. Ia menghela napas panjang sebelum menatap punggung sahabatnya lagi yang masih belum juga mau merespons dirinya. Bukan Melvan namanya jika menyerah begitu saja. Satu kali berdeham untuk menyiapkan suaranya, otaknya turut bekerja merangkai kata.

"Dave, lo kenapa? Bokap nyokap lo ada masalah lagi, ya? Atau ada yang kerasa sakit lagi?" Bukan bungkam yang ingin Melvan dapatkan sebagai jawaban. Melvan sedikit memajukan posisi kursinya ke ranjang, mencari kenyamanan sebelum melanjutkan berceloth.

"Lo sahabatan sama gue udah berapa lama, sih, Dave? Gue pikir bukan baru sehari dua hari, deh. Iya enggak, sih? Apa cuma gue yang ngerasa persahabatan kita ini udah lama banget?" tanya Melvan mulai serius.

"Arti sahabat buat lo sendiri tuh apaan, sih, Dave? Gue sering ngeluh ke lo, dan lo selalu nanggepin, selalu dengerin, dan lo bilang kalau gue ada masalah apa pun, bisa ceritain semuanya ke lo. Tapi giliran lo yang punya masalah, lo sendiri diam. Gue selalu cerita karena gue tau, sahabat itu saling dengerin. Lihat sekarang, lo ada masalah, lo enggak cerita apa pun ke gue."

"Fine, mungkin gue emang enggak bisa kasih solusi apa-apa buat permasalahan lo, tapi setidaknya hati lo lega kalau udah cerita. Gue sendiri ngerasain itu, Dave, setelah curhat ke lo. Kadang kita enggak butuh solusi, kan? Yang kita butuhin cuma didengar, terlebih sama orang yang kita sayang, orang yang kita percaya. Gue enggak mau lo diam kayak gini, lo bisa ceritain apa pun masalah lo ke gue. Toh, gue enggak akan mengha—"

"Dokter bilang gue ada masalah jantung, Melv."


Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang