Sebelas

1.8K 126 24
                                    

Bukan Dave yang menyaksikan Upin Ipin di televisi ruang keluarganya, melainkan kartun bertokoh utama dua anak botak-lah yang kini menjadi pengantar tidur pemuda yang kini meringkuk di kursi santai. Suara roda kecil berdecit menemui lantai, membuatnya terusik hingga terpaksa melebarkan mata.

Pemilik rumah rupanya sudah pulang. Dave mencari keberadaan jam dinding, sedikit heran apakah dirinya terlalu lama tidur, atau ayahnya yang pulang terlampau cepat. Pukul sebelas lebih dua belas, Dave mengernyit. Pria tua yang selalu dipanggil "papa" belakangan ini sering membuang waktunya di rumah.

Sungguh aneh, Rendra memasuki kamar dengan koper hitam di genggaman. Dari mana pria itu? Ah, bodo amat. Tak tahu dan tak mau tahu. Ketika hendak naik ke lantai atas, Rendra keluar lagi, dengan langkah sedikit terburu-buru. Rasa ingin tahu tiba-tiba menghampiri. Dave kembali duduk di kursi, sembari mengusap pinggang kiri yang sedikit terasa nyeri.

"Biar aku aja yang bawa."

Kalimat itu menandakan ada seseorang yang Rendra temui atau bawa. Bersamaan iklan sosis di layar, Dave menoleh. Matanya terkunci pada wanita berpakaian lumayan ketat pendek yang mengikuti langkah Rendra ke .... kamar?

"Siapa?" tanya Dave langsung, tak mau basa-basi, suara dan tatapan datarnya membuat Rendra menghentikan langkah, berbalik badan disusul perempuan di belakangnya.

"Anggap aja dia ibu barumu."

Telinganya yang rusak akibat tertindih saat tidur atau ucapan aneh ayahnya yang sungguh menyapa gendangnya? Dave bangkit, menahan langkah Rendra agar tak lekas pergi.

"Maksud papa apa? Mana mama?"

"Loh, kamu enggak tahu kalau dia kabur?"

Dave bungkam, otaknya yang baru sedikit ready setelah bangun tidur, dipaksa berpikir keras memahami maksud perkataan ayahnya. "Maksudnya?"

Rendra tersenyum miring. "Dia kabur setelah menerima surat perceraian dari papa. Mungkin dia balik lagi dua tiga hari buat antar surat itu yang udah ditandatangani. Belum baca surat di nakas kamar tamu?"

Dahinya kembali menunjukkan kebingungan yang tiada akhir. Surat? Nakas? Segera laki-laki yang diliputi kebingungan itu berjalan cepat ke kamar tamu, mencari surat yang dimaksud. Di nakas, ada satu surat bertinta hitam mencuri perhatian.

Mama pisah sama papa kamu, jangan cari mama. Mama enggak peduli sama kamu, jadi kamu enggak perlu peduliin mama.

Lagi-lagi dirinya dibuat membantu untuk kesekian kalinya di hari yang sama, matahari belum terbenam tetapi sepertinya malam tadi malam yang begitu panjang, Dave sama sekali tak tahu apa pun. Kepalanya mendadak ingin pecah. Ia hanya mampu duduk di tepi ranjang sambil meremas kuat surat di tangan. Bukan, bukan ia marah pada Stevi, melainkan satu yang Dave pikirkan, apa yang ayahnya lakukan hingga Stevi pergi begini.

Tak mau hanya berpikir tanpa bertindak, Dave berlari ke kamar, mencari kunci motor dan bergegas ke tempat ibunya bekerja. Di ruang keluarga, Rendra hanya menyaksikan tanpa berkomentar apa-apa.

Fokusnya terpecah. Banyak yang membebani kepalanya saat ini hingga terasa begitu berat. Dave tak menghiraukan tubuhnya yang mulai berontak tak karuan. Sampai di salah satu butik besar yang agak jauh dari rumahnya, Dave langsung menemui resepsionis yang sedang berjaga.

"Permisi, saya mau ketemu ibu Stevi, bisa?"

"Maaf, anda siapa, ya?"

"Saya mau ketemu mama saya."

Kening wanita ber-nametag Suvi itu mengerut, kemudian berbisik kepada salah satu teman di sampingnya. Satu menit Dave menunggu, ia mendapat jawaban yang cukup mengherankan.

"Hari ini ibu Stevi tidak datang tanpa keterangan. Anda putranya?"

Dave mengangguk cepat. Kemudian Suvi mengambil tas lumayan besar dan memberikannya pada laki-laki yang mengaku sebagai putra Stevi. "Ini ada titipan dari ibu Stevi untuk putranya."

Tentu Dave tak menolak pemberian itu. "Kemana dia?" tanyanya dengan suara sedikit putus asa, menebak jawaban yang akan diucapkan seperti pertanyaan sebelumnya.

"Itu juga tidak tahu."

Ke mana wanita yang telah membawanya lahir ke dunia ini? Apa perempuan itu benar-benar kabur seperti yang ayahnya katakan? Namun, Dave menepis dugaan itu. Mana mungkin Stevi meninggalkannya saat sakit seperti semalam? Jika bekerja, tentu Dave memaklumi sebab mungkin sulit mengambil cuti dadakan. Satu yang lagi-lagi terlintas di pikiran, Rendra pasti tahu.

Bukannya istirahat untuk memulihkan tubuhnya di rumah pasca sakit semalam, Dave malah semakin sibuk dengan beban-beban yang sepertinya tak bisa diselesaikan bahkan hingga malam ini juga. Kuda besinya kembali melaju membelah jalanan sedikit sepi. Merelakan angin menyapa bahkan menembus ke dalam pakaiannya.

"Ayah apain mama sampai pergi dari rumah?!"

Rendra acuh, membiarkan putranya kembali melontarkan pertanyaan yang sama meski di waktu yang berbeda, selang beberapa menit yang lalu. Makanan di depannya seolah menahan dirinya agar tak banyak merespons. Diperlakukan demikian, Dave semakin terbakar amarah. Ditatap nyalang wanita yang diam di samping Rendra, bak tak merasa bahwa ia adalah pelaku dari semua masalah ini.

"Papa selingkuh?"

Pertanyaan itu sangat ringan keluar dari mulut Dave. Memang tak sulit, sebab berasal dari otak, bukan hati. Rendra berhenti dengan kegiatannya, meletakkan sendok kemudian memberi tatapan tajam kepada putranya. "Ibumu duluan, kan, yang begitu? Salah kalau papa juga lakuin hal sama? Kalau ibumu enggak selingkuh, mungkin papa juga enggak. Salahkan saja ibumu itu!"

"Salah mama?" tanya Dave tak habis pikir. "Kemarin papa marahin mama habis-habisan karena papa pikir mama selingkuh padahal belum—"

"Terbukti? Dia hamil!"

Dave sungguh tersentak kala Rendra memukul meja sembari berdiri. Rautnya sungguh dipenuhi api. Remaja yang masih tak tahu apa yang sedang terjadi itu diam, dadanya bergemuruh sakit. Kakinya lantas mundur, memilih keluar dari rumah itu. Sungguh tubuhnya lemas, tetapi luka di hatinya terlalu penat untuk bertahan di rumah setan itu.

Tanpa arah. Tanpa tujuan. Hanya membelah jalanan tak begitu ramai dengan kuda besi yang masih bersedia menemaninya mencari ketenangan.

Come To Leave (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang